Sabtu, 13 Oktober 2012

ARIMPE



Oleh: Em Khebe

“Renro, apakah masih ada lowongan? Sambil menunggu pengumuman dari sekolah, saya mau ikut bekerja.” Tanya Kanute pada suatu malam.
“Oh begitu. Tetapi Kanute, kamukan orang sekolahan sedangkan pekerjaan yang ada adalah pekerjaan kasar, pekerjaan kaum buruh. Apakah kamu tidak malu dilihat oleh teman-teman?”
“Teman-teman? Itu kan di sekolah dan kami sudah tamat. Lagi pula mereka pasti tidak perduli dengan kesulitan saya.  Renro, kamu sendiri mengapa mau mengerjakan pekerjaan yang kasar? Saya akan malu kalau mencuri, tetapi tidak untuk bekerja.” Kanute meyakinkan Renro.
“Baiklah kalau itu tekadmu, besok pagi bolehlah ikut saya. Kalau kita malas-malasan lalu jadi pencuri dan pengemis barulah pantasnya kita  malu. Tetapi untuk pekerjaan yang halal biarpun kasar dan kotor haruslah kita kerjakan dengan gembira.”
 “Terimakasih, besok pagi kita berangkat berdua.” Kanute lalu mohon diri.

Pagi-pagi ketika matahari baru mengintip dibebukitan sebelah timur Lewoleba, Kanute sudah datang ke rumah Renro karena takut terlambat. Beberapa siswa SMA PGRI berjalan santai, menikmati udara pagi yang sejuk. Demikian juga di ujung jalan Donak Tagal dua siswi SMP Santo Pius berjalan sambil bercanda. Suara tawanya terdengar cekikan melengking menghentikan perkelahian dua ekor anjing di depan rumah bapa Dolu. Renro dan Kanute juga segera keluar ke jalan raya.

Mereka akan ke jalan Nagawutun lurus ke barat melewati Tujuh Maret, Berdikari, Walangkeam lalu ke Eropaun. Di Eropaun dekat kebun kelapa misi, sedang di bangun sebuah gedung panjang mirip sebuah sekolah, tetapi pada papan proyek tertulis Biara Bintang Kejora. Bangunan itu berdampingan dengan "Rumah Bintang," tempat para penderita kusta atau lepra. Rumah itu disebut rumah bintang karena didesain berbentuk bintang dan beratap datar. Bila dilihat dari bukit berbentuk bintang raksasa. Dulu rumah sakit ini sangat terpencil dari penduduk, tetapi lama kelamaan penduduk bisa membaur dengan penderita. Itu berkat jasa mama hitam untuk bidan orang Indonesia, dan mama putih paggilan untuk bidan asal Jerman.


Setelah pendakian di kampung Wolo mereka berhenti karena pekerjaan memang baru sampai di situ, masih enam ratusan meter dari akhir pengaspalan. Bapa Beda, Bapa Stanis,  Ina Limut dan Ina Tada sedang bercanda sambil menunggu waktu bekerja. Beberapa pekerja yang lebih muda tampak berkejar-kejaran di bawah pohon palawan dekat rumah ina Blua. Dua ekor burung tekukur yang hinggap hampir bersamaan di dahan palawan, terbang lagi menjauh ke atas pohon asam.
“Selamat pagi ina, ama wah rajin sekali. Sudah siap di tempat padahal waktu masih  lama. Ini ada teman baru namanya Kanute, ia hampir tamat dari es-em-a pege-er-i. Sebelum benar-benar tamat ia mau merasakan panasnya aspal sekaligus mencium bauhnya”. Kata Renro sementara itu Kanute sibuk bersalaman dengan mereka yang lain.
“Selamat pagi ama Renro. Kami datang pagi karena takut terlambat nanti di suruh pulang.”  Ina Limut agak bercanda tetapi apa yang dikatakannya benar. Sejak hari pertama proyek pengaspalan jalan ini, Renro menerapkan peraturan yaitu bagi mereka yang datang terlambat di atas lima menit harus pulang, entah baru mulai atau waktu istirahat siang.Cara demikian pada mulanya terasa kejam, tetapi setelah berjalan beberapa hari pekerja datang dan pulang lebih tertib dan mereka mudah diatur.

“Begini ina – ama, saya juga menerapkan waktu kerja demikian karena ada banyak hal yang memaksa, antara lain penentuan waktu pelaksanaan proyek. Pimpinan proyek dalam hal ini kepala Peu di kabupaten, menentukan waktu tiga bulan termasuk hari minggu. Mereka tidak memikirkan kesulitan kita, padahal banyak sekali kendala yang kita hadapi.  Dan bila kita terlambat, keterlambatan itu tiap hari didenda. Tidak heran banyak proyek yang gagal karena ditinggalkan oleh pemborongnya. Siapa yang mau rugi kalau kerja sekian puluh hari hanya untuk membayar denda?

Kedua peralatan. Yang memiliki alat berat penggilas jalan adalah Dinas Pekerjaan Umum. Alat itu hanya ada satu dengan  satu orang sopir, padahal proyek yang sama ada dua, yang satu ke selatan dan satu ke utara dengan jarak yang cukup jauh. Mau tidak mau penggunaan alat itu diatur bergantian. Dan masih banyak alasan  lagi yang intinya bukan merugikan ina ama, melainkan supaya proyek ini berhasil dan kita semua mendapat sedikit imbalan atas kerja kita.”
“Benar om, yang penting proyek ini berhasil biar kita semua berjalan di jalan aspal.” Celetuk Linus, seorang pemuda dari Mingar yang ternyata menguping sejak tadi.
 “Ayo masing-masing ke posisinya. Dalam minggu ini kita usahakan sampai di kali.” Kata Renro sambil berjalan mengontrol yang lain.

Mereka senantiasa bekerja dengan semangat, dari pagi sampai malam. Kelebihan waktu sepuluh menit saja sudah dihitung lembur oleh Renro, karena kalau terlambat lima menit saja mereka sudah disuruh pulang. Mereka bekerja sampai jam tujuh malam dengan dibantu penerangan generator. Suasana malam yang gelap dan sepi tidak membuat mereka takut dengan cerita tentang hantu atau kuntilanak. Kedengaran bunyi burung hantu bersahut-sahutan dari hutan asam, bunyi jengkrik dan serangga malam serta belalang dari semak ilalang menambah semarak suasana malam.

Orang-orang yang kemalaman dari kebun di seberang kali Waikomo berjalan tergesa-gesa sambil matanya melirik sejenak para pekerja jalanan yang tidak mengacukannya. Dua hari bekerja bagi Kanute sangat meletihkan, tetapi bersenda gurau bersama yang lain tetap menumbuhkan semangat dan gairah kerja.

Senin pagi, ketika Renro dan Kanute sampai di proyek, tampak Tarsan dan Nelis seorang mandor sedang berbincang-bincang. Mereka memberi salam kepada Renro dan Kanute. Beberapa karyawan tampak duduk diatas onggokan kerikil menanti jam kerja mulai. Melihat ke arah jalan Rumah Sakit Bukit, Renro agak kaget.  Bapak sedang berbincang-bincang dengan dua orang, kelihatannya mereka warga Waikomo, yaitu desa yang menjadi akhir proyek mereka. Renro terus berjalan ke arah mereka.

“Pagi ama Renro. Bapa lebih dulu memberi salam pada Renro. Hari ini saya ada panggilan menghadap bupati di Larantuka. Saya kira tidak menyangkut proyek jalan ini, karena kita belum terlambat. Entahlah tunggu saja. Sedangkan menyangkut jalan ini,  apakah Renro yakin bisa selesai dalam seminggu? “  
Yang ditanya hanya menggelengkan kepala. “Saya tidak yakin bapa. Lima ratus meter tidak panjang tetapi banyak kendala menghadang di depan kita. Pertama, stongwales dari PU hanya satu-satunya yang dipakai bergantian dengan kontraktor lain. Kedua, badan jalan sepanjang empat ratus meter di dalam desa Waikomo tertimbun tanah yang kering dan mengeras. Untuk menggalinya harus disiram air dulu sehingga membutuhkan waktu lebih lama.”

“Bagaimana kalau krikil dihampar di atas tanah lalu disiram aspal?” Usul seseorang yang tadi berbincang dengan bapa.
 “Sangat bagus, pekerjaan cepat selesai, tetapi nanti datang hujan, aspal mengucapkan selamat jalan.”  Kelakar Renro.
“Begini Renro. Warga Waikomo sedang mencari dana pembangunan gereja. Bapak Baha sudah datang meminta agar diizinkan agar di sepanjang jalan desa ini, biar mereka yang menangani pekerjaan sampai menghampar kerikil. Sedangkan pengaspalan tetap tenaga dari kita. Bagaimana?” Tanya bapa kepada Renro.

“Wah luar biasa bapa. Di desa sendiri mereka akan bekerja sungguh-sungguh, sehingga kualitas jalan bisa dipertanggungjawabkan. Saya sangat setuju, bapa.” Jawab Renro puas.
“Nah kalau begitu nanti kamu atur dengan bapa Baha, mungkin lusa saya sudah balik dari Larantuka. Selamat bekerja.”
Bapa lalu menghidupkan motor trail kuningnyanya lalu menghilang di balik bukit desa Wolo.

Tepat jam tujuh Renro mengumpulkan para pekerja. Ada sebagian yang tampak heran karena tidak biasanya dikumpulkan seperti ini. Renro menjelaskan maksud bekerja sama dengan warga Waikomo, yaitu mereka mau mencari dana untuk pembangunan gereja. Selain itu bantuan warga akan membuat proyek cepat selesai, sehingga kerugian dapat dikurangi.

“Ina – ama jangan khawatir, proyek baru sudah siap, kalau masih mau bekerja,  saya akan menerima kamu di proyek yang baru. Sekarang kembali bekerja. Kita memberi contoh yang benar kepada orang-orang Waikomo.” Renro mengakhiri pengumumannya lalu berjalan ke arah desa Belang menyambut orang Waikomo yang sudah menunggu.
Penjelasan Renro kepada warga Waikomo tidak lebih dari lima menit, lalu semua semua mulai berdiri berderet dan bekerja dengan giat. Peralatan mereka bawa dari rumah sehingga tidak perlu saling menunggu. Kalau ada yang kekurangan alat tertentu bapak Baha mengizinkan mereka pulang mengambil di rumahnya. Ada yang menggali tanah, ada yang mengangkut kerikil dan ada yang menghampar serta mengaturnya. Tengah hari sebagian besar pekerjaan sudah selesai. Kalau bertahan sampai sore pasti selesai tetapi bapak Baha mengumumkan bahwa esok hari mereka boleh menyelesaikannya. Mereka berpamitan lalu berpencar sesuai dengan tempat tinggalnya.

“Renro mengapa dari awal orang Waikomo tidak bergabung? Semangat kerja mereka luar biasa dan pekerjaan akan cepat selesai,”  tanya Kanute ketika mereka berjalan pulang waktu istirahat siang.
“Yah… itu pendapatmu. Ketika bekerja di sekolah bagaimana semangat dan perasaanmu?” Tanya Renro sebelum menjawab.
“Ya maunya cepat selesai sehigga cepat pulang, makanya tugas dikerjakan cepat-cepat”. Jawab Kanute sambil meringis.
“Masih perlukah saya menjawab pertanyaanmu tadi? Warga Waikomo dan karyawan kita berbeda motivasinya. Warga Waikomo ingin pekerjaan cepat selesai sehingga terbebas dari kerja yang diwajibkan. Sedangkan mereka yang bekerja untuk mendapat upah akan menginginkan pekerjaan itu berlangsung lama. Maka masih diperlukan mandor untuk mengatur dan mengawasi mereka karena karyawan yang mempunyai kesadaran sendiri sangat sedikit. Pengalaman dijajah tiga ratus lima puluh tahun telah menjadikan kita bangsa yang kehilangan inisiatif, lebih banyak tunggu diperintah dan diawasi. Jadi jangan heran kebanyakan orang kita bila tidak diawasi kerjanya asal-asalan.” 


Warga Waikomo ternyata sangat membantu. Hamparan kerikil sejauh lima ratus meter mereka selesaikan dua hari, sehingga tinggal pengaspalan. Meskipun volume pekerjaan berkurang, tetapi semua berusaha bertahan sampai akhir. Tetapi sehari sebelum pekerjaan terakhir ada insiden yang menghibur ketika melewati rumah mama bidan. Renro dicegat oleh mama bidan didampingi dua orang anak gadisnya.

“No, engkaukah yang memimpin pengaspalan jalan ini?” Tanya mama bidan langsung pada Renro.
“Benar mama, ada apa sebenarnya?”
“Saudara jawab, Arimpe itu artinya apa? Anak buah no mengatai anak-anak saya demikian. Anak-anak ini saya rawat dari bayi sampai gadis, jadi tidak boleh bicara yang kasar dan tidak sopan terhadap mereka”.
“Mama, saya benar-benar tidak tahu. Siapa yang bicara begitu dik?” Renro mengalihkan pertanyaan kepada kedua anak gadis yang sejak tadi berdiri di samping bidan.

Tepat pada saat itu mobil proyek lewat. Melihat Renro masih di situ bersama mama bidan, mobil itu berhenti. Karolus dan Hengki serta Kemen berlari mendekat. “Ada apa om Renro?” Tanya Kemen, tetapi sebelum dijawab, kedua anak gadis nerocos. “Itu mereka tuh yang mengatai kami. Memangnya kami ini wanita macam apa? Tiap hari kamu rawat dan pelihara kami? Mama yang membesarkan kami saja tidak pernah mengeluarkan kata-kata kasar. Kamu baru lahir kemarin, belum lama kenal dunia sudah berani macam-macam.” Serang kedua gadis itu sengit.

“Hayo siapa kemarin memulai, sekarang minta maaf.” Pinta Renro kepada ketiga remaja tanggung yang tadi turun dari mobil.
“Kemarin saya yang duluan om, tetapi itu bukan kata yang tidak sopan. Kemarin saya katakan Arimpe. Arim dalam bahasa kami itu artinya adik dan ditambah akhiran pe. Jadi sebetulnya tidak bermaksud menyakiti siapa-siapa, tetapi biarlah saya meminta maaf”. Jawab Hengki.

Sementara itu mama bidan sudah berjalan meninggalkan kedua anak gadisnya.
“Lain kali pakai bahasa Indonesia supaya tidak membohongi kami.” Kata salah seorang gadis, lalu mereka pun berlalu mengikuti mama bidan. Renro segera naik ke mobil disusul yang lain sambil tersenyum geli.
“Oh, Hengki, hari ini kita akhiri proyek ini, sekaligus memberi nama pada jalan aspal ini."
"Namanya jalan apa om?" Tanya Hengki serius.
"Namanya jalan A-rim-pe. “  Kata Renro sambil tertawa.
Semua tertawa kegirangan sambil bersorak dengan suara keras, A- rim- pééééeeee…...

***


1 komentar:

  1. Proyek kebanggaan yang menanamkan keyakinan bahwa pola kebiasaan suatu masyarakat bisa dirubah dengan kesepakatan bersama dan konsekuen dalam penerapan!

    BalasHapus