Oleh: Em Khebe
Hari ketiga sejak meninggalkan Pamana, tibalah mereka di sebuah pulau terpencil. Pulau itu berbukit hijau karena hampir seluruhnya tertutup dari pohon nyiur atau kelapa. Dalam hati Renro mengangankan bisa makan nasi, kue-kue dan minum air kelapa muda, setelah lebih dari tiga minggu menikmati badai ketidakpastian. Seorang anak buah motor menjelaskan bahwa mesin mengalami gangguan yang harus diperbaiki dulu. Untuk itu mereka diminta turun ke darat mengisi air minum dan membeli kayu api. Dirijen air segera mereka pindahkan ke sampan lalu Petu, Renro dan Salomon turun ke darat. Laut begitu tenang dan tampak ikan sangat banyak dan bersusun-susun.
Di darat hanya ada empat rumah panggung
yang letaknya berjauhan. Sementara Salomon menimba air di sumur, Petu dan Renro
mendekati salah satu rumah yang nampaknya memiliki kios. Tidak ada roti, biskuit
atau gula-gula. Hanya ada beberapa pasang sandal jepit dan lempengan ceper
berwarna coklat tua di dalam toples. Itu pasti lempengan gula merah seperti
dilihat Renro di Kupang. Maka ia tidak ragu-ragu bertanya pada pemilik kios,
seorang bapak yang sibuk membetulkan jala.
“Gula merah ini satu lempeng berapa pak?” Tanya
Renro.
“Apa dia bilang… gula merah? Kabako itu.” Jawab
yang ditanya.
“Oh.. kabako, kelihatan seperti gula merah.” Renro
tertawa kecut karena geli campur kecewa karena lempengan coklat itu bukan gula merah, melainkan daun tembakau
kering yang dipadatkan.
Si pemilik kios itu kembali sibuk membetulkan jala dan tidak
menghiraukan mereka berdua.
Akhirnya Petu dan Renro meninggalkan pak tua itu dan berjalan ke belakang
rumah mengamati pohon-pohon kelapa yang ternyata tidak ada buah sama sekali. Biarpun buah
yang terkecil sekalipun tidak ada. Pulau ini seluruhnya ditumbuhi kelapa,
tetapi kalau tanpa buah, apa artinya? Petu hanya menggelengkan kepala dan Renro
semakin kecewa. Bayangan akan roti, biskuit atau nasi di warung ternyata hanya
ada sandal jepit dan daun tembakau kering. Sementara pohon kelapa sangat banyak, tetapi
hanya menjadi hiasan tanpa arti seperti lukisan saja.
Ada seorang pemuda sedang memancing di
pantai, Petu dan Renro bergegas ke sana karena nampaknya ia bisa di ajak berbicara.
Lelaki itu badannya kurus dan tinggi. Di bahunya ia menjinjing alat untuk
mengisi ikan hasil pancingannya. Ia membuang pancingnya ke laut kemudian
langsung menariknya, rupanya ia menangkap ikan yang ada di permukaan laut yang
tidak membutuhkan umpan. Petu menanyakan nama pulau itu. “Pulau ini adalah
Lambego tetapi sering disebut pulau kera karena banyak monyet. Besong dari
mana? Kalau beta dari Timor. Be punama Saul.” kata lelaki yang sedang
memancing itu.
“Saya Petu dan
teman saya ini Renro, kami dari Lembata. Jadi pulau ini tidak ada perkampungan sama sekali? Ngeri sekali hidup di
pulau begini.”
“O o o paling nyaman di sini. Lihat beta memancing sonde pake umpan, tetap dapat sa. Kalau perlu beras dan minyak beta bawa ikan pi tukar di pulau Bonerate di seberang sana.” Jawab Saul dalam dialek Kupang yang kental sambil terus membuang kail ke laut, lalu menariknya kembali. Kadang-kadang dapat dan kadang tidak. Jenis ikan yang ia tangkap seperti teri yang berukuran besar dan bersisik tebal. Ikan-ikan itu berkeriapan di atas laut sehingga untuk menangkapnya memang cukup dengan kail saja yang besar tanpa umpan.
Jadi
pulau memanjang di seberang itu namanya Bonerate dan pulau tempat mereka berdiri namanya pulau Kera. Memang Saul benar hidup di pulau
Lambego nyaman, tetapi apa artinya hanya berkawan dengan ribuan monyet? Lautnya memang kaya ikan, tetapi
daratannya hanya ada pohon kelapa tanpa buah.
“Mengapa masyarakat tidak berburu monyet sehigga
kelapa bisa berbuah?” Tanya Renro
“Perlo apa kejar itu monyet? Percuma sa, sonde ada
gunanya, cari musuh sa. Berani mengganggu mereka berarti siap jadi korban.
Dorang bekawan na, satu diganggu, seribu datang balas dendam. Lebeh bae,
mancing ke, apa ke, urus tetek bengek yang lain, yang penting jangan ganggu itu
monyet-monyet.” Saul memperingatkan
rupanya semua warga tidak peduli dengan kera-kera di pulau itu.
“Om di sini kerja apa?” Tanya Petu kepada Saul
yang tampak heran.
“Hai... lu sonde liat ko, beta lagi tangkap ikan.” Jawab
Saul sambil tersenyum mengejek.
“Maksud saya pekerjaan untuk menghasilkan uang. Dengan
memancing begini, apakah cukup untuk membiayai sekolah anak-anak?”
“Beta belum lagi
berbini na..., nanti be ma pi jumput di Timor sa.”
Jawab Saul lalu berjalan
menjauh sambil terus menerus membuang kailnya ke laut.
Petu
dan kedua temannya itu mengangkut air dari sumur tiga kali lalu naik ke perahu
motor. Sementara mesin motor diperbaiki, mereka bertiga memancing. Ada macam-macam
ikan yang mereka tangkap tetapi yang sering mereka dapat adalah ikan berwarna
merah. Siang itu mereka menikmati ikan rebus dan ikan panggang hasil tangkapan Petu, Salomon dan
Renro, karena orang-orang perahu motor sibuk di kamar mesin. Sampai sore mesin
motor belum berhasil diperbaiki, maka mereka akhirnya bermalam lagi. Tidak apa-apa lebih baik berlabuh di pulau
kera dari pada menghadapi arus dari barat yang masih mengganas dengan mesin
motor dalam keadaan rusak.
Malamnya
Petu menyandungkan lagu dolo-dolo dan disambung oleh Renro. Suara mereka begitu ceria memeriahkan malam sepi nan gelap di teluk Pulau Kera, sambil menyaksikan
kehidupan malam Bonerate dari kejauhan. Bunyi kendaraan sangat
sayup-sayup terdengar, sedangkan di pulau Lambego tidak ada cahaya sama sekali.
“Kneu di Ujungpandang mau bekerja atau sekolah?”
Tanya Petu kepada Renro setelah ia capai berpantun tanpa berbalas.
“Nanti cari kerja dulu, kalau ada kesempatan baru
kuliah. Tetapi entahlah, belum tahu keadaan yang sebenarnya.” Jawab yang
ditanya.
“Kalau beta, sekolah tidak mungkin, paling kerja
juga kelas buruh kasar.” Salomon ikut berbicara sebelum ditanya.
“Tidak apa-apa asal jangan jadi pencuri, hidup
seperti siluman. Kerja apa saja yang penting halal. Saya sendiri sudah
menikah dan paling ya dipercaya Baba mengawal barang dagangan kadang-kadang ke
Surabaya, tetapi lebih banyak ke Ujungpandang. Biasanya seminggu lebih sudah
balik ke Maumere lagi. Kali ini benar-benar sial, sementara tidak ada telepon
untuk memberi khabar.” Suara Petu merendah Salomon dan Renro diam saja.
“Cari kerja di Ujungpandang sulit tidak?” Tanya
Renro kepada Petu.
“Kelihatannya gampang. Orang-orang kita yang saya
jumpai di sana pada umumnya sudah bekerja dan tidak ada yang menganggur.” Renro
puas mendengar jawaban Petu. Ia berharap bisa mendapat pekerjaan di sana.
Malam itu langit berawan tetapi tidak turun hujan sehingga mereka bertiga berbaring di geladak bagian haluan sambil bercerita akhirnya tertidur. Hembusan angin malam terdengar mendesing di daun kelapa dan di pesisir terdengar ombak memecah lembut. Ikan-ikan di dalam laut sepertinya tidak tidur, dan terus bermain di sekitar motor. Anak buah perahu motor di kamar mesin juga kecapaian dan keluar menggeletakan badan di atas geladak.
Pagi
berikutnya sekitar jam sembilan mesin motor selesai diperbaiki, dan perahu
motor Gajah Mada menderu-deru siap meninggalkan pulau kera. Di darat tidak
kelihatan orang dan juga tidak ada monyet-monyet. Mereka keluar dari selat
antara pulau Lambego dan Bonerate. Begitu keluar dari 'gudang ikan' itu, mereka
di hadapkan lagi pada gelombang laut yang rupanya belum puas mengamuk.
Kekhawatiran akan karam sempat hilang di pulau Lambego, tetapi kini muncul lagi
bersama gelombang laut yang menggunung dari barat. Renro memberi kode kepada
Petu, lalu menunjuk ke laut sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Petu
mendekat dan mereka berdua bisa mengobrol biarpun suara mereka harus melawan
deru angin kencang.
Dari jauh kelihatan samar-samar sebuah pulau yang dinamakan Petu pulau kelapa karena pulau itu tertutup kelapa sampai ke gunung. Diperkirakan sore hari mereka akan melewati pulau itu. Mereka dapat melihat ada asap api di antara pohon kelapa. Penduduk di pulau itu relatif lebih banyak dari pada di Lambego. Kata Petu ada seorang dari Adonara tinggal di pulau itu sambil mengurus kelapa. Petu sendiri belum pernah ke pulau itu, tetapi karena seringnya ia berlayar lewat di sana dan mendengar cerita dari penumpang lain.
Dari jauh kelihatan samar-samar sebuah pulau yang dinamakan Petu pulau kelapa karena pulau itu tertutup kelapa sampai ke gunung. Diperkirakan sore hari mereka akan melewati pulau itu. Mereka dapat melihat ada asap api di antara pohon kelapa. Penduduk di pulau itu relatif lebih banyak dari pada di Lambego. Kata Petu ada seorang dari Adonara tinggal di pulau itu sambil mengurus kelapa. Petu sendiri belum pernah ke pulau itu, tetapi karena seringnya ia berlayar lewat di sana dan mendengar cerita dari penumpang lain.
Tidak
ada kapal-kapal, perahu motor atau perahu layar yang lain yang kelihatan
berlayar siang itu, baik perahu motor penumpang maupun perahu nelayan. Menjelang
sore Pulau kera sudah sangat samar-samar tertinggal di belakang sana, sementara
pulau kelapa hampir mereka tinggalkan. Tidak ada hiburan lain selain ikan
terbang memperlihatkan aksinya, terbang di atas laut tanpa gaya dibandingkan
dengan kawanan burung pipit yang terbang di atas hamparan padi yang sedang
menguning. Ikan-ikan itu terbangnya
datar lalu jatuh begitu saja ke dalam ombak. Renro dan Petu sangat menikmati hiburan
yang tidak seni itu bersama datangnya malam tanpa bintang oleh awan kelabu yang
membungkus langit.
Salomon
sudah mendengkur di dalam kamar sempit sementara Petu dan Renro masih
bercerita. Renro bercerita tentang desa
Waiteba yang telah lenyap ditelan gelombang tsunami. Kenangan-kenangan akan desa, ibukota Kecamatan Atadei itu, mereka bangkitkan
dalam cerita yang akan lenyap juga bersama hilangnya generasi tua yang semakin
berkurang. Hari semakin larut dan mereka juga larut tentang memori peradaban leluhur yang makin usang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar