Senin, 19 November 2012

Pelabuhan Poetera

Oleh: Em Khebe

Fajar sudah terbit, pulau Selayar sudah mereka tinggalkan jauh di belakang dan kini menyusur pantai selatan Sulawesi. Ikan terbang bagaikan kawanan burung pipit yang terbang di atas ladang padi yang mulai menguning. Ada yang nyasar dan terdampar di atas geladak perahu motor. Mereka hanya tertawa oleh malapetaka yang dialami ikan-ikan itu. Salomon berlari memungutnya dan melemparkan kembali kedalam laut sebelum ikan-ikan itu berhenti bernafas.
 
“Di sana adalah Jeneponto. Kami pernah singgah sejenak tetapi tidak berani turun ke darat. Mereka sangat kesulitan air minum, padahal terletak di pantai.” Cerita Petu menunjuk kota yang  jauh di pantai sebelah utara dan hanya tampak atap-atap putih di balik pohon-pohon lontar.
“Alamnya kelihatan gersang sekali sehingga tidak heran bila mereka kekurangan air. Kalau kota yang jauh di depan sana itu apa? Tanya Renro menunjuk ke arah haluan.
“Itu kota Banta-bantaeng. Sedikit lebih subur, tetapi watak orang-orangnya sama kerasnya dengan mereka yang ada di Jeneponto. Lihatlah perahu-perahu layar yang memenuhi laut pagi ini berasal dari kedua kota tersebut.” Jelas Petu. ”Saya kira tidak ada pelaut seberani dan selincah mereka,”  sambungnya lagi.

“Kalau watak orang-orang yang selalu berhadapan dengan ombak apalagi menghadapi topan dan badai, maka tidak heran bila mereka berwatak keras. Di daerah kita juga sama saja. Mereka yang tinggal di pantai yang ombak laut besar, rata-rata mereka berwatak keras.” Renro mencoba mengenang daerah pesisir selatan Lembata yang menghadapi laut sawu, orang-orangnya tahan banting terhadap kerasnya alam.
“Ya.., mungkin, tetapi katanya di Jeneponto, Bulukumba dan Banta-bantaeng tahun-tahun dulu ada bajak laut. Tetapi sekarang pada zaman orde baru ini tidak ada yang berani lagi. Tetapi itupun hanya cerita orang dan tidak ada buktinya,” lanjut  Petu.

Dari jauh kelapa itu seakan tumbuh dari dasar laut
“Sampan-sampan yang mempunyai layar itu melaju kencang sekali, lebih kencang dari pada perahu motor. Apakah dilengkapi dengan mesin?” Tanya Renro mengalihkan perhatian sambil menunjuk sampan-sampan layar yang melaju ke pantai.
“Tidak ada hanya mengandalkan kekuatan angin. Nampaknya kelihaian dan  keuletan memainkan layar sehingga sehingga dapat diterpa angin secara tepat. Apalagi di musim seperti ini angin kencang sekali jadi pengaturannya lebih gampang. Lihatlah dalam hitungan menit mereka sudah di pantai”.  Petu sedemikian bersemangat menunjuk pada sampan-sampan layar. Renro mengalihkan perhatiannya pada tiga pohon kelapa yang tumbuh di laut. Di pulau itu hanya ada tiga pohon kelapa tanpa pohon yang lain, seakan ketiga pohon itu tumbuh dari dasar laut.

Tidak lama kemudian perahu motor memasuki kawasan laut Makasar. Atap-atap berderet sepanjang pesisir pantai yang tampak tidak beraturan. Ada sebuah pulau depan Ujungpandang yang sangat menarik untuk Renro. Di pulau yang kecil itu ada bangunan yang indah, setidak-tidaknya di mata Renro. Mungkin itu pulau untuk berekreasi. Ada sebuah perahu motor lain yang datang menarik perahu motor Gajah Mada. Kata Petu, perahu motor itu bertugas mengarahkan Perahu Motor Gajah Mada, maupun perahu motor lain yang akan masuk maupun keluar dari pelabuhan. “Cari kerja saja. Di laut lepas dan dalam keadaan badai tidak dibantu. Di pelabuhan yang ramai baru mau dibantu.” Gumam Renro, dan didengar saja oleh Petu. “Bukan begitu Renro. Di pelabuhan ada bermacam-macam perahu, jadi perlu tongkang atau motor pembantu agar tidak terjadi tabrakan.” Petu menjelaskan.

Tidak lama kemudian Perahu Motor Gajah Mada bersandar di pelabuhan Potrey yang segera diserbu oleh mereka yang di darat. Baba Liong juga naik ke perahu motor menyalami mereka.
“Kami sangat khawatir, tetapi syukurlah semua sampai dengan selamat.” Katanya.
“Tuhan masih menyayangi kami.” kata Petu. ”Hanya persediaan beras kami habis jadi berpuasa cukup lama.” Sambung Petu lagi.
”Biasanya hari ketiga sudah ada di sini, ya musibah khan tidak kita rencanakan.” Kata Baba Liong sambil mengalihkan perhatian kepada Renro.

“Kalau Renro akan ke mana? “ tanyanya.
“Nanti saya antar ke rumah keluarga di jalan Banda.” Petu yang menjawab karena yang ditanya melihat kepadanya.
“Kalau begitu setelah semua karung diangkut, kamu ke rumah untuk makan dulu. Saya ke gudang mengamati pembongkaran di sana.” Kata baba Liong sambil menghidupkan motor honda lalu menghilang di balik toko-toko.

Renro, Petu dan Samuel mengamati pembongkaran karung-karung dari dalam perahu motor, ada yang memikulnya ke dalam truk. Bila satu truk penuh, sopirnya segera naik dan membawa kendaraannya keluar dari pelabuhan lalu diganti oleh truk yang lain lagi. Tiba-tiba Renro berdiri dan menegur seseorang yang membelah sebuah karung asam dengan pisaunya dan memindahkan sebagian isinya ke karung yang lain. Tetapi Udin  anak buah perahu motor yang berada tidak jauh dari situ langsung menarik dan menegur Renro yang membuat Renro semakin heran.

“Adik jangan coba-coba melarang mereka, karena mereka cuma mengambil sedikit asam untuk dimakan bukan untuk dijual. Sayangi nyawa adik, kalau adik sampai ditikam, baba tidak akan mau berurusan, malahan dia mengaku tidak mengenal adik. Semua karung asam akan sampai digudang tanpa kurang satu pun, jadi adik duduk dan nonton saja. Kami juga bertanggungjawab atas semua barang yang kami muat dari Maumere.”  Demikian nasihatnya lalu menyuruh Renro untuk duduk di ruang atas.

Renro naik duduk di dek dekat ruang kemudi dan mengamati pembongkaran dari atas. Kalau dipikir-pikir benar juga kata Udin. Kaum buruh itu tidak mencuri sekarung atau berkarung-karung asam. Biarpun perbuatan itu salah karena mencuri, tetapi biarlah dia memakan asam dan dosanya sekalian. Perbuatan dosa biarpun kecil tetapi kalau dilakukan setiap hari, seharusnya pencuri itu menjadi orang kaya. Percuma orang sering membicarakan para koruptor, tetapi mereka sendiri juga mencuri barang orang lain biarpun jumlahnya kecil. ’Tuhan ampunilah saya karena membiarkan kejahatan berlangsung di depan mata’, doa Renro dalam hati.

 Renro mengalihkan perhatian dengan menonton perahu motor yang datang dan pergi dari dermaga. Memang benar juga kata-kata Udin, tidak ada artinya Renro menegur orang-orang dalam perahu motor. Ia adalah orang asing dan tidak mengenal seorangpun selain orang-orang seperjalanannya, maka bila mereka kasar terhadapnya tidak akan ada yang membela. Petu dan Salomon pun bila dalam keadaan terpaksa bisa saja mereka menyangkal sebagai teman seperjalanan. Renro memang sering ke hutan waktu di Lembata, tetapi itu hutan dalam arti sesungguhnya, sedangkan di Ujungpandang ini hutan rimba kota, karena perilaku orang tertentu yang kasar dan beringas. Dalam hati ia berharap semoga tidak berurusan dengan mereka, karena mereka akan membela diri dengan pisau yang terselip di pinggangnya.

Kira-kira jam dua siang Petu memanggil Renro dan mereka naik di truk yang terakhir. Barang-barang bawaan mereka dibuang ke atas karung-karung lalu Petu, Renro dan Salomon naik juga ke atas. Ada empat atau lima orang kaum buruh ikut dalam truk itu, semuanya menggunakan bahasa yang tidak dimengerti. Perjalanan dari pelabuhan ke rumah baba Liong ternyata cukup jauh. Banyak kendaraan ada bemo yang katanya di Ujungpandang di sebut ‘pete-pete’, ada gerobak kecil yang diberi tenda yang namanya becak. Pete-pete atau bemo sudah ada di Larantuka, Maumere dan Kupang, tetapi becak itu belum ada maka Renro tidak bosan-bosannya memandang kendaraan itu.

Makan siang di rumah baba Liong ada macam-macam makanan. Tiga minggu dalam perjalanan dan makan seadanya, membuat mereka bertiga langsung membuat gunung di atas piring. Ada dua tiga jenis daging, ada udang dan ikan goreng. Ketiga-tiganya memilih daging. Baba Liong setelah mempersilahkan mereka makan lalu pergi lagi, membuat mereka semakin merdeka saja mengosongkan piring dan mengisinya lagi. Tidak ada siapa-siapa yang mengamati mereka sehingga mereka menikmati makanan tanpa terganggu. “Enak, makanan sangat enak tetapi sayang penampungnya terbatas.” Petu meneguk air sambil meraba perutnya.
“Kalau ada kantong makanan selain perut mau juga saya tambah lagi. Makanan begini enak, pantas baba Liong sangat gemuk. Salomon masih mau makan silahkan saja.” Renro membuat isyarat dengan tangannya pada Salomon.
“Uf… beta su kinyang. Malam nanti beta hantam lai.” Salomon juga memproklamirkan batas kesanggupannya.

Tanjung Naga

Setelah makan mereka mengaso di teras, depan rumah. Petu menjadi orang paling penting karena ia menjadi tempat bertanya menyangkut kota Ujungpandang, sedangkan Renro dan Salomon menjadi penanya dan pendengar. ”Omong-omong kapan mau ke rumah saudaramu? ”  Salomon yang ditanya karena ia juga berencana mencari kerja di Ujungpandang seperti Renro. ”Ah.., beta mau istirahat di sini dolo, mungkin besok baru ke rumah saudara. Beta ikut hantar Renro ko.” Salomon bertanya pada Petu.

”Wah... tidak bisa tiga orang kurus naik satu becak, kecuali kalau kamu tukang becaknya.” Seloroh Petu membuat Salomon tersenyum meskipun kecewa. ”Lamar saja jadi sopir becak, penghasilannya pasti banyak” Tambah Renro yang mengira tukang becak juga disebut sopir.

  
Hari sudah semakin sore, Petu siap-siap menghantar Renro ke jalan Takalar, sedangkan Salomon tidak kelihatan ketika ditengok ke kamar ia sudah lelap tidur. Petu memanggil sebuah becak yang membuat Renro amat senang dengan kendaraan itu.
“Mau ke jalan Takalar, sewanya berapa pa?” Tanya Petu yang dijawab dengan bahasa yang tidak di mengerti.
“Berapa, tiga ratus rupiah?” Petu mengulangi pertanyaannya.
“Empat ratus ji. Ke jalan Takalar to, kan jalannya mutar tidak langsung potong dari sini makanya jauh.” Jawab tukang becak itu.
“Okelah antar kami ke sana.” Jawab Petu lalu mempersilahkan Renro yang tersenyum-senyum dari tadi naik duluan.

Becak melewati jalan-jalan yang belum dikenal Renro, tapi dering bel becak membuat Renro tersenyum memasuki ‘hutan rimba’ Ujungpandang.  Kendaraan lain yang hilir mudik tidak diperhatikannya, karena Renro sangat bangga dengan becak yang dinaikinya bersama Petu. Penumpang bisa duduk santai seperti di kursi sambil bawa barang-barang bawaan, tetapi tidak terlalu merepotkan. Becak berbelok pada beberapa perempatan sehingga Renro sudah melupakan rumah baba Liong. ”Keadaan kota semrawut begini seharusnya saya menggunakan buku untuk mencatat alamat.” Katanya dan ditanggapi Petu dengan anggukan memasuki remang-remang senja. Sementara tanda penyu sedang bertelur terukir indah di atas langit Pelabuhan Potrey.   

***


Kamis, 08 November 2012

Pulau Kera


 Oleh:   Em  Khebe

Hari ketiga sejak meninggalkan Pamana, tibalah mereka di sebuah pulau terpencil. Pulau itu berbukit hijau karena hampir seluruhnya tertutup dari pohon nyiur atau kelapa. Dalam hati Renro mengangankan bisa makan nasi, kue-kue dan minum air kelapa muda, setelah lebih dari tiga minggu menikmati badai ketidakpastian. Seorang anak buah motor menjelaskan bahwa mesin mengalami gangguan yang harus diperbaiki dulu. Untuk itu mereka diminta turun ke darat mengisi air minum dan membeli kayu api. Dirijen air segera mereka pindahkan ke sampan lalu Petu, Renro dan Salomon turun ke darat. Laut begitu tenang dan tampak ikan sangat banyak dan bersusun-susun. 

Di darat hanya ada empat rumah panggung yang letaknya berjauhan. Sementara Salomon menimba air di sumur, Petu dan Renro mendekati salah satu rumah yang nampaknya memiliki kios. Tidak ada roti, biskuit atau gula-gula. Hanya ada beberapa pasang sandal jepit dan lempengan ceper berwarna coklat tua di dalam toples. Itu pasti lempengan gula merah seperti dilihat Renro di Kupang. Maka ia tidak ragu-ragu bertanya pada pemilik kios, seorang bapak yang sibuk membetulkan jala.
“Gula merah ini satu lempeng berapa pak?” Tanya Renro.
“Apa dia bilang… gula merah? Kabako itu.” Jawab yang ditanya.
“Oh.. kabako, kelihatan seperti gula merah.” Renro tertawa kecut karena geli campur kecewa karena lempengan coklat  itu bukan gula merah, melainkan daun tembakau kering yang dipadatkan.
Si pemilik kios itu kembali sibuk membetulkan jala dan tidak menghiraukan mereka berdua.

Akhirnya Petu dan Renro meninggalkan pak tua itu dan berjalan ke belakang rumah mengamati pohon-pohon kelapa yang ternyata tidak ada buah sama sekali. Biarpun buah yang terkecil sekalipun tidak ada. Pulau ini seluruhnya ditumbuhi kelapa, tetapi kalau tanpa buah, apa artinya? Petu hanya menggelengkan kepala dan Renro semakin kecewa. Bayangan akan roti, biskuit atau nasi di warung ternyata hanya ada sandal jepit dan daun tembakau kering. Sementara pohon kelapa sangat banyak, tetapi hanya menjadi hiasan tanpa arti seperti lukisan saja.

Ada seorang pemuda sedang memancing di pantai, Petu dan Renro bergegas ke sana karena nampaknya ia bisa di ajak berbicara. Lelaki itu badannya kurus dan tinggi. Di bahunya ia menjinjing alat untuk mengisi ikan hasil pancingannya. Ia membuang pancingnya ke laut kemudian langsung menariknya, rupanya ia menangkap ikan yang ada di permukaan laut yang tidak membutuhkan umpan. Petu menanyakan nama pulau itu. “Pulau ini adalah Lambego tetapi sering disebut pulau kera karena banyak monyet. Besong dari mana? Kalau beta dari Timor. Be punama Saul.” kata lelaki yang sedang memancing itu.
“Saya Petu dan teman saya ini Renro, kami dari Lembata. Jadi pulau ini tidak ada perkampungan sama sekali? Ngeri sekali hidup di pulau begini.”


“O o o paling nyaman di sini. Lihat beta memancing sonde pake umpan, tetap dapat sa. Kalau perlu beras dan minyak beta bawa ikan pi tukar di pulau Bonerate di seberang sana.” Jawab Saul dalam dialek Kupang yang kental sambil terus membuang kail ke laut, lalu menariknya kembali. Kadang-kadang dapat dan kadang tidak. Jenis ikan yang ia tangkap seperti teri yang berukuran besar dan bersisik tebal. Ikan-ikan itu berkeriapan di atas laut sehingga untuk menangkapnya memang cukup dengan kail saja yang besar tanpa umpan.

Jadi pulau memanjang di seberang itu namanya Bonerate dan pulau tempat mereka berdiri namanya pulau Kera. Memang Saul benar hidup di pulau Lambego nyaman, tetapi apa artinya hanya berkawan dengan ribuan monyet? Lautnya memang kaya ikan, tetapi daratannya hanya ada pohon kelapa tanpa buah.
“Mengapa masyarakat tidak berburu monyet sehigga kelapa bisa berbuah?” Tanya Renro
“Perlo apa kejar itu monyet? Percuma sa, sonde ada gunanya, cari musuh sa. Berani mengganggu mereka berarti siap jadi korban. Dorang bekawan na, satu diganggu, seribu datang balas dendam. Lebeh bae, mancing ke, apa ke, urus tetek bengek yang lain, yang penting jangan ganggu itu monyet-monyet.” Saul memperingatkan rupanya semua warga tidak peduli dengan kera-kera di pulau itu.

“Om di sini kerja apa?” Tanya Petu kepada Saul yang tampak heran.
“Hai... lu sonde liat ko, beta lagi tangkap ikan.” Jawab Saul sambil tersenyum mengejek.
“Maksud saya pekerjaan untuk menghasilkan uang. Dengan memancing begini, apakah cukup untuk membiayai sekolah anak-anak?”
“Beta belum lagi berbini na..., nanti be ma pi jumput di Timor sa.”  Jawab Saul lalu berjalan menjauh sambil terus menerus membuang kailnya ke laut.  
Petu dan kedua temannya itu mengangkut air dari sumur tiga kali lalu naik ke perahu motor. Sementara mesin motor diperbaiki, mereka bertiga memancing. Ada macam-macam ikan yang mereka tangkap tetapi yang sering mereka dapat adalah ikan berwarna merah. Siang itu mereka menikmati ikan rebus dan  ikan panggang hasil tangkapan Petu, Salomon dan Renro, karena orang-orang perahu motor sibuk di kamar mesin. Sampai sore mesin motor belum berhasil diperbaiki, maka mereka akhirnya bermalam lagi.  Tidak apa-apa lebih baik berlabuh di pulau kera dari pada menghadapi arus dari barat yang masih mengganas dengan mesin motor dalam keadaan rusak.
Malamnya Petu menyandungkan lagu dolo-dolo dan disambung oleh Renro.  Suara mereka begitu ceria memeriahkan malam sepi nan gelap di teluk Pulau Kera, sambil menyaksikan kehidupan malam Bonerate dari kejauhan. Bunyi kendaraan sangat sayup-sayup terdengar, sedangkan di pulau Lambego tidak ada cahaya sama sekali.  
“Kneu di Ujungpandang mau bekerja atau sekolah?” Tanya Petu kepada Renro setelah ia capai berpantun tanpa berbalas.
“Nanti cari kerja dulu, kalau ada kesempatan baru kuliah. Tetapi entahlah, belum tahu keadaan yang sebenarnya.” Jawab yang ditanya.
“Kalau beta, sekolah tidak mungkin, paling kerja juga kelas buruh kasar.” Salomon ikut berbicara sebelum ditanya.
“Tidak apa-apa asal jangan jadi pencuri, hidup seperti siluman. Kerja apa saja yang penting halal. Saya sendiri sudah menikah dan paling ya dipercaya Baba mengawal barang dagangan kadang-kadang ke Surabaya, tetapi lebih banyak ke Ujungpandang. Biasanya seminggu lebih sudah balik ke Maumere lagi. Kali ini benar-benar sial, sementara tidak ada telepon untuk memberi khabar.” Suara Petu merendah Salomon dan Renro diam saja.
“Cari kerja di Ujungpandang sulit tidak?” Tanya Renro kepada Petu.
“Kelihatannya gampang. Orang-orang kita yang saya jumpai di sana pada umumnya sudah bekerja dan tidak ada yang menganggur.” Renro puas mendengar jawaban Petu. Ia berharap bisa mendapat pekerjaan di sana. 

Malam itu langit berawan tetapi tidak turun hujan sehingga mereka bertiga berbaring di geladak bagian haluan sambil bercerita akhirnya tertidur. Hembusan angin malam terdengar mendesing di daun kelapa dan di pesisir terdengar ombak memecah lembut. Ikan-ikan di dalam laut sepertinya tidak tidur, dan terus bermain di sekitar motor. Anak buah perahu motor di kamar mesin juga kecapaian dan keluar menggeletakan badan di atas geladak. 
Pagi berikutnya sekitar jam sembilan mesin motor selesai diperbaiki, dan perahu motor Gajah Mada menderu-deru siap meninggalkan pulau kera. Di darat tidak kelihatan orang dan juga tidak ada monyet-monyet. Mereka keluar dari selat antara pulau Lambego dan Bonerate. Begitu keluar dari 'gudang ikan' itu, mereka di hadapkan lagi pada gelombang laut yang rupanya belum puas mengamuk. Kekhawatiran akan karam sempat hilang di pulau Lambego, tetapi kini muncul lagi bersama gelombang laut yang menggunung dari barat. Renro memberi kode kepada Petu, lalu menunjuk ke laut sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Petu mendekat dan mereka berdua bisa mengobrol biarpun suara mereka harus melawan deru angin kencang.

Dari jauh kelihatan samar-samar sebuah pulau yang dinamakan Petu pulau kelapa karena pulau itu tertutup kelapa sampai ke gunung. Diperkirakan  sore hari mereka akan melewati pulau itu. Mereka dapat melihat ada asap api di antara pohon kelapa.  Penduduk di pulau itu relatif lebih banyak dari pada  di Lambego. Kata Petu ada seorang dari Adonara tinggal di pulau itu sambil mengurus kelapa. Petu sendiri belum pernah ke pulau itu, tetapi karena seringnya ia berlayar lewat di sana dan mendengar cerita dari penumpang lain. 
Tidak ada kapal-kapal, perahu motor atau perahu layar yang lain yang kelihatan berlayar siang itu, baik perahu motor penumpang maupun perahu nelayan. Menjelang sore Pulau kera sudah sangat samar-samar tertinggal di belakang sana, sementara pulau kelapa hampir mereka tinggalkan. Tidak ada hiburan lain selain ikan terbang memperlihatkan aksinya, terbang di atas laut tanpa gaya dibandingkan dengan kawanan burung pipit yang terbang di atas hamparan padi yang sedang menguning. Ikan-ikan itu  terbangnya datar lalu jatuh begitu saja ke dalam ombak. Renro dan Petu sangat menikmati hiburan yang tidak seni itu bersama datangnya malam tanpa bintang oleh awan kelabu yang membungkus langit. 
Salomon sudah mendengkur di dalam kamar sempit sementara Petu dan Renro masih bercerita. Renro bercerita tentang desa Waiteba yang telah lenyap ditelan gelombang tsunami. Kenangan-kenangan akan desa, ibukota Kecamatan Atadei itu, mereka bangkitkan dalam cerita yang akan lenyap juga bersama hilangnya generasi tua yang semakin berkurang. Hari semakin larut dan mereka juga larut tentang memori peradaban leluhur yang makin usang.