Kamis, 08 November 2012

Pulau Kera


 Oleh:   Em  Khebe

Hari ketiga sejak meninggalkan Pamana, tibalah mereka di sebuah pulau terpencil. Pulau itu berbukit hijau karena hampir seluruhnya tertutup dari pohon nyiur atau kelapa. Dalam hati Renro mengangankan bisa makan nasi, kue-kue dan minum air kelapa muda, setelah lebih dari tiga minggu menikmati badai ketidakpastian. Seorang anak buah motor menjelaskan bahwa mesin mengalami gangguan yang harus diperbaiki dulu. Untuk itu mereka diminta turun ke darat mengisi air minum dan membeli kayu api. Dirijen air segera mereka pindahkan ke sampan lalu Petu, Renro dan Salomon turun ke darat. Laut begitu tenang dan tampak ikan sangat banyak dan bersusun-susun. 

Di darat hanya ada empat rumah panggung yang letaknya berjauhan. Sementara Salomon menimba air di sumur, Petu dan Renro mendekati salah satu rumah yang nampaknya memiliki kios. Tidak ada roti, biskuit atau gula-gula. Hanya ada beberapa pasang sandal jepit dan lempengan ceper berwarna coklat tua di dalam toples. Itu pasti lempengan gula merah seperti dilihat Renro di Kupang. Maka ia tidak ragu-ragu bertanya pada pemilik kios, seorang bapak yang sibuk membetulkan jala.
“Gula merah ini satu lempeng berapa pak?” Tanya Renro.
“Apa dia bilang… gula merah? Kabako itu.” Jawab yang ditanya.
“Oh.. kabako, kelihatan seperti gula merah.” Renro tertawa kecut karena geli campur kecewa karena lempengan coklat  itu bukan gula merah, melainkan daun tembakau kering yang dipadatkan.
Si pemilik kios itu kembali sibuk membetulkan jala dan tidak menghiraukan mereka berdua.

Akhirnya Petu dan Renro meninggalkan pak tua itu dan berjalan ke belakang rumah mengamati pohon-pohon kelapa yang ternyata tidak ada buah sama sekali. Biarpun buah yang terkecil sekalipun tidak ada. Pulau ini seluruhnya ditumbuhi kelapa, tetapi kalau tanpa buah, apa artinya? Petu hanya menggelengkan kepala dan Renro semakin kecewa. Bayangan akan roti, biskuit atau nasi di warung ternyata hanya ada sandal jepit dan daun tembakau kering. Sementara pohon kelapa sangat banyak, tetapi hanya menjadi hiasan tanpa arti seperti lukisan saja.

Ada seorang pemuda sedang memancing di pantai, Petu dan Renro bergegas ke sana karena nampaknya ia bisa di ajak berbicara. Lelaki itu badannya kurus dan tinggi. Di bahunya ia menjinjing alat untuk mengisi ikan hasil pancingannya. Ia membuang pancingnya ke laut kemudian langsung menariknya, rupanya ia menangkap ikan yang ada di permukaan laut yang tidak membutuhkan umpan. Petu menanyakan nama pulau itu. “Pulau ini adalah Lambego tetapi sering disebut pulau kera karena banyak monyet. Besong dari mana? Kalau beta dari Timor. Be punama Saul.” kata lelaki yang sedang memancing itu.
“Saya Petu dan teman saya ini Renro, kami dari Lembata. Jadi pulau ini tidak ada perkampungan sama sekali? Ngeri sekali hidup di pulau begini.”


“O o o paling nyaman di sini. Lihat beta memancing sonde pake umpan, tetap dapat sa. Kalau perlu beras dan minyak beta bawa ikan pi tukar di pulau Bonerate di seberang sana.” Jawab Saul dalam dialek Kupang yang kental sambil terus membuang kail ke laut, lalu menariknya kembali. Kadang-kadang dapat dan kadang tidak. Jenis ikan yang ia tangkap seperti teri yang berukuran besar dan bersisik tebal. Ikan-ikan itu berkeriapan di atas laut sehingga untuk menangkapnya memang cukup dengan kail saja yang besar tanpa umpan.

Jadi pulau memanjang di seberang itu namanya Bonerate dan pulau tempat mereka berdiri namanya pulau Kera. Memang Saul benar hidup di pulau Lambego nyaman, tetapi apa artinya hanya berkawan dengan ribuan monyet? Lautnya memang kaya ikan, tetapi daratannya hanya ada pohon kelapa tanpa buah.
“Mengapa masyarakat tidak berburu monyet sehigga kelapa bisa berbuah?” Tanya Renro
“Perlo apa kejar itu monyet? Percuma sa, sonde ada gunanya, cari musuh sa. Berani mengganggu mereka berarti siap jadi korban. Dorang bekawan na, satu diganggu, seribu datang balas dendam. Lebeh bae, mancing ke, apa ke, urus tetek bengek yang lain, yang penting jangan ganggu itu monyet-monyet.” Saul memperingatkan rupanya semua warga tidak peduli dengan kera-kera di pulau itu.

“Om di sini kerja apa?” Tanya Petu kepada Saul yang tampak heran.
“Hai... lu sonde liat ko, beta lagi tangkap ikan.” Jawab Saul sambil tersenyum mengejek.
“Maksud saya pekerjaan untuk menghasilkan uang. Dengan memancing begini, apakah cukup untuk membiayai sekolah anak-anak?”
“Beta belum lagi berbini na..., nanti be ma pi jumput di Timor sa.”  Jawab Saul lalu berjalan menjauh sambil terus menerus membuang kailnya ke laut.  
Petu dan kedua temannya itu mengangkut air dari sumur tiga kali lalu naik ke perahu motor. Sementara mesin motor diperbaiki, mereka bertiga memancing. Ada macam-macam ikan yang mereka tangkap tetapi yang sering mereka dapat adalah ikan berwarna merah. Siang itu mereka menikmati ikan rebus dan  ikan panggang hasil tangkapan Petu, Salomon dan Renro, karena orang-orang perahu motor sibuk di kamar mesin. Sampai sore mesin motor belum berhasil diperbaiki, maka mereka akhirnya bermalam lagi.  Tidak apa-apa lebih baik berlabuh di pulau kera dari pada menghadapi arus dari barat yang masih mengganas dengan mesin motor dalam keadaan rusak.
Malamnya Petu menyandungkan lagu dolo-dolo dan disambung oleh Renro.  Suara mereka begitu ceria memeriahkan malam sepi nan gelap di teluk Pulau Kera, sambil menyaksikan kehidupan malam Bonerate dari kejauhan. Bunyi kendaraan sangat sayup-sayup terdengar, sedangkan di pulau Lambego tidak ada cahaya sama sekali.  
“Kneu di Ujungpandang mau bekerja atau sekolah?” Tanya Petu kepada Renro setelah ia capai berpantun tanpa berbalas.
“Nanti cari kerja dulu, kalau ada kesempatan baru kuliah. Tetapi entahlah, belum tahu keadaan yang sebenarnya.” Jawab yang ditanya.
“Kalau beta, sekolah tidak mungkin, paling kerja juga kelas buruh kasar.” Salomon ikut berbicara sebelum ditanya.
“Tidak apa-apa asal jangan jadi pencuri, hidup seperti siluman. Kerja apa saja yang penting halal. Saya sendiri sudah menikah dan paling ya dipercaya Baba mengawal barang dagangan kadang-kadang ke Surabaya, tetapi lebih banyak ke Ujungpandang. Biasanya seminggu lebih sudah balik ke Maumere lagi. Kali ini benar-benar sial, sementara tidak ada telepon untuk memberi khabar.” Suara Petu merendah Salomon dan Renro diam saja.
“Cari kerja di Ujungpandang sulit tidak?” Tanya Renro kepada Petu.
“Kelihatannya gampang. Orang-orang kita yang saya jumpai di sana pada umumnya sudah bekerja dan tidak ada yang menganggur.” Renro puas mendengar jawaban Petu. Ia berharap bisa mendapat pekerjaan di sana. 

Malam itu langit berawan tetapi tidak turun hujan sehingga mereka bertiga berbaring di geladak bagian haluan sambil bercerita akhirnya tertidur. Hembusan angin malam terdengar mendesing di daun kelapa dan di pesisir terdengar ombak memecah lembut. Ikan-ikan di dalam laut sepertinya tidak tidur, dan terus bermain di sekitar motor. Anak buah perahu motor di kamar mesin juga kecapaian dan keluar menggeletakan badan di atas geladak. 
Pagi berikutnya sekitar jam sembilan mesin motor selesai diperbaiki, dan perahu motor Gajah Mada menderu-deru siap meninggalkan pulau kera. Di darat tidak kelihatan orang dan juga tidak ada monyet-monyet. Mereka keluar dari selat antara pulau Lambego dan Bonerate. Begitu keluar dari 'gudang ikan' itu, mereka di hadapkan lagi pada gelombang laut yang rupanya belum puas mengamuk. Kekhawatiran akan karam sempat hilang di pulau Lambego, tetapi kini muncul lagi bersama gelombang laut yang menggunung dari barat. Renro memberi kode kepada Petu, lalu menunjuk ke laut sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Petu mendekat dan mereka berdua bisa mengobrol biarpun suara mereka harus melawan deru angin kencang.

Dari jauh kelihatan samar-samar sebuah pulau yang dinamakan Petu pulau kelapa karena pulau itu tertutup kelapa sampai ke gunung. Diperkirakan  sore hari mereka akan melewati pulau itu. Mereka dapat melihat ada asap api di antara pohon kelapa.  Penduduk di pulau itu relatif lebih banyak dari pada  di Lambego. Kata Petu ada seorang dari Adonara tinggal di pulau itu sambil mengurus kelapa. Petu sendiri belum pernah ke pulau itu, tetapi karena seringnya ia berlayar lewat di sana dan mendengar cerita dari penumpang lain. 
Tidak ada kapal-kapal, perahu motor atau perahu layar yang lain yang kelihatan berlayar siang itu, baik perahu motor penumpang maupun perahu nelayan. Menjelang sore Pulau kera sudah sangat samar-samar tertinggal di belakang sana, sementara pulau kelapa hampir mereka tinggalkan. Tidak ada hiburan lain selain ikan terbang memperlihatkan aksinya, terbang di atas laut tanpa gaya dibandingkan dengan kawanan burung pipit yang terbang di atas hamparan padi yang sedang menguning. Ikan-ikan itu  terbangnya datar lalu jatuh begitu saja ke dalam ombak. Renro dan Petu sangat menikmati hiburan yang tidak seni itu bersama datangnya malam tanpa bintang oleh awan kelabu yang membungkus langit. 
Salomon sudah mendengkur di dalam kamar sempit sementara Petu dan Renro masih bercerita. Renro bercerita tentang desa Waiteba yang telah lenyap ditelan gelombang tsunami. Kenangan-kenangan akan desa, ibukota Kecamatan Atadei itu, mereka bangkitkan dalam cerita yang akan lenyap juga bersama hilangnya generasi tua yang semakin berkurang. Hari semakin larut dan mereka juga larut tentang memori peradaban leluhur yang makin usang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar