Oleh: Em Khebe
Rumah Bambu |
Di sana satu-satunya tempat yang kering untuk semua penghuni rumah adalah di atas tempat tidur. Si moli kecil dengan anak-anaknya di atas bangku panjang. Genangan banjir memenuhi rumah yang bagi Renro merupakan pengalaman baru yang tidak manusiawi, tetapi bagi keponakannya adalah hal biasa yang sudah dialami bertahun-tahun sejak mereka lahir.
Sambil memancing ikan mujair di
empang bapak Baha, Renro membayangkan keadaan rumah kakak sepupunya dengan semua
keponakannya yang ada di sana.
Modis sudah kembali ke Flores jauh sebelum
Renro masuk rumah sakit waktu operasi usus buntu. Mery, Sili dan Loly adalah
ketiga anak kesayangan kakaknya Kia. Mereka tampaknya sudah terbiasa
dengan datangnya banjir setiap tahun tetapi kalau kutu air mulai menyerang
telapak dan jari-jari kaki, merekapun meringis menahan gatal.
Tiba-tiba tali pancing ditarik yang dibalas Renro dengan sentakan, ternyata seekor mujair hitam yang kena pancingnya. Renro melepaskannya dari kail lalu melanjutkan lamunannya.
Tiba-tiba tali pancing ditarik yang dibalas Renro dengan sentakan, ternyata seekor mujair hitam yang kena pancingnya. Renro melepaskannya dari kail lalu melanjutkan lamunannya.
Orang yang paling bertanggungjawab
di rumah itu adalah Kia, ayah mereka. Apakah ibu mereka meninggal karena tidak
tahan menanggung penderitaan? Renro
hanya mereka-reka dalam hatinya, tetapi melihat keadaan rumah demikian tentu
ada benarnya.
“Sudah dapat berapa ikan om, hebat juga ya bisa memancing” Goda Alex anak Bapak Baha sambil melihat ke dalam ember tempat menaruh ikan.
”Ai baru satu ji dapatnya. Hujan begini ikang-ikang tidak tidak makang om.” Alex meneruskan ocehannya dengan logat Makasar gaya Tallo Lama.
”Yah.. ikan-ikan mungkin sudah kenyang minum air sehingga malas makan umpan. Sekali-kali umpannya dari daging goreng pasti ikan mau makan.”
Alex tertawa saja mendengar canda Renro lalu masuk lagi ke dalam rumah.
“Kata om Renro, umpannya diganti pakai daging goreng dan sambal terasi.” Terdengar Alex meneruskan bualannya dengan tambahan bumbu terasi kepada orang-orang serumah. Dan terdengar mereka tertawa, Renro tersenyum saja mendengarnya. Alex, anak lelaki yang baru kelas empat SD selalu ceria.
“Sudah dapat berapa ikan om, hebat juga ya bisa memancing” Goda Alex anak Bapak Baha sambil melihat ke dalam ember tempat menaruh ikan.
”Ai baru satu ji dapatnya. Hujan begini ikang-ikang tidak tidak makang om.” Alex meneruskan ocehannya dengan logat Makasar gaya Tallo Lama.
”Yah.. ikan-ikan mungkin sudah kenyang minum air sehingga malas makan umpan. Sekali-kali umpannya dari daging goreng pasti ikan mau makan.”
Alex tertawa saja mendengar canda Renro lalu masuk lagi ke dalam rumah.
“Kata om Renro, umpannya diganti pakai daging goreng dan sambal terasi.” Terdengar Alex meneruskan bualannya dengan tambahan bumbu terasi kepada orang-orang serumah. Dan terdengar mereka tertawa, Renro tersenyum saja mendengarnya. Alex, anak lelaki yang baru kelas empat SD selalu ceria.
Kakak Kia harus digugah cara berpikirnya. Untuk apa jabatan penting dan gaji yang lumayan di pabrik sementara anak-anaknya tinggal di rumah sempit dalam kubangan lumpur? Apakah uang gaji bulanan itu hanya cukup untuk makan dan membayar uang sekolah sementara rumah untuk tempat tinggal diabaikan? Untuk apa makan enak tetapi tidur di atas lumpur? Sedangkan ikan mujair pun menghindari kolam berlumpur. ‘Saya harus memaksa kakak Kia membangun rumah dan pindah dari sana, dari pada pikiran tersiksa.’ Tekad Renro lalu menyimpan pancingnya dan masuk ke dalam rumah.
Hari
berikutnya Renro menjumpai Kia di kantor pabrik sebelum kakaknya itu bertugas
keluar.
”Hai orang muda gimana nih sudah jadi orang Tallo, tidak mau pulang lagi?” Sambut Kia, dari nada suaranya tidak lagi ramah kepada adiknya.
”Hai orang muda gimana nih sudah jadi orang Tallo, tidak mau pulang lagi?” Sambut Kia, dari nada suaranya tidak lagi ramah kepada adiknya.
”Begini kakak. Kita sudah capai bekerja seharian tetapi
pulang ke rumah tinggal di atas kubangan lumpur. Saya juga tidak memikirkan
diri saya saja. Anak-anak sudah besar, mereka anak wanita
yang punya rahasia. Sebagai orangtua kita mempunyai kewajiban menyediakan
tempat yang layak dan aman untuk mereka.” Renro berhenti memberikan kesempatan kepada
kakaknya.
”Adik lihat sendiri kan? Saya pulang malam dan subuh sudah berangkat lagi. Kapan ada waktu memikirkan rumah dan
anak-anak? Sudah capek ya.... tidur, mi.” Kia memberi alasan.
”Fanus yang kerja di toko orang Cina, ia juga berangkat pagi-pagi dan malam baru
pulang. Tetapi baru beberapa tahun di Ujungpandang ia sudah membeli tanah 400 meter yang cukup
luas untuk membangun rumah lengkap dengan halamannya. Saya tahu kakak jauh
melebihi Fanus, baik pendidikan, pengalaman dan pendapatan”.
”Saya mau keluar. Malam kita pulang bersama supaya bisa membicarakannya di
rumah.” Kata Kia sambil berdiri meninggalkan Renro yang masih duduk.
Bunyi sirene tanda mulai kerja, Renro
kembali ke Machine Shop tetapi dengan hati yang lega. Belum ada hasilnya tetapi
kata-katanya telah menggores dan menyentuh hati kakak sepupuhnya. Kalau memiliki rumah, mereka juga yang
menikmatinya dan bukan Renro. Tetapi mengapa hal itu diabaikan oleh kakaknya
sebagai kepala keluarga? Fanus sebagai seorang pemuda
dari desa dan yang cuma tamatan SD itu sengaja Renro kemukakan untuk
menunjukkan bahwa kakaknya Kia lebih mampu dan bisa memiliki rumah yang lebih
bagus.
Malamnya
Kia dan Renro pulang bersama tetapi tidak banyak mengobrol. Renro juga merasa kurang
aman membicarakan hal rumah tangga di dalam perjalanan. Setiba di rumah, banjir
rupanya baru saja surut meninggalkan bercak-bercak coklat yang menempel di dinding
papan. Lantai tanah sedang dibersihkan Mery. Sejak Modis pulang, Mery
mengambil peran sebagai ibu rumah tangga yang mengurus segalanya termasuk
memasak dan mencuci, padahal anak itu baru duduk di kelas dua esempe. Ia
kelihatan begitu kurus dan pucat, tetapi mengapa Kia bapaknya tidak
memperhatikannya? Teman-teman sebayanya sepulang sekolah memikirkan belajar dan
bermain, sedangkan Mery langsung mencuci, menggosok dan memasak.
”Bagaimana
adik, mau membangun rumah di mana? Gaji setiap bulan saya serahkan kepada
anak-anak jadi tidak ada yang disimpan. Bagaimana kita mau membangun rumah?”
kakaknya Kia membuka pembicaraan. ”Ia pak, mau bangun rumah pak?” ”Jadi kita
pindah ke rumah baru.. pak?” Sili dan Loly begitu bersemangat bertanya kepada
bapaknya.
”Lihat dulu mi, uang tidak ada karena kamu simpan di Daeng Tola tukang coto dan entah di mana lagi. Sana tidur meko, jangan ganggu om dan bapak lagi berbicara serius.” Kia memperingatkan mereka.
“Jadi ya pak, harus bangun rumah saya sudah capek menguras banjir setiap tahun.” Pinta Mery dengan suara sendu sambil menarik kedua adiknya masuk.
”Ia nak, nanti bapak perhatikan.” Suara Kia kedengaran sangat lunak kepada anak sulungnya.
”Lihat dulu mi, uang tidak ada karena kamu simpan di Daeng Tola tukang coto dan entah di mana lagi. Sana tidur meko, jangan ganggu om dan bapak lagi berbicara serius.” Kia memperingatkan mereka.
“Jadi ya pak, harus bangun rumah saya sudah capek menguras banjir setiap tahun.” Pinta Mery dengan suara sendu sambil menarik kedua adiknya masuk.
”Ia nak, nanti bapak perhatikan.” Suara Kia kedengaran sangat lunak kepada anak sulungnya.
Keheningan
terjadi sesaat setelah anak-anak ke tempat tidur.
”Kakak, saya sendiri tidak tahu mulai dari mana, tetapi yang saya prihatin adalah kita dan anak-anak tinggal dalam lumpur. Kita mendengar sendiri harapan mereka dan permintaan Mery tadi perlu kita perhatikan.”
”Kakak, saya sendiri tidak tahu mulai dari mana, tetapi yang saya prihatin adalah kita dan anak-anak tinggal dalam lumpur. Kita mendengar sendiri harapan mereka dan permintaan Mery tadi perlu kita perhatikan.”
”Nah saya harus
bagaimana, meminjam uang untuk membangun rumah?
Tetapi kita tidak punya tanah. Tanah sekarang paling tidak setengah juta
rupiah harganya yang harus di kumpulkan sekitar empat bulan gaji. Itu baru tanah, belum bahan material untuk membangun. Itu berarti kita
tidak makan dan anak-anak juga berhenti sekolah semua. Pusing mi.. pusing…
tidak gampang”. Suara Kia agak meninggi.
“Langkah yang
paling mudah saat ini adalah cari kontrakan yang aman dan bebas dari banjir. Kita terhindar dari bau sampah dan lumpur.
Di tempat yang aman itu baruah kita membuat rencana untuk memiliki rumah
sendiri.” Renro agak hati-hati menyampaikan pemikirannya.
”Di pabrik saya tahu kakak juga mendapat kepercayaan dari bos. Apa salahnya mengutarakan kesulitan yang dihadapi, siapa tahu kakak bisa mendapat pinjaman uang.” Saran Renro hilang ditelan malam yang kian pekat.
”Di pabrik saya tahu kakak juga mendapat kepercayaan dari bos. Apa salahnya mengutarakan kesulitan yang dihadapi, siapa tahu kakak bisa mendapat pinjaman uang.” Saran Renro hilang ditelan malam yang kian pekat.
Pagi-pagi
Renro tidak berangkat bekerja karena pilek berat sehingga kepalanya agak
pusing. Melalui kakaknya Kia, Renro menitip pesan tentang sakitnya kepada pak
Sutrisno atasannya, dan juga sekaligus minta kakaknya melapor kepada Satpam agar tidak dicantumkan alpa. Renro terus berbaring sendirian
ditemani moli yang menatap Renro seakan mau mengatakan sesuatu. Sayangnya
anjing itu hanya mampu menatap saja. Tetapi dasar tidak terbiasa tidur
siang, Renro hanya bolak-balik di atas tempat tidur seperti dia membolak-balik
majalah dari depan ke belakang dan balik lagi ke depan.
Sekitar
jam sebelas Renro pergi mengunjungi keluarganya yang lain di Rapocinni. Di sana
Renro menceritakan kesulitan yang sedang dialami kakaknya Kia.
”Ah kakakmu itu memang tidak mau mendengar saran saudara yang lain.Kakak Buka sudah menawarkan tanahnya untuk digunakan membangun, ditolaknya. Maka kami masa bodoh bukannya tidak memperhatikan kesulitan saudara, tetapi takut ditolak.” Kata Daniel kakak sepupuhnya yang masih satu suku dengan kesal.
”Tetapi kakak Kia sepertinya mau berubah melihat anak-anak semakin besar.”
”Ah kakakmu itu memang tidak mau mendengar saran saudara yang lain.Kakak Buka sudah menawarkan tanahnya untuk digunakan membangun, ditolaknya. Maka kami masa bodoh bukannya tidak memperhatikan kesulitan saudara, tetapi takut ditolak.” Kata Daniel kakak sepupuhnya yang masih satu suku dengan kesal.
”Tetapi kakak Kia sepertinya mau berubah melihat anak-anak semakin besar.”
”Semoga saja, kami yang lain juga senang bila
melihat anak-anaknya bahagia.” Begitu tanggapan Daniel.
Sore
Renro pulang dengan perasaan yang jauh lebih tenang. Tanah kosong yang dikatakan pernah ditawarkan ke
kakaknya Kia, sempat dilihatnya siang tadi. Tidak terlalu luas tetapi cukup
untuk membangun sebuah rumah yang layak bagi sebuah kelurga. Mudah-mudahan
kakaknya Kia tidak memasang gengsi untuk memohon tanah itu pada kakak Buka yang
bekerja di bidang kesehatan.
Jam delapan malam kakaknya baru pulang sambil membawa dua botol minuman keras.
Ia tidak bertanya lagi langsung mengambil dua gelas lalu mengisinya. Renro meminta diisi satu teguk saja karena ia tidak biasa minum minuman keras.
”Ini bukan minuman keras, ini air surga yang menghantar kita ke pelaminan. Tadi bos Jepang memberikan dua botol. Saya bilang cocok minum begini, badan jadi hangat dan... bergairah.” Kata yang terakhir dibisikan saja takut kedengaran anak-anak.
”Ini bukan minuman keras, ini air surga yang menghantar kita ke pelaminan. Tadi bos Jepang memberikan dua botol. Saya bilang cocok minum begini, badan jadi hangat dan... bergairah.” Kata yang terakhir dibisikan saja takut kedengaran anak-anak.
“Tadi kakak
bertemu dengan bos Jepang?” Tanya Renro penuh selidik.
“Ia dong...
siapa dulu yang punya kenalan bos Jepang. Besok tinggal menghadap lagi dan
ambil uang. Kakak Buka merelakan
tanah dan balok-balok yang bisa kita pakai jadi besok kamu mulai
membangun.” Kakaknya Kia bersemangat dan
wajahnya terbakar merah oleh minuman alkohol Jhoni Walker. Renro tersenyum puas ternyata apa
yang dipikirkannya selama ini datangnya lebih cepat. Malam itu juga Renro
membuat perhitungan bahan yang akan digunakan membangun rumah semi permanen.
Pantai Waiteba |
Pagi-pagi hari berikutnya sebelum kakaknya berangkat ke pabrik, Renro memberikan catatan jumlah triplek, seng dan bahan lain yang harus dibeli. Setelah sarapan ia sendiri pergi lagi ke Rapocinni melewati gang-gang yang kemarin sore baru dilaluinya. Di tanah kosong kakak Buka, tampak tiga lelaki seusia Renro sedang menyusun balok-balok yang baru di keluarkan dari rumah kakak sepupuhnya itu. Renro langsung saja mengukur dan memberi tanda mana yang akan dipotong dan di pahat. Renro dibantu tiga pemuda sedankan ia sendiri tidak dapat mengangkat beban. Luka operasi di lambungnya belum sembuh. Sebelum jam satu siang pemotongan dan pemahatan balok-balok itu selesai. Mereka istirahat untuk makan siang di rumah kakak Daniel.
Sekitar
jam tiga kakak Kia datang mengantar bahan-bahan yang dipesan Renro berupa
paku-paku, seng dan triplek. Sore itu juga semakin banyak orang yang
datang membantu tanpa diminta dan tanpa dibayar, gotong-royong gaya kampung di tengah kota Ujungpandang. Sore itu juga stelan
kerangka rumah mereka dirikan, berarti kuda-kuda dan pekerjaan urutannya siap
menyusul hari berikutnya. Malam itu Kia dan Renro tidur di bawah kerangka rumah
sambil mengawasi seng dan triplek.
Minggu pagi Renro pergi beribadat di gereja Mamajang mengucap syukur kepada Tuhan sekaligus memohon berkat-Nya agar
pekerjaan pembangunan rumah segera mereka bereskan tanpa gangguan. Sepulang
gereja Renro langsung ke rumah baru yang ternyata Minggu pagi itu sudah ada
yang bekerja. Tidak lama kemudian atap seng mulai di pasang, dan ada empat atau
lima orang
memaku dinding triplek. Luar biasa! Sore itu juga pekerjaan pembangunan rumah
baru selesai, termasuk pintu depan dan belakang serta jendela. Mereka yang
membantu sejak pagi masih juga merelakan diri mengangkut barang-barang dari
Jalan Banta-bantaeng.
Minggu malam keluarga kecil dari
jalan Banta-bantaeng yang bertahun-tahun menghirup bau sampah dan lumpur setiap musim
hujan, pada malam itu merdeka. Mereka rayakan malam pertama di rumah baru dengan makan nasi bungkus
dicampur coto makasar. Suatu babak kehidupan yang baru, terutama bagi Mery,
Sili dan Loly. Ketiga anak wanita itu menempati satu kamar tidur, sedangkan Renro dan Kia di kamar yang lain.Ternyata masalahnya sesederhana
begitu tetapi hanya kesulitan yang dipikirkan bertahun-tahun hingga anak-anak
mencapai usia remaja. Benarlah kata para bijak bahwa lebih baik bersahabat
dengan semua orang, maka bantuan akan datang bila kita mendapat kesulitan.
Sekarang mereka memiliki rumah dalam arti yang sebenarnya, bukan kontrak. Rumah itu bisa dicat dan dindingya bisa dihiasi dengan gambar-gambar aneka warna. Tidak ada yang melarang dan anak-anak bebas berkreasi. Mereka bisa menata kembang plastik di meja ruang tamu, mereka bisa mengatur menu dan memasak karena ada dapur, dan membuang hajat pada closet yang bersih terawat. Mereka memiliki rumah diatas tanah pinjaman milik Buka sesuai sertifikat resmi dari Notaris Ujungpandang, yang tersimpan dalam map di dalam lemari.
Sayup-sayup terdengar lagu Anging Mamiri mengalun di rumah tetangga dari stasiun RRI Ujungpandang. Kia dan Renro duduk di atas bangku di halaman rumah, memandang langit cerah penuh cahaya bintang. Betapa bahagianya keluarga itu tinggal di rumah sendiri yang didirikan di atas tanah pinjaman. ***