Rabu, 24 Oktober 2012

Terdampar di Pulau Pamana


Oleh: Em Khebe

Pelabuhan
Suatu pagi di pelabuhan Maumere, Renro mengamati kesibukan di atas dermaga. Sebetulnya dia mencari perahu motor atau kapal yang akan ditumpanginya. Tidak ada kapal penumpang, hanya ada perahu-perahu motor pengangkut barang, ada satu dari Surabaya, itu tertulis pada sebuah ban dekat jendela kapiten. Ada sebuah lagi di dermaga sebelah timur, kaum buruh sedang sibuk menurunkan karung-karung dari truk dan mengangkutnya kedalam perahu motor. Rupanya perahu motor itu yang akan berangkat ke Ujungpandang. Itu terlihat dari karung-karung milik Baba Liong yang tadi pagi dilihat Renro di rumahnya.

Ada karung-karung berisi buah asam yang sudah dibuang bijinya lalu dipadatkan hingga mencapai berat seratus kilogram sekarung. Ada juga teripang kering yang menjijikkan. Kalau di pantai Lewoleba, teripang-teripang dibiarkan tergeletak di atas pasir sedangkan di sini dikeringkan dan diisi dalam karung. Entah untuk apa dengan makhluk kering itu.

Di sebelah barat berderet bukit-bukit coklat bekas terbakar di musim kemarau yang lalu, dan lebih ke barat lagi mungkin di sana ada gugusan kepulauan; Sumbawa, Lombok, Bali dan pulau Jawa. Di sana ada kota Jakarta, tujuan Kanute pada bulan Oktober tahun lalu. Sedikit ke utara sangat samar-samar terlihat pulau Palue yang dari Maumere hanya berupa satu gunung yang legam.

Jam satu siang atau pukul tigabelas, semua penumpang dipersilahkan naik ke perahu motor Gajah Mada. Tulisan nama itu tadi tersembunyi sehingga tidak terbaca dan sekarang baru kelihatan. Tidak lama kemudian tali temali pengikat perahu di lepas, perahu bergerak ke barat laut melawan gelombang teluk Maumere yang kacau oleh hembusan angin dari barat. Renro ikut bersama penumpang yang lain dan meletakan tasnya diatas karung.

Alam laut di akhir Januari memang tidak bersahabat. Langit mulai semakin mendung dan tiupan dari arah depan semakin kencang. Keadaan motor semakin oleng dan penumpang ada yang muntah-muntah. Renro duduk di atas tumpukan karung dekat dapur. Tiba-tiba ada hempasan ombak yang besar dari sebelah utara. Tumpukan karung jatuh berantakan di atas palka, penumpang kocar-kacir menyelamatkan diri, dan ada yang jatuh bersama karung-karung, tetapi tidak ada yang jatuh ke laut. Renro juga turun dari tumpukan karung. 

Mula-mula Renro ke dapur sambil berpegangan pada dinding motor. Ternyata di sana pun tidak aman. Laut menggelora, suara gemuruhnya hanya beberapa senti meter di bawah kakinya. Hujan, angin ribut dan terpaan ombak pada badan motor menciptakan suasana yang semakin kacau. Penumpang hanya mempercayakan keselamatannya pada sepotong daratan terapung yang juga sedang terbatuk-batuk menerjang badai, yakni motor perahu motor Gajah Mada. Akhirnya Renro berpegangan pada tangga lalu menarik diri ke dek bagian atas yang ada beberapa ruangan. Semuanya penuh dijejali penumpang yang tergeletak mabuk. Ada sedikit tempat kosong memaksa Renro menyelipkan diri lalu berbaring memasrahkan seluruh keselamatannya kepada Tuhan.

Setelah lebih dari beberapa jam berpacu dalam badai, suasana menjadi tenang. Kedengaran suara burung camar terbang ke utara. Kepak sayapnya kedengaran melawan hembusan angin yang masih kencang. Renro memaksakan diri keluar dari ruangan sempit itu. Benar saja hujan sudah redah hanya angin yang masih kencang. Dicobanya menduga letak kota Maumere, di sana hanya ada laut menggelora tidak ada daratan yang kelihatan. Di sebelah utara tampak Pulau Babi dan Pulau Besar sayup-sayup di antara gumpalan awan. Perahu motor ini berlayar di antara dua pulau yang tidak memiliki bukit tinggi. Pantas saja tidak kelihatan dari pantai Maumere. Ada seorang pemuda di dekatnya dan Renro mencoba menanyakan nama pulau yang belum diketahuinya itu.

Kampung di Atas Laut.

“Yang jauh di sana adalah pulau Besar dan pulau Babi, sedangkan yang dekat adalah pulau Kambing dan pulau Pamana. Jauh di sebelah barat sana yang kelihatan hanya satu gunung adalah pulau Palue. Semuanya termasuk dalam kabupaten Sika.” Jawab yang ditanya.
“Pulau Palue jauh di sana kan mungkin lebih cocok masuk kabupaten Ende, koq masuk kabupaten Sika?” Renro penasaran.
“Letaknya memang di depan Lio bagian utara, tapi entahlah saya juga tidak tahu mengapa pulau itu itu termasuk kabupaten Sika. Seperti penduduk di pulau Pamana ini, hampir semuanya berasal dari suku Buton dan Melayu, tetapi masuk kabupaten Sika”. Jelas orang itu lagi.

Penumpang bersiap-siap turun. Kelihatan di depan mereka ada kota kecil dengan pelabuhannya sebuah dermaga dibuat dari batang lontar. Anak-anak berlarian di pantai sambil tangannya di angkat ke arah perahu motor. Bunyi PM. Gajah Mada semakin pelan lalu berhenti beberapa puluh meter dari bibir pantai dan tidak mencapai dermaga. Rupanya ombak terlalu besar sehingga tidak aman untuk perahu motor bila bersandar. Dari darat datanglah sampan-sampan menjemput penumpang.

“Saudara tidak turun disini?” Tanya pria yang tadi bercakap-cakap dengan Renro.
“Saya juga hendak menanyakan hal yang sama. Namaku Renro. Saya hendak ke Ujungpandang.”
“Kebetulan tujuan kita sama, saya Petu dari Lembata.”
“Bagus sekali. Dari Lembata dari kampung apa? Saya berasal dari Watuwawer.”
“Oh …! Saya dari Lamanunang.”

Selanjutnya Petu berbicara dalam bahasa daerah dan sore itu mereka berdua mengobrol dalam bahasa daerah. Bertemu dengan orang sepulau, biarpun sebelumnya tidak saling mengenal, setelah dikenal maka masing-masing akan berusaha untuk menghargai dan menolong dalam kegiatan apa pun. Apalagi menghadapi kesulitan, mereka saling menghargai sebagai saudara. Mereka makin asyik bercerita seperti sahabat lama saja, padahal belum sejam mereka mengobrol dan juga baru saja mereka menyebutkan kampung halamannya. Petu sudah cukup lama meninggalkan Lamanunang dan menetap di Maumere. Istrinya orang Nele dan sudah dikaruniai seorang putera.

Renro bercerita tentang Lamanunang dan Dulir yang setahun lalu dikunjunginya bersama Kanute. Atadei rupanya sangat menarik perhatiannya, sehingga segala detail perbuatannya bersama Kanute, Ana dan Moni diceritakannya. Petu tampaknya sangat senang karena kampung halamannya dibanggakan orang lain. Dia juga menyampaikan niatnya agar kelak membawa isteri dan anaknya mengunjungi desa keramat Alap Atadei atai Lamanunang.

Malam itu pemilik perahu motor beserta anak buahnya turun ke darat.  Petu bersama dua temannya, Otniel dan Salomon serta Renro menjadi penjaga motor. Otniel dan Salomon berasal dari kabupaten Alor yang terletak di sebelah timur pulau Lembata. Mereka sangat akrab dengan Petu, rupanya mereka sudah saling mengenal. Mereka berempat mengobrol sambil makan malam berupa makan siang yang tadi tidak sempat dinikmati karena diserang badai. Renro akhirnya tahu bahwa Petu, Otniel dan Salomon adalah rekan sekerja pada Baba Liong. Renro sendiri ikut menjadi pengawal karung-karung Baba Liong, tetapi dengan membayar tiga puluh ribu rupiah. Memang sebenarnya Renro adalah penumpang hanya dibantu oleh Baba Liong agar mendapat perlakuan yang sama dari anak buah kapal. Malam itu mereka berempat tidur dalam kabin. Hujan dan angin kencang masih terus menderu sepanjang malam.

Alam Suram
Selama lima hari hujan terus turun dan angin kencang juga terus bertiup. Tetapi perahu motor Gajah Mada berada pada posisi yang aman. Hanya beras yang mereka bawa dari Maumere sudah mereka habiskan. Beras yang mereka bawa adalah perhitungan untuk tiga hari sampai ke Ujungpandang, tetapi ternyata sudah habis ketika masih di perairan laut Maumere. Mereka berusaha untuk memancing ikan, tetapi dalam keadaan yang tidak bersahabat itu, sia-sia saja  usaha mereka. Dalam keadaan frustasi, ketika badai agak redah dan ada perahu motor berangkat ke Maumere, Salomo mengambil keputusan kembali saja ke Maumere dan tidak ikut ke Ujungpandang.

Setelah berhari-hari berusaha menangkap ikan dan tidak ada hasil, Petu berinisiatif mengajak mereka turun ke darat. Mereka mencari rumah pemilik PM. Gajah Mada untuk meminta bantuan makanan. Di mana-mana orang berbicara dengan dialek yang tidak akrab di telinga. Beberapa saat kemudian mereka menemukan rumah pemilik perahu motor.

Akhirnya salah seorang yang dipanggil Udin, mengajak mereka ke ladang di bukit. Di sana mereka bergabung dengan warga yang sudah bekerja sejak pagi memetik jagung dan ada yang menanam kapas. Di bagian kebun yang lain, mereka melihat tanaman kacang ijo ditanam baris di antara jagung. Sistem pertanian begitu sederhana tetapi sangat efisien, selama hujan masih turun, tanah tidak dibiarkan menganggur, tidak seperti di Flores. Mereka bergabung dengan kelompok yang sudah bekerja itu dan mendapat upah makan siang.
Menjelang sore mereka kembali ke perahu motor dengan membawa upah dari ladang berupa sekeranjang singkong mentah. Itu cukup dari pada tidak mendapat apa-apa.

Bosan juga hidup di atas laut berhari-hari tanpa ada kepastian kapan berangkat ke Ujungpandang. Di sebelah barat dan timur kelihatan deburan ombak masih memecah di ujung tanjung pertanda bahwa badai belum redah. Semua was-was juga waktu Otniel dihantar Salomon dengan sampan ke perahu motor yang akan ke Maumere,  masalahnya semua bertanya-tanya sampaikah perahu motor ke Maumere dalam musim yang tidak bersahabat itu? Sampai sore dan bahkan satu minggu kemudian pun tidak ada berita tentang kecelakaan motor di laut, berarti Otniel dalam keadaan selamat.

Entah sudah berapa hari mereka bertiga tinggal di atas perahu motor Gajah Mada. Cuaca semakin cerah hanya kadang-kadang masih turun hujan. Sudah kesekian kalinya mereka turun ke darat tetapi tidak ada jawaban pasti yang diperoleh. Suatu sore ketika mereka sedang memancing menggunakan sampan, Petu mendayung membelokkannya ke arah pulau Kambing. Air laut begitu bening sehingga mereka dapat menikmati pemandangan laut. Berjenis-jenis dan berwarna-warni ikan berenang menyemarakan laut.  Ada seekor penyu yang besar yang menyembulkan kepalanya sebentar ke permukaan laut lalu menyelam dan menghilang di kedalaman laut.


Tiba-tiba Salomon menunjuk burung-burung yang berbaris memanjang di pantai seakan sedang menikmati pemandangan matahari sore. Renro sangat tertarik serta heran akan ulah burung-burung itu. Mereka mendayung sampan terus ketepi dan menyeretnya ke darat. Burung-burung terbang ketika mereka mendarat tetapi hanya berpindah tempat. Pulau ini sepi dan tidak berpenghuni hanya ada sebuah pondok dan bekas ladang ditinggalkan entah beberapa tahun lalu.  Setelah puas bermain, mereka mendayung sampannya kembali ke perahu motor.

Suatu pagi seorang anak buah perahu motor datang membawa  empat dirijen penuh air dalam sampannya. Setelah air dituangkan kedalam tangki, ia meminta agar semua turun ke darat mengisi air memenuhi tangki, karena hari itu mereka akan berlayar ke Ujungpandang. Berita itu sangat menggembirakan Petu, Renro dan Salomon. Mereka segera mengeluarkan dirijen kosong dan mengayuh sampan ke darat. Sekitar tiga jam kemudian tangki sudah penuh diisi air dan mereka menyiapkan diri meninggalkan pulau Pamana.

Hari Rabu tanggal dua puluh satu Februari, jam dua siang  perahu motor Gajah Mada meninggalkan pulau Pamana. Jadi dua puluh tiga hari mereka tertahan di pulau Pamana sejak dari Maumere. Begitu keluar dari persembunyian antara pulau Pamana dan pulau kambing, mereka dikagetkan dengan keadaan laut yang sebenarnya. Hari cerah tetapi  laut masih menggelora dengan ombaknya yang tinggi. Ada empat anak buah kapal ditambah mereka bertiga, perahu motor sepertinya terlalu ringan dipermainkan ombak. Mesin motor menderu-deru melawan gemuruh gelombang dan angin kencang. Sedikit saja mesinnya mati maka entahlah, apalagi tidak ada daratan yang kelihatan. Hampir semuanya mabuk dan muntah-muntah termasuk ABK.

Bila tiba senja, Renro selalu tertegun menatap bola matahari yang kuning keperakan keperakan mengukir langit di sebelah barat lalu perlahan ditelan gelombang Laut Flores. Renro  membayangkan sangat aman tinggal di Lewoleba – Lembata, tetapi justru ditinggalkannya. Perlahan ia berbisik dalam nada ketidakpastian, ‘Sore ini saya masih melihat matahari, tetapi apakah saya masih melihat matahari besok pagi? Ada penyesalan dalam hatinya karena sudah meninggalkan Lembata, tetapi juga ada harapan akan situasi baru dan pengalaman baru yang akan diperoleh di perantauan.

Perahu Motor Gajah Mada terombang-ambing tetapi tetap maju membela ombak Laut Flores yang ganas pada akhir Februari!

Sabtu, 20 Oktober 2012

FATAMORGANA


Oleh : Em Khebe

Maria dan Renro berjalan tergesa-gesa. Kalau melakukan perjalanan jauh, mereka biasanya berangkat pagi-pagi, tetapi mungkin ada urusan sehingga menjelang jam sepuluh mereka baru meninggalkan Lewoleba. Terik matahari, jalanan mendaki dan berbatu, seharusnya membuat langkah kaki mereka tertatih-tatih, tetapi tidak demikian. Mereka justru semakin bersemangat dibakar matahari. Laut di teluk Lewoleba dengan pulau laut Awololo serta tanjung Tuak Wutu yang panjang menjulur dari utara ke barat daya melindungi seluruh teluk Lewoleba tidak menarik perhatian mereka. Dengan segera desa Namawekak dan pendakian Wai Il mereka lewati.

Satu jam lewat tengah hari, mereka beristirahat sejenak di persimpangan jalan yang menghubungkan desa Lite. Daerah sekitar masih asli berupa padang rumput sabana dengan pohon yang sangat jarang. Hamparan padang luas di hadapan mereka adalah Kenale dengan sumber air mirip oase. Desa Lite sendiri tersembunyi di antara pohon-pohon kemiri. Di sana terdapat pula sumber air yang cukup besar. Tahun enam puluhan Lite menjadi tempat persinggahan yang ramai, karena menjadi tempat istirahat setelah berjam-jam menempuh padang Kenale kalau dari arah timur, maupun setelah menempuh kelok-kelok bebukitan Pukai Wutu, bila dari arah barat. Tetapi jalan memorial yang penuh tantangan itu hanya menjadi masa lalu bagi mereka yang dilahirkan sebelum tahun 1970.

Setelah sekitar tiga kilo meter dari istirahat pertama, Renro berhenti dan mengamati dengan teliti pohon-pohon sekitar. “Di sini dulu ada sebuah rumah singgah pengantar pos dari Lewoleba. Mungkin peninggalan dari zaman Jepang atau Belanda. Sayang terbakar dan yang tertinggal hanya kenangan saja.” Kata Renro mengenang. “Dulu saya pernah beristirahat beberapa kali sambil menahan haus. Tidak ada orang yang berpikiran menjual kelapa atau tuak”. Maria menerawang jauh ke tahun enam puluhan. Memang dulu setiap orang saling mencurigai dan juga tempat itu sangat terpencil. Orang memilih keamanan yang lebih penting dari pada berjualan.

Mereka berjalan sambil bercerita dan tidak terasa mereka sudah mendekati desa Belek, yang ternyata tinggal puing-puing saja karena ditinggalkan penghuninya. Deretan bangunan yang dulu dibangun permanen masih kokoh berdiri di tengah semak belukar. Demikian juga gedung gereja dulu dibangun oleh seorang pastor berkebangsaan Amerika, namanya pastor Smitz. Mereka tidak tahu pasti alasan penduduk meninggalkan desanya. Mereka menduga mungkin tidak nyaman karena desa ini terbuka menerima terpaan angin dari timur dan barat, atau karena alasan yang lain. Dari letaknya dan pemandangan yang disajikan alam ka barat dan ke tenggara memang sangat indah.

“Bukan main, lihatlah banyak sekali kuda di lereng bukit” Teriak Renro.
“Indah sekali, di antara pohon-pohon kaliandra.”    Sambung Maria.
“Oh itu namanya pohon kaliandra? Dulu waktu saya melewati jalan ini, pohon itu belum tumbuh di sini. Ya.. sudah belasan tahun yang lalu bersama sekelompok anak dari Waiwejak.” Kenang Renro, dan kala itu desa belek termasuk desa yang ramai, dan daerah yang mereka lewati kini dulu merupakan ladang penduduk.
“Pohon kaliandra baru ada setelah bencana longsor yang dahsyat di Waiteba. Entah dari mana pohon itu tumbuh bersama rumput yang menjengkelkan,” jawab Maria.

”Pohon perdu itu hijau dan menarik, tetapi rumput coklat itu memang sangat menjengkelkan. Tidak mungkin rumput dan pohon tumbuh secara kebetulan. Malaekat menurunkan tanaman kaliandra di lereng-lereng bukit dan setan menyebarkan bunga rumput di dataran. Bunga rumput yang seringan kapas itu segera tertiup angin ke segala arah. Dalam waktu semusim saja pulau sudah tertutup rumput liar yang menjengkelkan, tidak menyuburkan tanah malahan sebaliknya mematikan tanaman-tanaman penghijau seperti krotolaria.”  Terdengar Renro menggerutu dengan kesal, tetapi tidak dapat berbuat apa-apa selain menerima saja.

Mendaki lereng terjal yang banyak ditumbuhi pohon kaliandra itu, hujan mulai rintik-rintik dan tiba-tiba lebat sekali. Mereka tidak menyangka sama sekali, karena jarang terjadi hujan di tengah musim kemarau. Di bukit, jauh dari perkampungan, mereka tidak dapat mencari perlindungan selain pasrah saja. Kabut juga demikian tebal sehingga jarak pandangpun hanya dua atau tiga meter saja. Mereka tetap berjalan berdampingan, tidak berani berjauhan. Apalagi sering ada cerita tentang ’tenébér’, yaitu hantu dalam awan yang membawa orang menghilang dan tiba-tiba berada di tempat terjal yang sulit di jangkau orang. Entah berapa lama mereka berjalan dalam keadaan hujan dan berkabut demikian.

Fatamorgana
Tetapi tiba-tiba awan di depan mereka terbuka sedikit dan… “Oh Maria… betapa indah pemandangan di gunung di depan itu.” Seru Renro keherananan.

“Ya indah sekali, kota apa itu? Saya belum pernah melihatnya.” Kata Maria.
“Kota seperti itu hanya ada dalam lukisan. Ternyata daerah kita ada tempat yang sangat indah. Hutan menghijau dan atap rumah berwarna merah ada di antara pohon-pohon yang rindang dan hijau. 

Suasana di depan itu suatu ketika mudah-mudahan saya dapat melukisnya. Kota apa itu? Saya tidak pernah mendengar bahwa ada kota yang indah di gunung itu.” Renro semakin kagum sekaligus penasaran. Pemandangan itu sangat mentakjubkan dan sulit dilukiskan dengan kata-kata. Dan bahkan perasaan merekapun seakan berada di dunia lain, padahal kaki mereka menjejak tanah Lembata.

Sementara mereka masih terpukau, kabut tiba-tiba pergi dan … ”Mana kota yang sangat indah itu?”, Renro mencari-cari pemandangan yang baru dilihatnya, demikian jaga Maria. Renro kecewa karena pemandangan yang indah itu lenyap bersama kabut. ”Orang-orang yang hilang dibawa ’tenébér’ itu mungkin seperti pemandangan tadi. Orang begitu terpukau sehingga masuk ke pemandangan yang indah tetapi tiba-tiba berada di tempat yang tidak dikenalnya. Saya jadinya merinding.” Kata Maria sambil langkahnya diperlambat mendekati Renro yang masih dari belakang. ”Ya mungkin juga. Saya saja masih ingin masuk ke dalam kabut untuk melihat kota itu. Rupanya itu cara hantu tenébér menangkap mangsa.” Kata Renro, wajahnya menampakkan ketakutan. Kata-kata Renro diiyakan saja oleh Maria yang semakin ketakutan.

Dari jauh tampak desa Waiwejak dan lebih ke atas lagi Watuwawer. Renro dan Maria sangat penasaran mencari ke segala arah, tetapi tidak melihat kota seperti yang ada di dalam kabut tadi. Bila sendirian mengalami pemandangan seperti itu bisa-bisa perhatiannya tersedot sehingga menghilang. Mereka yang mengalami itu biasanya ceritanya indah-indah tetapi kenyataannya mereka sangat menderita. Sambil berjalan Renro menceritakan kakak sepupuhnya Martinus yang di bawah tenébér beberapa tahun yang lalu dan ditempatkan di bukit dekat dapur alam. Ketika ditanya oleh bapaknya bahwa kampung dekat sekali mengapa ia tidak pulang, dan dijawab Martinus bahwa di hadapannya terdapat jurang terjal yang tidak bisa dilewati. Hantu ’teneber’ itu benar-benar memutarbalikan keadaan.

Mereka melewati desa Bakan kemudian desa Lewaji. Setelah Lewaji ada sumber air dan pancurannya menarik, tetapi mereka tidak singgah. Turun di Waikowan, sumber air panas yang menyembul dari dalam tanah di antara pohon-pohon kelapa, juga tidak menarik untuk dilihat. Hanya setelah setelah Waikowan ada keluarga di pondok yang meminta mereka untuk mampir dan permintaan itu tidak dapat mereka tolak. Sekitar seperempat jam mereka mampir dan disuguhi tuak dari pohon kelapa, lalu mereka melanjutkan perjalanan. Mendekati kali mati dekat Wai Krata, matahari masih kelihatan di atas lereng gunung Laba Lekan, jadi menurut perkiraan, mereka akan tiba di Watuwawer sekitar jam enam sore.

Kuda berdahi putih

Begitu kaki mereka menginjak pasir di kali, keadaan berubah menjadi gelap gulita. Renro menjadi penunjuk jalan merasa heran menghadapi keadaan itu. Tadinya mereka mau melewati jalan pintas, akhirnya kembali ke jalan yang menuju desa Waiwejak lewat Wai Krata. Tetapi memasuki jalan ke Wai Krata lebih parah lagi. Jalan di depan Renro tiba-tiba hilang dan mereka malahan berada di bawah pohon enau dan tampak bayang-bayang pohon yang lain. Situasi sungguh sangat gelap dan tidak bisa melihat apa-apa lagi. Renro tidak bisa melihat Maria dan juga sebaliknya.
  
“Maria.., saya bingung sekali, mengapa jalanan tiba-tiba kacau begini? Ayo sekarang kita duduk dulu, ada gangguan yang sangat serius. Sebelum menginjak kali, kita melihat matahari masih tinggi, jadi tidak mungkin tiba-tiba menjadi gelap.” Kata Renro penasaran dan sedikit ketakutan.
“Ya benar sekali. Saya juga memperkirakan bahwa kita akan sampai di Watuwawer sejenak setelah matahari terbenam” sambung Maria.
“Tetapi kenyataan yang kita alami hari ini sungguh aneh. Siang tadi kita disuguhi pemandangan yang sangat indah. Dan sorenya keadaan seperti begini. Aneh dan tidak masuk  akal sama sekali. Tadi kita berada pada jalan yang lapang dan tiba-tiba berada di bawah pohon enau dan terjal dan sangat gelap lagi.” Renro betul-betul heran, penasaran campur takut.

“Kita duduk saja, jangan berjauhan dan tidak boleh pindah tempat.” Maria menganjurkan.
“Ya memang demikian. Bergerak dan pindah tempat berarti memberi kesempatan kepada setan untuk mengatur strategi lain. Duduk dan menunggu di sini biar setan juga belajar duduk manis”.  Renro bergurau membuat Maria tertawa. Mereka cerita bergantian mengisi malam pekat tanpa kepastian.

Entah berapa lama mereka duduk, tiba-tiba dari jauh terdengar suara seorang ibu. Makin lama makin dekat dan jelas. Ia memegang sebuah obor bernyala yang diangkat tinggi-tinggi sambil bersuara keras atau berteriak seakan memanggil anjing. Ibu itu berjalan sepertinya di depan seekor kuda. Semakin dekat Renro dapat melihat jelas bahwa di atas kuda duduk dua anak. Meskipun sendirian ibu itu bersuara terus, mungkin strategi menghalau ketakutan sendiri atau menghalau setan. Renro berdiri dan menyapa ketika mereka semakin mendekat.

“Malam bae ina, dari mana?” Ibu itu kaget dan menghentikan kuda.
“Kami dari Paulolo. Kamu siapa? Setan atau manusia? Mengapa ada di hutan ini?” Ibu itu kaget menyaksikan dua insan berlainan jenis di hutan larangan di malam buta maka pertanyaannya keluar seperti pelor.
“Ina kami manusia. Tadi mau ke Waiwejak, tapi ada yang membuat kami terpaksa berhenti di sini. Ceritanya nanti saja, sekarang kami gembira bisa melanjutkan perjalananan malam ini.” Jawab Maria gembira.

“Mari berangkat bersama. Kamu berdua pastilah orang baru di daerah ini sehingga berani berhenti di sini atau pasti ada gangguan. Di sini kalau tidak hati-hati bisa hilang. Sudah banyak kejadian. Beruntung kamu berdua berhenti, kalau tidak … entahlah. Lain kali jangan lewat sendirian entah siang atau malam.” Wanita itu memperingatkan.


Sambil berjalan tiba-tiba ada kuda yang ada warna putih pada dahinya datang hendak menabrak Renro yang berjalan paling belakang, membuat Renro kaget dan  berhenti. ”Kuda siapa ini, hampir menabrak saya.” Teriak Renro sementara itu kuda tadi berjalan terus dan menghilang dalam kegelapan. Semua berhenti melihat Renro.
”Memangnya ada kuda? Saya yang berjalan paling depan tidak melihat ada kuda.” Maria bersuara dari depan.
“Tadi siang tidak ada kuda yang diikat di tempat ini dan tidak ada orang yang berani mengikat kudanya di hutan keramat ini. Tadi pasti roh jahat yang mengganggu kamu menampakkan diri dalam bentuk kuda. Sekarang jalan terus jangan menoleh kebelakang”. Kata ibu itu memperingatkan.
Renro yang berjalan paling belakang tidak berani lagi menoleh untuk melihat kuda yang menghilang dalam kegelapan, hanya ia merinding dan kepalanya terasa membesar.

Tidak lama kemudian mereka sampai di Waiwejak. Ibu itu mengajak mereka singgah di rumahnya sebentar untuk menenangkan mereka. Setelah hati dan nafas menjadi lebih tenang, Maria dan Renro mohon diri dan meneruskan perjalanan ke Watuwawer. Bukit Keneping yang menyatu dengan Karlolo, yaitu bukit di atas dapur alam yang tadi diceritakan Renro berhubung dengan hilangnya Martinus, legam dan lengang, anginpun seperti takut mengusiknya. Mereka mempercepat langkah agar segera tiba di kampung. 

Mereka rasanya sudah menghabiskan separuh malam di Waikrata tetapi ketika tiba di kampung Watuwawer, baru jam tujuh malam?  Aneh! Rasa heran, gembira dan takut bercampur aduk. Renro dan Maria menceritakan pengalaman yang indah mempesona dan juga seram menakutkan silih berganti hari itu. 
*** NB: Setiap saya membaca tulisan ini perasan ngeri dan merinding masih menghinggapiku.

Selasa, 16 Oktober 2012

SUMUR DI LEMBAH WATUWAWER




oleh: em khebe
 
Lembah Watuwawer
“Kanute coba perhatikan pohon-pohon pada kali mati di gurung itu,” kata Renro sambil menunjuk ke arah gunung di utara desa Watuwawer.
“Oh.. ya.. pohon-pohon itu berdaun hijau segar, sedangkan yang jauh dari kali meranggas dan gersang. Kenapa bisa begitu ya?” Tanya Kanute.
“Mungkin ada sumber air, hanya lapisan pasir terlalu tebal sehingga air tenggelam. Saya kira bila di lembah Wala digali sumur pasti ada sumber air. Bukankah banjir dari gunung dan bukit Bloboho ke laut? Pasti tertampung pada sebuah palung di dalam tanah.” Renro mengemukakan perkiraannya.
“Ya... saya ingat! Katanya bapa Bala dari Timor, pernah menggunakan alat untuk mencari sumber air.” Kata Kanute.
“Lalu apakah ada ditemukan sumber air?” Renro begitu bersemangat. Tampaknya dia sangat tertarik, karena ia melihat di Timor,  sumur dapat ditemukan di pedalaman.
“Katanya ada, nanti kita tanyakan pada  kakak Maria, karena mereka yang membantu bapak Bala waktu itu. Orang di desa sepertinya tidak percaya kalau ada air, masakan mau menggali sumur di atas gunung”. Jawab Kanute.

Maria dan ina Peni sedang menonton pertandingan sepak bola di pinggir lapangan. Suasana cukup ramai padahal cuma dengan orang sekampung, yaitu kelompok Lusibua melawan Lebewala. Yustin anak puteri ina Peni sampai menari-nari bila kelompok Lebewala mendapat bola. Kanute dan Renro tertarik untuk menonton juga, meskipun baru dari Woloi, kebun ama Nara di bukit. Tetapi tidak lama kemudian pertandingan selesai karena bayang-bayang bukit tinggi di sebelah barat mulai menutupi desa. Angin kering musim kemarau menerbangkan debu merah di lapangan desa sebelah utara, menghalau sekelompok ayam yang baru berlari menyeberangi lapangan.

“Kakak Maria katanya ama Bala dari Timor pernah mencari sumber air pakai alat?” Tanya Kanute begitu ina Peni sudah berjalan pulang ke rumahnya.
“Ya benar, kami ikut membantu.”
“Apakah ada sumber air yang ditemukan?” kini Renro yang bertanya. Maria si gadis yang dipanggil kakak oleh Kanute itu berpikir sebentar lalu menjawab dengan sungguh-sungguh.
“Ada sampai delapan tempat, tetapi ada yang katanya airnya tidak deras. Ada yang sumber airnya terlalu dalam sehingga orang kita akan kesulitan menggalinya. Ada tempat dekat sekolah yang diperkirakan sebelas meter, dan di dekat rumah kepala desa sekitar dua belas meter.”
“Banyak sekali, jadi rupanya desa kita ini memang berada di atas air, tetapi kita kekeringan dan bisa berhari-hari tidak mandi.” Kata Renro disambut senyum rahasia Kanute.
“Kanute...embun masih banyak, tetapi tidak adil rasanya kita merebut hak burung pipit dan belalang. Beranikah kita menemui kepala desa malam ini?“ Renro menantang Kanute.
“Berani saja. Batu Atadei yang terpencil dan sukar dijangkau saja, saya bisa naik dan duduk di atas bahunya, apa sulitnya pergi ke rumah kepala desa?” Kata Kanute mantap.

Seperempat jam kemudian keduanya sudah keluar dari rumah berselimutkan sarung tenunan. Kedengaran ama Nara masih mengomel dari kamar, katanya nenek moyang mereka sudah hidup dengan keadaan begini tanpa air mengapa mau diributkan?
“Kanute, orangtua kita sudah merasa aman dengan keadaan biarpun serba kekurangan. Bukan mereka malas dan bodoh, tetapi mereka mengajar kita untuk bersikap pasrah dan menerima keadaan. Sikap itu baik, tetapi ketika kita bertemu dengan keadaan tempat lain, kita baru tahu ternyata daerah kita sangat potensial dan orang-orangnya dapat berkembang lebih maju asal mau dan berani merubah sedikit saja cara pandang kita.”

“Memang benar juga, tetapi cara pandang yang bagaimana?”
“Desa Watuwawer ketiadaan air minum, maka mereka harus pergi mengambil ke tempat yang jauh. Tindakan itu benar sebagai tindakan pengamanan yang pertama jadi bukan yang terakhir. Tindakan kedua, pindah dan menetap di sekitar sumber air. Ketiga, menarik air dari sumbernya ke desa, misalnya menggunakan bambu atau pipa. Ke empat menggali sumur.” Renro berhenti karena mereka sampai di rumah kepala desa.

“Selamat malam, bapak.” Kanute dan Renro memberi salam hampir bersamaan.
“Malam bae, oh adik-adik dari kota silahkan masuk. Adik Renro saya dengar sudah bekerja? Kanute rupanya mau belajar dulu di kota besar, kalau sudah pintar jangan lupa pulang kampung. Desa kita selalu dipenuhi oleh wanita dan anak-anak karena yang laki-laki pergi melarat atau sekolah tetapi tidak pulang-pulang. Rupanya mereka lebih tertarik dengan  wanita-wanita kota dari pada di desa sendiri.”

Rupanya kepala desa mengungkapkan kekecewaannya pada warga yang pergi sekolah atau merantau dan kemudian merasa asing dengan tanah kelahirannya sendiri. Renro dan Kanute hanya tersenyum masam sambil berpandang-pandangan, meskipun penerangan pakai pelita dari kaleng susu agak suram.
“Kadang kami berpikir begitu juga, tetapi setelah tamat kuliah apa yang dikerjakan di kampung? Paling membuka kebun kacang tanah, mengiris tuak atau menjual kopra.” Renro menjawab bukan untuk berdebat, tetapi mau mengatakan kebenaran. Mereka yang tamat esempe dan esema saja tidak ada tempat, apalagi kuliah.
“Betul juga ya, di sini tidak ada lapangan pekerjaan. Maaf adik, mungkin ada keperluan lain?” Tanya kepala desa akhirnya.

Anak-anak mengambil air
“Begini bapak, kami dengar bahwa di desa kita ini pernah ada pencarian sumber air menggunakan alat.” Kata Renro.
“Oh memang pernah. Ama Bala dari Timor pernah bersama beberapa muda-mudi dan saya sendiri melakukan pencarian sumber air. Ada banyak tempat, tetapi tidak jauh dari kita duduk ini ada sumber yang tidak terlalu dalam, sekitar sebelas atau dua belas meter.”
“Bagus sekali, mengapa tidak digali?” Tanya Renro.
“Ah… adik, orang desa kita ini tidak mudah percaya, mau melihat bukti dulu. Kata mereka mana ada sumur di atas gunung? Saya sendiri khawatir nanti ditertawakan.”
“Kalau begitu bagaimana kalau kami yang memulai? Di Timor saya melihat ada sumur di pedalaman, sekitar duapuluhan kilo dari pantai, maka tidak heran kalau di kampung kita ini ada sumber air. Kalau bapak kepala desa mengizinkan, kami yang mulai mengggali, karena kami sangat yakin di bawah desa kita ini ada sumber air. Ama Bala bukan orang sembarangan, ia sendiri juga yakin dengan apa yang dikerjakannya.” Kata Renro meyakinkan.
Kanute mengangguk-angguk entah apa yang dipikirkannya.

“Saya sependapat dengan Renro, kitalah yang mulai menggali kalau warga masih sangsi. Kalau ada nomor satu pasti ada nomor dua, tetapi kalau tidak ada yang berani memulai, nol tetap nol dan menunggu dalam mimpi. Kalau saya dan Renro mulai menggali, maka pasti ada orang ketiga dan keempat yang menyusul.” Kanute mengemukakan pendapatnya.
“Saya gembira sekali mendengarnya. Besok pagi kita mulai, kalau orang sinis atau mengejek, kita terima karena semuanya resiko dari apa yang kita kerjakan” Kata kepala desa. Setelah memantapkan rencana mereka, Kanute dan Renro memohon diri.

Hari belum larut tetapi tidak ada lagi orang di jalan. Pada umumnya sudah masuk rumah dan ada yang bercanda di dapur sambil menghangatkan badan. Lembah Wala yang  diperkirakan ada sumber air, dalam kegelapan kelihatan putih tertutup kabut. Kanute melihat sebentar ke sana lalu berbalik menatap kepada Renro dan berkata: “Bertahun-tahun sejak kecil saya di desa ini dan merasakan hawanya sangat dingin. Dan bila pagi embun ada di mana-mana dan sering mandi pakai embun, tetapi malam ini saya merasa lain.”
“Lain bagaimana?” Tanya Renro.
“Sepertinya kita berdua sedang berjalan di tepi danau”  Jawab Kanute sambil tertawa.
“Memang benar, kita berada ditepi danau ilusi. Rasakanlah hembusan angin dari tengah danau, dinginnya membuat merinding, tetapi lihatlah ikan-ikan meloncat kegirangan sampai menabrak pohon turi dan meliuk-liuk di antara batang pisang.” Renro menimpali membuat mereka berdua tertawa lebih keras lagi.

Pagi setelah sarapan, Renro dan Kanute sudah berada di rumah kepala desa bercelana pendek. Sambil menunggu kepala desa kembali mengiris tuak, mereka mengobrol dengan ibu yang rumahnya dekat lokasi yang akan digali. Ibu itu senang karena bila ada sumur dekat rumahnya, ia tidak perlu lagi ke sumber di atas bukit sebelah Selatan yang membutuhkan waktu berjam-jam. Sementara mereka mengobrol bapak kepala desa datang membawa sebuah linggis dan parang. Ia langsung ke rumpun pisang yang diperkirakan ada summer air.
“Ama kamu berdua sementara membongkar pohon pisang ini, saya pergi menjemput magu Yosep Wawin, karena sebagai tuan tanah beliau perlu membuat upacara agar pekerjaan kita lebih lancar.”  Kata kepala desa sambil berjalan pergi.
Renro dan Kanute merasa sayang membongkar rumpun pisang itu, tapi demi mendapatkan emas terpaksa mereka mencabut tembaga, karena kebetulan rumpun pisang yang dibongkar adalah pisang tembaga.

Ketika Renro dan Kanute hampir selesai membongkar pisang, magun Yosep dengan kepala desa datang. Magun Yosep tidak banyak berbicara, tetapi sangat disegani orang. Ia duduk diatas tanah yang akan digali, menyiapkan tuak, sirih, pinang dan tembakau pada gulungan daun lontar, lalu mengucapkan kata-kata yang tidak dimengerti. Menurut kepala desa, beliau sedang memohon izin serta bantuan para leluhur agar pekerjaan mereka lancar dan berhasil. Selesai beliau melakukan upacara, penggalian pun dimulai.

Begitu melihat ada kepala kampung di situ serta penggalian tanah, orang-orang berdatangan terutama kaum muda. Pada mulanya cuma tiga orang yang menggali, yaitu kepala desa, Renro dan Kanute, tetapi menjelang jam sebelas ada belasan anak muda-mudi. Ada dua orang bapak setengah baya, yaitu magun Dai dan magun Rikus. Mereka menjadi penyemangat kaum muda. Mereka bekerja sambil bergurau tanpa diminta dan tanpa menanyakan soal upah, bahkan minum saja pun mereka tidak minta. Pada lapisan pasir dan kerikil pekerjaan agak lancar, apalagi ditunjang semangat kerja yang tinggi. Tetapi pada lapisan tanah liat pekerjaan tersendat-sendat. Justru lapisan itulah yang menahan air sehingga terbentuklah sumber air.

Tengah hari mereka pulang ke rumah masing-masing untuk makan siang. Kanute dan Renro disambut pertanyaan beruntun dari penghuni rumah. Mereka gembira begitu mendengar bahwa banyak bantuan dari kaum muda secara sukarela.
“Memang seharusnya begitu. Kamu berdua akan berangkat dari sini, sedangkan merekalah yang akan menggunakan sumur itu.” Ina Ema menyatakan pendapatnya.
“Ah, baru gali setengah hari belum ada air yang kelihatan jadi kita jangan bertengkar dulu. Mudah-mudahan mereka akan tetap menggali, meskipun kamu nanti pergi. Kedalaman sudah berapa meter?” Tanya Maria.
“Baru empat atau lima meter.”  Jawab Kanute.
“Pada lapisan pasir dan krikil penggalian lancar, tetapi begitu bertemu tanah liat penggalian makin sulit.” Renro menambahkan.
“Wah luar biasa itu berarti dalam semiggu saja Watuwawer sudah memiliki air” Ina Ema memuji mereka membuat Kanute ingin segera kembali ke tempat penggalian.

Setelah istirahat sebagian pemuda tidak kembali bekerja lagi, katanya harus memberi makan ternak dan mengiris tuak. Biarpun tenaga berkurang, tetapi semangat bekerja tetap tinggi. Belum ada dua jam bekerja, tiba-tiba Kanute menari-nari sekeliling sumur membuat mereka yang lain berdiri agak jauh mendekat. “Kita dapat air, kita dapat air.” Seru Kanute. Renro yang sedang berada di bawah atap rumah kepala desa berlari mendekat dan melongok ke dalam galian. Tanah basah dan kental seakan air sudah sangat dekat sekali. Kepala desa datang dan menambahkan bahwa sumber air sudah dekat, padahal kedalamannya belum mencapai enam meter. Mereka makin bersemangat menggali, tetapi sampai bayang-bayang bukit sebelah barat mencapai lubang sumur, sumber air belum kelihatan. Kepala desa meminta mereka untuk beristirahat karena sudah sore.

Kanute mendekati kepala desa dan membisikan sesuatu mungkin ada sesuatu yang mau disampaikan. Melihat itu Renro juga mendekat karena ada kode mendekat dari Kanute. Kepala desa cepat berbicara sebelum mereka bubar.
“Teman-teman kaum muda, saya gembira sekali melihat kekompakkan dan semangat kerja kalian. Sudah ada tanda-tanda dan kita semua yakin bahwa di bawah kita ada air, hanya kita belum sampai pada sumbernya. Besok hari Minggu jadi kita semua beristirahat dulu, tetapi hari Senin saya harap bagi yang tidak berhalangan tetap datang menggali agar air segera kita temukan. Adik Kanute dan Renro juga mau pamit untuk itu mari kita mendengar pesan-pesan mereka.” Kepala desa mempersilahkan Kanute dan Renro untuk berbicara. Renro memberi isyarat agar Kanute yang berbicara.


“Teman-teman, kami bukan mau melarikan diri dari pekerjaan di desa ini. Saya harus segera menyusul kakak Kopo ke Jakarta untuk segera mendaftar kuliah tahun ajaran baru. Kalau terlambat berarti harus menunggu tahun depan, maka saya tidak mau kesempatan ini hilang. Saya harap kamu tetap menggali sampai menemukan air yang kita inginkan. Selamat tinggal dan selamat bekerja.Teman Renro mau pamit juga”  Kanute mengakhiri pembicaraannya.

“Selamat sore teman-teman. Kanute benar, kami tidak melarikan diri. Saya juga mau mohon pamit dari kalian, dan akan kembali ke kontraktor di Lewoleba. Tempat itu sangat jauh dari sini, jadi kami harus berangkat pagi-pagi."
Semua yang sejak sambutan kepala desa hanya tersenyum kini tertawa. “Biarpun sangat jauh bisa ditempuh hanya dengan berjalan kaki, tetapi karena komitmen pada perusahaan, maka saya harus kembali untuk bekerja Senin pagi. Apa yang telah kita mulai hari ini harus diteruskan sampai menemukan air, benda berharga yang sejak nenek moyang hilang dari desa kita. Kita semua sudah melihat tanda-tandanya hari ini dan besok lusa akan menemukan wujudnya. Sekian saja, selamat geut tuak, nanti kita berjumpa dalam dolo.”  Semua bubar dalam tekad dan rindu. Rindu untuk mempunyai sumur dan tekad untuk menemukan sumber air.
***