Rabu, 24 Oktober 2012

Terdampar di Pulau Pamana


Oleh: Em Khebe

Pelabuhan
Suatu pagi di pelabuhan Maumere, Renro mengamati kesibukan di atas dermaga. Sebetulnya dia mencari perahu motor atau kapal yang akan ditumpanginya. Tidak ada kapal penumpang, hanya ada perahu-perahu motor pengangkut barang, ada satu dari Surabaya, itu tertulis pada sebuah ban dekat jendela kapiten. Ada sebuah lagi di dermaga sebelah timur, kaum buruh sedang sibuk menurunkan karung-karung dari truk dan mengangkutnya kedalam perahu motor. Rupanya perahu motor itu yang akan berangkat ke Ujungpandang. Itu terlihat dari karung-karung milik Baba Liong yang tadi pagi dilihat Renro di rumahnya.

Ada karung-karung berisi buah asam yang sudah dibuang bijinya lalu dipadatkan hingga mencapai berat seratus kilogram sekarung. Ada juga teripang kering yang menjijikkan. Kalau di pantai Lewoleba, teripang-teripang dibiarkan tergeletak di atas pasir sedangkan di sini dikeringkan dan diisi dalam karung. Entah untuk apa dengan makhluk kering itu.

Di sebelah barat berderet bukit-bukit coklat bekas terbakar di musim kemarau yang lalu, dan lebih ke barat lagi mungkin di sana ada gugusan kepulauan; Sumbawa, Lombok, Bali dan pulau Jawa. Di sana ada kota Jakarta, tujuan Kanute pada bulan Oktober tahun lalu. Sedikit ke utara sangat samar-samar terlihat pulau Palue yang dari Maumere hanya berupa satu gunung yang legam.

Jam satu siang atau pukul tigabelas, semua penumpang dipersilahkan naik ke perahu motor Gajah Mada. Tulisan nama itu tadi tersembunyi sehingga tidak terbaca dan sekarang baru kelihatan. Tidak lama kemudian tali temali pengikat perahu di lepas, perahu bergerak ke barat laut melawan gelombang teluk Maumere yang kacau oleh hembusan angin dari barat. Renro ikut bersama penumpang yang lain dan meletakan tasnya diatas karung.

Alam laut di akhir Januari memang tidak bersahabat. Langit mulai semakin mendung dan tiupan dari arah depan semakin kencang. Keadaan motor semakin oleng dan penumpang ada yang muntah-muntah. Renro duduk di atas tumpukan karung dekat dapur. Tiba-tiba ada hempasan ombak yang besar dari sebelah utara. Tumpukan karung jatuh berantakan di atas palka, penumpang kocar-kacir menyelamatkan diri, dan ada yang jatuh bersama karung-karung, tetapi tidak ada yang jatuh ke laut. Renro juga turun dari tumpukan karung. 

Mula-mula Renro ke dapur sambil berpegangan pada dinding motor. Ternyata di sana pun tidak aman. Laut menggelora, suara gemuruhnya hanya beberapa senti meter di bawah kakinya. Hujan, angin ribut dan terpaan ombak pada badan motor menciptakan suasana yang semakin kacau. Penumpang hanya mempercayakan keselamatannya pada sepotong daratan terapung yang juga sedang terbatuk-batuk menerjang badai, yakni motor perahu motor Gajah Mada. Akhirnya Renro berpegangan pada tangga lalu menarik diri ke dek bagian atas yang ada beberapa ruangan. Semuanya penuh dijejali penumpang yang tergeletak mabuk. Ada sedikit tempat kosong memaksa Renro menyelipkan diri lalu berbaring memasrahkan seluruh keselamatannya kepada Tuhan.

Setelah lebih dari beberapa jam berpacu dalam badai, suasana menjadi tenang. Kedengaran suara burung camar terbang ke utara. Kepak sayapnya kedengaran melawan hembusan angin yang masih kencang. Renro memaksakan diri keluar dari ruangan sempit itu. Benar saja hujan sudah redah hanya angin yang masih kencang. Dicobanya menduga letak kota Maumere, di sana hanya ada laut menggelora tidak ada daratan yang kelihatan. Di sebelah utara tampak Pulau Babi dan Pulau Besar sayup-sayup di antara gumpalan awan. Perahu motor ini berlayar di antara dua pulau yang tidak memiliki bukit tinggi. Pantas saja tidak kelihatan dari pantai Maumere. Ada seorang pemuda di dekatnya dan Renro mencoba menanyakan nama pulau yang belum diketahuinya itu.

Kampung di Atas Laut.

“Yang jauh di sana adalah pulau Besar dan pulau Babi, sedangkan yang dekat adalah pulau Kambing dan pulau Pamana. Jauh di sebelah barat sana yang kelihatan hanya satu gunung adalah pulau Palue. Semuanya termasuk dalam kabupaten Sika.” Jawab yang ditanya.
“Pulau Palue jauh di sana kan mungkin lebih cocok masuk kabupaten Ende, koq masuk kabupaten Sika?” Renro penasaran.
“Letaknya memang di depan Lio bagian utara, tapi entahlah saya juga tidak tahu mengapa pulau itu itu termasuk kabupaten Sika. Seperti penduduk di pulau Pamana ini, hampir semuanya berasal dari suku Buton dan Melayu, tetapi masuk kabupaten Sika”. Jelas orang itu lagi.

Penumpang bersiap-siap turun. Kelihatan di depan mereka ada kota kecil dengan pelabuhannya sebuah dermaga dibuat dari batang lontar. Anak-anak berlarian di pantai sambil tangannya di angkat ke arah perahu motor. Bunyi PM. Gajah Mada semakin pelan lalu berhenti beberapa puluh meter dari bibir pantai dan tidak mencapai dermaga. Rupanya ombak terlalu besar sehingga tidak aman untuk perahu motor bila bersandar. Dari darat datanglah sampan-sampan menjemput penumpang.

“Saudara tidak turun disini?” Tanya pria yang tadi bercakap-cakap dengan Renro.
“Saya juga hendak menanyakan hal yang sama. Namaku Renro. Saya hendak ke Ujungpandang.”
“Kebetulan tujuan kita sama, saya Petu dari Lembata.”
“Bagus sekali. Dari Lembata dari kampung apa? Saya berasal dari Watuwawer.”
“Oh …! Saya dari Lamanunang.”

Selanjutnya Petu berbicara dalam bahasa daerah dan sore itu mereka berdua mengobrol dalam bahasa daerah. Bertemu dengan orang sepulau, biarpun sebelumnya tidak saling mengenal, setelah dikenal maka masing-masing akan berusaha untuk menghargai dan menolong dalam kegiatan apa pun. Apalagi menghadapi kesulitan, mereka saling menghargai sebagai saudara. Mereka makin asyik bercerita seperti sahabat lama saja, padahal belum sejam mereka mengobrol dan juga baru saja mereka menyebutkan kampung halamannya. Petu sudah cukup lama meninggalkan Lamanunang dan menetap di Maumere. Istrinya orang Nele dan sudah dikaruniai seorang putera.

Renro bercerita tentang Lamanunang dan Dulir yang setahun lalu dikunjunginya bersama Kanute. Atadei rupanya sangat menarik perhatiannya, sehingga segala detail perbuatannya bersama Kanute, Ana dan Moni diceritakannya. Petu tampaknya sangat senang karena kampung halamannya dibanggakan orang lain. Dia juga menyampaikan niatnya agar kelak membawa isteri dan anaknya mengunjungi desa keramat Alap Atadei atai Lamanunang.

Malam itu pemilik perahu motor beserta anak buahnya turun ke darat.  Petu bersama dua temannya, Otniel dan Salomon serta Renro menjadi penjaga motor. Otniel dan Salomon berasal dari kabupaten Alor yang terletak di sebelah timur pulau Lembata. Mereka sangat akrab dengan Petu, rupanya mereka sudah saling mengenal. Mereka berempat mengobrol sambil makan malam berupa makan siang yang tadi tidak sempat dinikmati karena diserang badai. Renro akhirnya tahu bahwa Petu, Otniel dan Salomon adalah rekan sekerja pada Baba Liong. Renro sendiri ikut menjadi pengawal karung-karung Baba Liong, tetapi dengan membayar tiga puluh ribu rupiah. Memang sebenarnya Renro adalah penumpang hanya dibantu oleh Baba Liong agar mendapat perlakuan yang sama dari anak buah kapal. Malam itu mereka berempat tidur dalam kabin. Hujan dan angin kencang masih terus menderu sepanjang malam.

Alam Suram
Selama lima hari hujan terus turun dan angin kencang juga terus bertiup. Tetapi perahu motor Gajah Mada berada pada posisi yang aman. Hanya beras yang mereka bawa dari Maumere sudah mereka habiskan. Beras yang mereka bawa adalah perhitungan untuk tiga hari sampai ke Ujungpandang, tetapi ternyata sudah habis ketika masih di perairan laut Maumere. Mereka berusaha untuk memancing ikan, tetapi dalam keadaan yang tidak bersahabat itu, sia-sia saja  usaha mereka. Dalam keadaan frustasi, ketika badai agak redah dan ada perahu motor berangkat ke Maumere, Salomo mengambil keputusan kembali saja ke Maumere dan tidak ikut ke Ujungpandang.

Setelah berhari-hari berusaha menangkap ikan dan tidak ada hasil, Petu berinisiatif mengajak mereka turun ke darat. Mereka mencari rumah pemilik PM. Gajah Mada untuk meminta bantuan makanan. Di mana-mana orang berbicara dengan dialek yang tidak akrab di telinga. Beberapa saat kemudian mereka menemukan rumah pemilik perahu motor.

Akhirnya salah seorang yang dipanggil Udin, mengajak mereka ke ladang di bukit. Di sana mereka bergabung dengan warga yang sudah bekerja sejak pagi memetik jagung dan ada yang menanam kapas. Di bagian kebun yang lain, mereka melihat tanaman kacang ijo ditanam baris di antara jagung. Sistem pertanian begitu sederhana tetapi sangat efisien, selama hujan masih turun, tanah tidak dibiarkan menganggur, tidak seperti di Flores. Mereka bergabung dengan kelompok yang sudah bekerja itu dan mendapat upah makan siang.
Menjelang sore mereka kembali ke perahu motor dengan membawa upah dari ladang berupa sekeranjang singkong mentah. Itu cukup dari pada tidak mendapat apa-apa.

Bosan juga hidup di atas laut berhari-hari tanpa ada kepastian kapan berangkat ke Ujungpandang. Di sebelah barat dan timur kelihatan deburan ombak masih memecah di ujung tanjung pertanda bahwa badai belum redah. Semua was-was juga waktu Otniel dihantar Salomon dengan sampan ke perahu motor yang akan ke Maumere,  masalahnya semua bertanya-tanya sampaikah perahu motor ke Maumere dalam musim yang tidak bersahabat itu? Sampai sore dan bahkan satu minggu kemudian pun tidak ada berita tentang kecelakaan motor di laut, berarti Otniel dalam keadaan selamat.

Entah sudah berapa hari mereka bertiga tinggal di atas perahu motor Gajah Mada. Cuaca semakin cerah hanya kadang-kadang masih turun hujan. Sudah kesekian kalinya mereka turun ke darat tetapi tidak ada jawaban pasti yang diperoleh. Suatu sore ketika mereka sedang memancing menggunakan sampan, Petu mendayung membelokkannya ke arah pulau Kambing. Air laut begitu bening sehingga mereka dapat menikmati pemandangan laut. Berjenis-jenis dan berwarna-warni ikan berenang menyemarakan laut.  Ada seekor penyu yang besar yang menyembulkan kepalanya sebentar ke permukaan laut lalu menyelam dan menghilang di kedalaman laut.


Tiba-tiba Salomon menunjuk burung-burung yang berbaris memanjang di pantai seakan sedang menikmati pemandangan matahari sore. Renro sangat tertarik serta heran akan ulah burung-burung itu. Mereka mendayung sampan terus ketepi dan menyeretnya ke darat. Burung-burung terbang ketika mereka mendarat tetapi hanya berpindah tempat. Pulau ini sepi dan tidak berpenghuni hanya ada sebuah pondok dan bekas ladang ditinggalkan entah beberapa tahun lalu.  Setelah puas bermain, mereka mendayung sampannya kembali ke perahu motor.

Suatu pagi seorang anak buah perahu motor datang membawa  empat dirijen penuh air dalam sampannya. Setelah air dituangkan kedalam tangki, ia meminta agar semua turun ke darat mengisi air memenuhi tangki, karena hari itu mereka akan berlayar ke Ujungpandang. Berita itu sangat menggembirakan Petu, Renro dan Salomon. Mereka segera mengeluarkan dirijen kosong dan mengayuh sampan ke darat. Sekitar tiga jam kemudian tangki sudah penuh diisi air dan mereka menyiapkan diri meninggalkan pulau Pamana.

Hari Rabu tanggal dua puluh satu Februari, jam dua siang  perahu motor Gajah Mada meninggalkan pulau Pamana. Jadi dua puluh tiga hari mereka tertahan di pulau Pamana sejak dari Maumere. Begitu keluar dari persembunyian antara pulau Pamana dan pulau kambing, mereka dikagetkan dengan keadaan laut yang sebenarnya. Hari cerah tetapi  laut masih menggelora dengan ombaknya yang tinggi. Ada empat anak buah kapal ditambah mereka bertiga, perahu motor sepertinya terlalu ringan dipermainkan ombak. Mesin motor menderu-deru melawan gemuruh gelombang dan angin kencang. Sedikit saja mesinnya mati maka entahlah, apalagi tidak ada daratan yang kelihatan. Hampir semuanya mabuk dan muntah-muntah termasuk ABK.

Bila tiba senja, Renro selalu tertegun menatap bola matahari yang kuning keperakan keperakan mengukir langit di sebelah barat lalu perlahan ditelan gelombang Laut Flores. Renro  membayangkan sangat aman tinggal di Lewoleba – Lembata, tetapi justru ditinggalkannya. Perlahan ia berbisik dalam nada ketidakpastian, ‘Sore ini saya masih melihat matahari, tetapi apakah saya masih melihat matahari besok pagi? Ada penyesalan dalam hatinya karena sudah meninggalkan Lembata, tetapi juga ada harapan akan situasi baru dan pengalaman baru yang akan diperoleh di perantauan.

Perahu Motor Gajah Mada terombang-ambing tetapi tetap maju membela ombak Laut Flores yang ganas pada akhir Februari!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar