Jumat, 25 Januari 2013

Rumah Di Tanah Pinjaman



Oleh: Em Khebe

Rumah Bambu
Hujan turun terus hampir setiap hari, maka kadang-kadang Renro menginap di rumah bapak Baha yang terletak di tengah empang dekat tembok pabrik PT. SERNIWA STEEL WORKS tempatnya bekerja. Bau empang dan aroma kepala udang yang membusuk dari pabrik terasi di seberang jalan Tinumbu memenuhi udara, namun tetap menyenangkan sebab kembali ke Banta-bantaeng juga sama saja.

Di sana satu-satunya tempat yang kering untuk semua penghuni rumah adalah di atas tempat tidur. Si moli kecil dengan anak-anaknya di atas bangku panjang. Genangan banjir memenuhi rumah yang bagi Renro merupakan pengalaman baru yang tidak manusiawi, tetapi bagi keponakannya adalah hal biasa yang sudah dialami bertahun-tahun sejak mereka lahir.

Sambil memancing ikan mujair di empang bapak Baha, Renro membayangkan keadaan rumah kakak sepupunya dengan semua keponakannya yang ada di sana. Modis sudah kembali ke Flores jauh sebelum Renro masuk rumah sakit waktu operasi usus buntu. Mery, Sili dan Loly adalah ketiga anak kesayangan kakaknya Kia. Mereka tampaknya sudah terbiasa dengan datangnya banjir setiap tahun tetapi kalau kutu air mulai menyerang telapak dan jari-jari kaki, merekapun meringis menahan gatal.
Tiba-tiba tali pancing ditarik yang dibalas Renro dengan sentakan, ternyata seekor mujair hitam yang kena pancingnya. Renro melepaskannya dari kail lalu melanjutkan lamunannya.

Orang yang paling bertanggungjawab di rumah itu adalah Kia, ayah mereka. Apakah ibu mereka meninggal karena tidak tahan menanggung penderitaan? Renro hanya mereka-reka dalam hatinya, tetapi melihat keadaan rumah demikian tentu ada benarnya. 
“Sudah dapat berapa ikan om, hebat juga ya bisa memancing” Goda Alex anak Bapak Baha sambil melihat ke dalam ember tempat menaruh ikan.
 ”Ai baru satu ji dapatnya. Hujan begini ikang-ikang tidak tidak makang om.”  Alex meneruskan ocehannya dengan logat Makasar gaya Tallo Lama. 
”Yah.. ikan-ikan mungkin sudah kenyang minum air sehingga malas makan umpan. Sekali-kali umpannya dari daging goreng pasti ikan mau makan.” 
Alex tertawa saja mendengar canda Renro lalu masuk lagi ke dalam rumah.
“Kata om Renro, umpannya diganti pakai daging goreng dan sambal terasi.” Terdengar Alex meneruskan bualannya dengan tambahan bumbu terasi kepada orang-orang serumah. Dan terdengar mereka tertawa, Renro tersenyum saja mendengarnya. Alex, anak lelaki yang baru kelas empat SD selalu ceria.

Kakak Kia harus digugah cara berpikirnya. Untuk apa jabatan penting dan gaji yang lumayan di pabrik sementara anak-anaknya tinggal di rumah sempit dalam kubangan lumpur? Apakah uang gaji bulanan itu hanya cukup untuk makan dan membayar uang sekolah sementara rumah untuk tempat tinggal diabaikan? Untuk apa makan enak tetapi tidur di atas lumpur? Sedangkan ikan mujair pun menghindari kolam berlumpur. ‘Saya harus memaksa kakak Kia membangun rumah dan pindah dari sana, dari pada pikiran tersiksa.’ Tekad Renro lalu menyimpan pancingnya dan masuk ke dalam rumah.

Hari berikutnya Renro menjumpai Kia di kantor pabrik sebelum kakaknya itu bertugas keluar. 
”Hai orang muda gimana nih sudah jadi orang Tallo, tidak mau pulang lagi?” Sambut Kia, dari nada suaranya tidak lagi ramah kepada adiknya.
”Begini kakak. Kita sudah capai bekerja seharian tetapi pulang ke rumah tinggal di atas kubangan lumpur. Saya juga tidak memikirkan diri saya saja. Anak-anak sudah besar, mereka anak wanita yang punya rahasia. Sebagai orangtua kita mempunyai kewajiban menyediakan tempat yang layak dan aman untuk mereka.” Renro berhenti memberikan kesempatan kepada kakaknya.  
”Adik lihat sendiri kan? Saya pulang malam dan subuh sudah berangkat lagi. Kapan ada waktu memikirkan rumah dan anak-anak? Sudah capek ya.... tidur, mi.” Kia memberi alasan.

”Fanus yang kerja di toko orang Cina, ia juga berangkat pagi-pagi dan malam baru pulang. Tetapi baru beberapa tahun di Ujungpandang ia sudah membeli tanah 400 meter yang cukup luas untuk membangun rumah lengkap dengan halamannya. Saya tahu kakak jauh melebihi Fanus, baik pendidikan, pengalaman dan pendapatan”.
”Saya mau keluar. Malam kita pulang bersama supaya bisa membicarakannya di rumah.” Kata Kia sambil berdiri meninggalkan Renro yang masih duduk.

Bunyi sirene tanda mulai kerja, Renro kembali ke Machine Shop tetapi dengan hati yang lega. Belum ada hasilnya tetapi kata-katanya telah menggores dan menyentuh hati kakak sepupuhnya. Kalau memiliki rumah, mereka juga yang menikmatinya dan bukan Renro. Tetapi mengapa hal itu diabaikan oleh kakaknya sebagai kepala keluarga? Fanus sebagai seorang pemuda dari desa dan yang cuma tamatan SD itu sengaja Renro kemukakan untuk menunjukkan bahwa kakaknya Kia lebih mampu dan bisa memiliki rumah yang lebih bagus. 

Malamnya Kia dan Renro pulang bersama tetapi tidak banyak mengobrol. Renro juga merasa kurang aman membicarakan hal rumah tangga di dalam perjalanan. Setiba di rumah, banjir rupanya baru saja surut meninggalkan bercak-bercak coklat yang menempel di dinding papan. Lantai tanah sedang dibersihkan Mery. Sejak Modis pulang, Mery mengambil peran sebagai ibu rumah tangga yang mengurus segalanya termasuk memasak dan mencuci, padahal anak itu baru duduk di kelas dua esempe. Ia kelihatan begitu kurus dan pucat, tetapi mengapa Kia bapaknya tidak memperhatikannya? Teman-teman sebayanya sepulang sekolah memikirkan belajar dan bermain, sedangkan Mery langsung mencuci, menggosok dan memasak.

 ”Bagaimana adik, mau membangun rumah di mana? Gaji setiap bulan saya serahkan kepada anak-anak jadi tidak ada yang disimpan. Bagaimana kita mau membangun rumah?” kakaknya Kia membuka pembicaraan. ”Ia pak, mau bangun rumah pak?” ”Jadi kita pindah ke rumah baru.. pak?” Sili dan Loly begitu bersemangat bertanya kepada bapaknya. 
”Lihat dulu mi, uang tidak ada karena kamu simpan di Daeng Tola tukang coto dan entah di mana lagi. Sana tidur meko, jangan ganggu om dan bapak lagi berbicara serius.” Kia memperingatkan mereka.
“Jadi ya pak, harus bangun rumah saya sudah capek menguras banjir setiap tahun.” Pinta Mery dengan suara sendu sambil menarik kedua adiknya masuk. 
”Ia nak, nanti bapak perhatikan.” Suara Kia kedengaran sangat lunak kepada anak sulungnya.

Keheningan terjadi sesaat setelah anak-anak ke tempat tidur. 
”Kakak, saya sendiri tidak tahu mulai dari mana, tetapi yang saya prihatin adalah kita dan anak-anak tinggal dalam lumpur. Kita mendengar sendiri harapan mereka dan permintaan Mery tadi perlu kita perhatikan.”
”Nah saya harus bagaimana, meminjam uang untuk membangun rumah?  Tetapi kita tidak punya tanah. Tanah sekarang paling tidak setengah juta rupiah harganya yang harus di kumpulkan sekitar empat bulan gaji. Itu baru tanah, belum bahan material untuk membangun. Itu berarti kita tidak makan dan anak-anak juga berhenti sekolah semua. Pusing mi.. pusing… tidak gampang”. Suara Kia agak meninggi.

“Langkah yang paling mudah saat ini adalah cari kontrakan yang aman dan bebas dari banjir. Kita terhindar dari bau sampah dan lumpur. Di tempat yang aman itu baruah kita membuat rencana untuk memiliki rumah sendiri.” Renro agak hati-hati menyampaikan pemikirannya. 
”Di pabrik saya tahu kakak juga mendapat kepercayaan dari bos. Apa salahnya mengutarakan kesulitan yang dihadapi, siapa tahu kakak bisa mendapat pinjaman uang.” Saran Renro hilang ditelan malam yang kian pekat.

Pagi-pagi Renro tidak berangkat bekerja karena pilek berat sehingga kepalanya agak pusing. Melalui kakaknya Kia, Renro menitip pesan tentang sakitnya kepada pak Sutrisno atasannya, dan juga sekaligus minta kakaknya melapor kepada Satpam agar  tidak dicantumkan alpa. Renro terus berbaring sendirian ditemani moli yang menatap Renro seakan mau mengatakan sesuatu. Sayangnya anjing itu hanya mampu menatap saja. Tetapi dasar tidak terbiasa tidur siang, Renro hanya bolak-balik di atas tempat tidur seperti dia membolak-balik majalah dari depan ke belakang dan balik lagi ke depan.
Sekitar jam sebelas Renro pergi mengunjungi keluarganya yang lain di Rapocinni. Di sana Renro menceritakan kesulitan yang sedang dialami kakaknya Kia. 
”Ah kakakmu itu memang tidak mau mendengar saran saudara yang lain.Kakak Buka sudah menawarkan tanahnya untuk digunakan membangun, ditolaknya. Maka kami masa bodoh bukannya tidak memperhatikan kesulitan saudara, tetapi takut ditolak.” Kata Daniel kakak sepupuhnya  yang masih satu suku dengan kesal.
 ”Tetapi kakak Kia sepertinya mau berubah melihat anak-anak semakin besar.”
”Semoga saja, kami yang lain juga senang bila melihat anak-anaknya bahagia.” Begitu tanggapan Daniel. 
 Sore Renro pulang dengan perasaan yang jauh lebih tenang. Tanah kosong yang dikatakan pernah ditawarkan ke kakaknya Kia, sempat dilihatnya siang tadi. Tidak terlalu luas tetapi cukup untuk membangun sebuah rumah yang layak bagi sebuah kelurga. Mudah-mudahan kakaknya Kia tidak memasang gengsi untuk memohon tanah itu pada kakak Buka yang bekerja di bidang kesehatan.
Jam delapan malam kakaknya baru pulang sambil membawa dua botol minuman keras. Ia tidak bertanya lagi langsung mengambil dua gelas lalu mengisinya. Renro meminta diisi satu teguk saja karena ia tidak biasa minum minuman keras.
 ”Ini bukan minuman keras, ini air surga yang menghantar kita ke pelaminan. Tadi bos Jepang memberikan dua botol. Saya bilang cocok minum begini, badan jadi hangat dan... bergairah.” Kata yang terakhir dibisikan saja takut kedengaran anak-anak.
“Tadi kakak bertemu dengan bos Jepang?” Tanya Renro penuh selidik.
“Ia dong... siapa dulu yang punya kenalan bos Jepang. Besok tinggal menghadap lagi dan ambil uang. Kakak Buka merelakan tanah dan balok-balok yang bisa kita pakai jadi besok kamu mulai membangun.”  Kakaknya Kia bersemangat dan wajahnya terbakar merah oleh minuman alkohol Jhoni Walker. Renro tersenyum puas ternyata apa yang dipikirkannya selama ini datangnya lebih cepat. Malam itu juga Renro membuat perhitungan bahan yang akan digunakan membangun rumah semi permanen.
Pantai Waiteba


Pagi-pagi hari berikutnya sebelum kakaknya berangkat ke pabrik, Renro memberikan catatan jumlah triplek, seng dan bahan lain yang harus dibeli. Setelah sarapan ia sendiri pergi lagi ke Rapocinni melewati gang-gang yang kemarin sore baru dilaluinya. Di tanah kosong kakak Buka, tampak tiga lelaki seusia Renro sedang menyusun balok-balok yang baru di keluarkan dari rumah kakak sepupuhnya itu. Renro langsung saja mengukur dan memberi tanda mana yang akan dipotong dan di pahat. Renro dibantu tiga pemuda sedankan ia sendiri tidak dapat mengangkat beban. Luka operasi di lambungnya belum sembuh. Sebelum jam satu siang pemotongan dan pemahatan balok-balok itu selesai. Mereka istirahat untuk makan siang di rumah kakak Daniel.
Sekitar jam tiga kakak Kia datang mengantar bahan-bahan yang dipesan Renro berupa paku-paku, seng dan triplek. Sore itu juga semakin banyak orang yang datang membantu tanpa diminta dan tanpa dibayar,  gotong-royong gaya kampung di tengah kota Ujungpandang. Sore itu juga stelan kerangka rumah mereka dirikan, berarti kuda-kuda dan pekerjaan urutannya siap menyusul hari berikutnya. Malam itu Kia dan Renro tidur di bawah kerangka rumah sambil mengawasi seng dan triplek.
Minggu pagi Renro pergi beribadat di gereja Mamajang mengucap syukur kepada Tuhan sekaligus memohon berkat-Nya agar pekerjaan pembangunan rumah segera mereka bereskan tanpa gangguan. Sepulang gereja Renro langsung ke rumah baru yang ternyata Minggu pagi itu sudah ada yang bekerja. Tidak lama kemudian atap seng mulai di pasang, dan ada empat atau lima orang memaku dinding triplek. Luar biasa! Sore itu juga pekerjaan pembangunan rumah baru selesai, termasuk pintu depan dan belakang serta jendela. Mereka yang membantu sejak pagi masih juga merelakan diri mengangkut barang-barang dari Jalan Banta-bantaeng.
Minggu malam keluarga kecil dari jalan Banta-bantaeng yang bertahun-tahun menghirup bau sampah dan lumpur setiap musim hujan,  pada malam itu merdeka. Mereka rayakan malam pertama di rumah baru dengan makan nasi bungkus dicampur coto makasar. Suatu babak kehidupan yang baru, terutama bagi Mery, Sili dan Loly. Ketiga anak wanita itu menempati satu kamar tidur, sedangkan Renro dan Kia di kamar yang lain.Ternyata masalahnya sesederhana begitu tetapi hanya kesulitan yang dipikirkan bertahun-tahun hingga anak-anak mencapai usia remaja. Benarlah kata para bijak bahwa lebih baik bersahabat dengan semua orang, maka bantuan akan datang bila kita mendapat kesulitan.

Sekarang mereka memiliki rumah dalam arti yang sebenarnya, bukan kontrak. Rumah itu bisa dicat dan dindingya bisa dihiasi dengan gambar-gambar aneka warna. Tidak ada yang melarang dan anak-anak bebas berkreasi. Mereka bisa menata kembang plastik di meja ruang tamu, mereka bisa mengatur menu dan memasak karena ada dapur, dan membuang hajat pada closet yang bersih terawat. Mereka memiliki rumah diatas tanah pinjaman milik Buka sesuai sertifikat resmi dari Notaris Ujungpandang, yang tersimpan dalam map di dalam lemari.

Sayup-sayup terdengar lagu Anging Mamiri mengalun di rumah tetangga dari stasiun RRI Ujungpandang. Kia dan Renro duduk di atas bangku di halaman rumah, memandang langit cerah penuh cahaya bintang. Betapa bahagianya keluarga itu tinggal di rumah sendiri yang didirikan di atas tanah pinjaman. ***

Kamis, 03 Januari 2013

SUARA GAIB



Oleh: Em Khebe
Rs. Setlla Maris
Pada suatu sore, ketika keluar dari pabrik, Renro merasa sangat lemas hingga tidak mampu mandi dan makan malam. Setiba di rumah di Banta-bantaeng Renro langsung tidur saja hingga pagi. Ketika bangun pagi, suasana rumah sepi karena ketiga keponakannya sudah berangkat ke sekolah dan kakaknya Kia juga sudah berangkat ke pabrik tanpa memanggilnya. Walaupun dalam keadaan lemas tetapi Renro berusaha mandi lalu ke rumah sakit untuk memeriksakan diri di sana.

Ia memilih ke rumah sakit Stella Maris yang terletak di pantai Losari. Ia tahu rumah sakit itu karena ia sering melewatinya ke Perpustakaan Umum. Dan sering juga ia bersama temannya Goe atau Fanus makan kacang rebus di tangga pantai Losari di depan rumah sakit sambil menikmati matahari sore yang terbenam perlahan-lahan ke dalam laut Flores.
  
Setelah mendaftar dan menunggu, Renro mendapat panggilan untuk diperiksa. Dokter yang memeriksanya menduga Renro menderita appendix acut maka harus segera di operasi. Renro sendiri amat setuju dengan pernyataan dokter itu. Renro ke sal untuk melihat tempat tidurnya, lalu kembali ke rumah mengambil pakaian ganti beberapa helai dan langsung kembali ke rumah sakit lagi. Sore itu juga Renro disuruh berpuasa sebagai persiapan untuk dioperasi esok pagi.

Suasana di sal rumah sakit itu amat ramai. Sal itu hampir semua tempat tidur terisi pasien dengan  bermacam-macam keluhan penyakit. Setiap pasien mempunyai penunggu lebih dari satu orang, sehingga jumlah mereka berlipat dua bahkan lebih. Renro berbaring sambil menahan sakit dibagian kanan perutnya dan juga perih karena sudah lebih dari sehari perutnya tidak terisi makanan. Biarpun begitu hatinya amat tenang menunggu sumber penyakit lambungnya di buang.
           
Pagi berikutnya seorang suster datang ke kamar mandi untuk dicukur. Renro kaget, apa yang dicukur? “Bulu-bulu dekat lokasi operasi itu akan mengganggu jadi harus dicukur,” demikian si perawat yang cantik itu menjelaskan. “Kalau begitu saya bereskan sendiri, tidak perlu dibantu.”  Renro Keberatan. “Jangan takut, saya sudah berkeluarga!” Perawat itu meyakinkan Renro, tetapi pendirian Renro tidak tergoyahkan. Ia malu kalau onderdil pribadi dan rahasianya ke pegang  oleh seorang wanita cantik. Kalau dalam keadaan lemas pasti aman, tetapi mana tahan si ‘kucing garong’ melihat ikan asin? “Tidak bu, berikan silet dan saya bersihkan sendiri!” Demikian keputusan Renro.

Sambil membersihkan badan, Renro menyanyikan lagu Ebiet, “Dari sudut manakah gerangan, aku seg’ra mulai…” sambil mempermainkan silet yang sangat tajam. Suasana hatinya begitu ceria seterang daerah rahasia yang telah menjadi gundul. Renro melangkah keluar kamar mandi sambil tersenyum ceria, di wajahnya terbersit aura kemenangan dari kemauan si suster cantik yang hendak mencukurnya. Kalau bisa sendiri mengapa harus orang lain yang mengerjakan? Ia merasa sangat siap untuk memasuki kamar operasi.

Jam Sembilan, dua orang suster perawat membawa kereta dorong, menjemputnya ke ruang operasi. Mereka bercanda sambil membuka selimut penutup daerah rahasianya dengan pura-pura bertanya: “Sudah cukur belum?” Banyak canda dari perawat-perawat membuat Renro terus tersenyum memasuki ruang operasi. Renro diminta berdoa dalam hati kemudian menghitung dengan suara keras, tetapi belum sampai hitungan sepuluh Renro masuk dan berjalan dalam gang sempit yang serba putih. Tidak ada siapa-siapa dan hal itu membuat Renro agak takut.
Renro berjalan di lorong putih.



Kemudian Renro mendapati dirinya ada dalam satu ruangan. Ia menonton orang-orang mengelilinginya. Tiba-tiba ada yang suara bertanya; “Renro sudah punya pacar atau belum?” 
“Belum” dijawab Renro dengan suara ngebas yang kedengaran aneh.
 “Memangnya mau jadi apa?” Suara itu bertanya lagi.
“Bruder.”
“Bruder itu apa?” Ternyata Renro mendengar suara itu dalam kenyataan, bukan dalam mimpi. Beberapa saat kemudian Renro sadar dan mendapati dirinya sudah ada di sal. Suasana ruang operasi dengan peralatan pisau dan gunting yang sering dipikirkan tidak ada sama sekali.

Renro bertanya kepada seorang suster mengapa tidak jadi operasi? Pertanyaannya tidak dijawab, malahan semua tertawa. Setelah tertawa mereda, suster itu menjawab, “Renro berada di ruang operasi hanya delapan menit. Usus buntu langsung keluar, jadi dokter tidak sibuk membongkar terlalu lama. Sekarang aman, tinggal tunggu sembuh.” Renro mengangguk setuju kemudian tertidur lelap sekali.

Gang yang dindingnya serba putih dan jawabannya atas pertanyaan suster perawat itulah yang sangat mengganggu pikiran Renro. Mengapa ia berjalan di dalam gang yang serba putih? Apakah itu gambaran tentang jalan ke surga? Lalu menjadi bruder! Itu memang pernah mampir dibenaknya untuk menjadi bruder, tetapi keinginan itu sudah dilupakannya sejak bapaknya meninggal. Keinginan itupun waktu itu hanya berada di dalam pikirannya dan tidak pernah diutarakannya kepada siapa-siapa, tetapi sekarang justru terungkap ketika ia tidak sadar? Apakah ini yang dinamakan Panggilan Tuhan? Tidak ada jawaban karena Renro hanya bertanya-tanya di dalam hatinya.

Tiga hari kemudian Renro sudah diizinkan keluar dari Rumah sakit. Ia pulang dulu ke rumah untuk mengambil uang dalam kopor di rumah lalu kembali ke rumah sakit. Sekitar jam delapan dua suster yang masih muda, kelihatannya yang satu masih belajar. Mereka berdua melepaskan jahitan di perut Renro, dan perawat si cantik hitam manis yang lebih muda sepertinya menggemgam dengan bersemangat ’senjata’ Renro. Renro menyadari, rupanya urusan nafsu bukan milik kaum pria saja.  

Renro dipesan agar mengompres bekas operasi dengan air hangat untuk mencegah infeksi, lalu ia menumpang becak pulang ke Jalan Banta-bantaeng. Renro beristirahat lagi tiga hari di rumah dan Goe sahabatnya datan menemani Renro ketika keponakannya berangkat ke sekolah. Selama masa istirahatnya itu mereka berdua bukannya diam di rumah, malahan keliaran sampai ke kantor Depnaker membaca berbagai pengumuman, terutama bursa kerja. Goe dan Renro tertarik bekerja di kebun kakao di Malaysia, tetapi itu hanya keinginan sesaat saja. Upahnya dihitung dalam ringgit Malaysia, sedikit lebih mahal dari pada gaji di Ujungpandang. Tetapi begitu sampai di rumah mereka melupakan keinginan ke Malaysia.

Meskipun bekas operasi masih perih, tetapi Renro masuk kerja seperti biasa. Pak Sutrisno melarangnya untuk bekerja terlalu berat, maka ia hanya menggambar dan sesekali mengawasi mesin bubut. Renro sendiri pun setelah operasi tidak tertarik lagi pada pekerjaan, bukan karena malas atau sakit. Ia sendiri tidak tahu alasannya. Suatu siang datang petugas membawa dua pasang seragam baru, helm baru dan sepatu baru, tetapi hati Renro sudah menjadi terlalu hambar. Pekerjaan di pabrik, melanjutkan kuliah dan membeli tanah untuk membangun rumah sendiri adalah belum lama sebelum operasi usus buntu merupakan cita-cita yang sering diimpikan, tetapi semuanya kini tidak berarti lagi. Jawaban atas pertanyaan suster di Stella Maris itulah yang sangat mengganggu.

Fanus temannya kadang datang menjemputnya dengan sepeda ke pinggir sungai Tallo. Di sana di atas tanahnya, Fanus membangun rumah sederhana, berdinding gedek dan beratap daun nipah. Renro diminta agar segera membeli kapling yang masih kosong, tetapi ia hanya tersenyum dan menggeleng saja. Memiliki rumah di pinggir sungai memang menyenangkan dan pernah menjadi cita-cita tetapi kini sudah buyar.

Helem kuning, seragam abu-abu dan sepasang sepatu boot baru tidak mampu menjelaskan kegalauan hati Renro. Ia terpikat pada sesuatu yang lain, bukan pada kuliah, bukan pada pekerjaan serta membangun rumah, dan bukan juga pada wanita cantik Aminah yang sering tersenyum mengoda dengan kerdipan matanya. Canda Fanus tentang gadis-gadis Toraja hanya ditanggapi dengan tertawa. Mimpi dan jawabannya di rumah sakit itulah yang mengganggu pikirannya, tetapi dia juga bingung akan ke mana.
***