Oleh: Em Khebe
Rs. Setlla Maris |
Pada suatu sore, ketika keluar dari pabrik, Renro
merasa sangat lemas hingga tidak mampu mandi dan makan malam. Setiba di rumah di
Banta-bantaeng Renro langsung tidur saja hingga pagi. Ketika bangun pagi, suasana
rumah sepi karena ketiga keponakannya sudah berangkat ke sekolah dan kakaknya
Kia juga sudah berangkat ke pabrik tanpa memanggilnya. Walaupun dalam keadaan lemas tetapi Renro berusaha
mandi lalu ke rumah sakit untuk memeriksakan diri di sana.
Ia memilih ke rumah sakit Stella Maris yang terletak
di pantai Losari. Ia tahu rumah sakit itu karena ia sering melewatinya ke
Perpustakaan Umum. Dan sering juga ia bersama temannya Goe atau Fanus makan
kacang rebus di tangga pantai Losari di depan rumah sakit sambil menikmati
matahari sore yang terbenam perlahan-lahan ke dalam laut Flores.
Setelah mendaftar dan menunggu, Renro mendapat
panggilan untuk diperiksa. Dokter yang memeriksanya menduga Renro
menderita appendix acut maka harus segera di operasi. Renro sendiri amat setuju
dengan pernyataan dokter itu. Renro ke sal untuk melihat tempat tidurnya, lalu
kembali ke rumah mengambil pakaian ganti beberapa helai dan langsung kembali ke
rumah sakit lagi. Sore itu juga Renro disuruh berpuasa sebagai persiapan untuk dioperasi
esok pagi.
Suasana di sal
rumah sakit itu amat ramai. Sal itu hampir semua tempat tidur terisi pasien
dengan bermacam-macam keluhan penyakit.
Setiap pasien mempunyai penunggu lebih dari satu orang, sehingga jumlah mereka
berlipat dua bahkan lebih. Renro berbaring sambil menahan sakit dibagian kanan
perutnya dan juga perih karena sudah lebih dari sehari perutnya tidak terisi
makanan. Biarpun begitu hatinya amat tenang menunggu sumber penyakit lambungnya
di buang.
Pagi berikutnya
seorang suster datang ke kamar mandi untuk dicukur. Renro kaget, apa yang
dicukur? “Bulu-bulu dekat lokasi operasi itu akan mengganggu jadi harus dicukur,”
demikian si perawat yang cantik itu menjelaskan. “Kalau begitu saya bereskan
sendiri, tidak perlu dibantu.” Renro
Keberatan. “Jangan takut, saya sudah berkeluarga!” Perawat itu meyakinkan Renro,
tetapi pendirian Renro tidak tergoyahkan. Ia malu kalau onderdil pribadi dan
rahasianya ke pegang oleh seorang wanita
cantik. Kalau dalam keadaan lemas pasti aman, tetapi mana tahan si ‘kucing
garong’ melihat ikan asin? “Tidak bu, berikan silet dan saya bersihkan sendiri!”
Demikian keputusan Renro.
Sambil
membersihkan badan, Renro menyanyikan lagu Ebiet, “Dari sudut manakah gerangan,
aku seg’ra mulai…” sambil mempermainkan silet yang sangat tajam. Suasana
hatinya begitu ceria seterang daerah rahasia yang telah menjadi gundul. Renro
melangkah keluar kamar mandi sambil tersenyum ceria, di wajahnya terbersit aura
kemenangan dari kemauan si suster cantik yang hendak mencukurnya. Kalau bisa
sendiri mengapa harus orang lain yang mengerjakan? Ia merasa sangat siap untuk memasuki
kamar operasi.
Jam Sembilan,
dua orang suster perawat membawa kereta dorong, menjemputnya ke ruang operasi. Mereka
bercanda sambil membuka selimut penutup daerah rahasianya dengan pura-pura
bertanya: “Sudah cukur belum?” Banyak canda dari perawat-perawat membuat Renro terus
tersenyum memasuki ruang operasi. Renro diminta berdoa dalam hati kemudian
menghitung dengan suara keras, tetapi belum sampai hitungan sepuluh Renro masuk
dan berjalan dalam gang sempit yang serba putih. Tidak ada siapa-siapa dan hal
itu membuat Renro agak takut.
Renro berjalan di lorong putih. |
Kemudian Renro mendapati dirinya ada dalam satu ruangan. Ia menonton orang-orang mengelilinginya. Tiba-tiba ada yang suara bertanya; “Renro sudah punya pacar atau belum?”
“Belum” dijawab
Renro dengan suara ngebas yang kedengaran aneh.
“Memangnya mau jadi apa?” Suara itu bertanya
lagi.
“Bruder.”
“Bruder itu
apa?” Ternyata Renro mendengar suara itu dalam kenyataan, bukan dalam mimpi. Beberapa saat kemudian Renro sadar dan
mendapati dirinya sudah ada di sal. Suasana ruang operasi dengan peralatan
pisau dan gunting yang sering dipikirkan tidak ada sama sekali.
Renro bertanya kepada seorang suster mengapa tidak
jadi operasi? Pertanyaannya tidak dijawab, malahan semua tertawa. Setelah
tertawa mereda, suster itu menjawab, “Renro berada di ruang operasi hanya
delapan menit. Usus buntu langsung keluar, jadi dokter tidak sibuk membongkar
terlalu lama. Sekarang aman, tinggal tunggu sembuh.” Renro mengangguk setuju
kemudian tertidur lelap sekali.
Gang yang dindingnya serba putih dan jawabannya
atas pertanyaan suster perawat itulah yang sangat mengganggu pikiran Renro. Mengapa
ia berjalan di dalam gang yang serba putih? Apakah itu gambaran tentang jalan
ke surga? Lalu menjadi bruder! Itu memang pernah mampir dibenaknya untuk
menjadi bruder, tetapi keinginan itu sudah dilupakannya sejak bapaknya
meninggal. Keinginan itupun waktu itu hanya berada di dalam pikirannya dan
tidak pernah diutarakannya kepada siapa-siapa, tetapi sekarang justru terungkap
ketika ia tidak sadar? Apakah ini yang dinamakan Panggilan Tuhan? Tidak ada
jawaban karena Renro hanya bertanya-tanya di dalam hatinya.
Tiga hari kemudian Renro sudah diizinkan keluar
dari Rumah sakit. Ia pulang dulu ke rumah untuk mengambil uang dalam kopor di
rumah lalu kembali ke rumah sakit. Sekitar jam delapan dua suster yang masih
muda, kelihatannya yang satu masih belajar. Mereka berdua melepaskan jahitan di
perut Renro, dan perawat si cantik hitam manis yang lebih muda sepertinya
menggemgam dengan bersemangat ’senjata’ Renro. Renro menyadari, rupanya urusan
nafsu bukan milik kaum pria saja.
Renro dipesan
agar mengompres bekas operasi dengan air hangat untuk mencegah infeksi, lalu ia
menumpang becak pulang ke Jalan Banta-bantaeng. Renro beristirahat lagi tiga
hari di rumah dan Goe sahabatnya datan menemani Renro ketika keponakannya
berangkat ke sekolah. Selama masa istirahatnya itu mereka berdua bukannya diam
di rumah, malahan keliaran sampai ke kantor Depnaker membaca berbagai pengumuman,
terutama bursa kerja. Goe dan Renro tertarik
bekerja di kebun kakao di Malaysia, tetapi itu hanya keinginan sesaat saja.
Upahnya dihitung dalam ringgit Malaysia, sedikit lebih mahal dari pada gaji di
Ujungpandang. Tetapi begitu sampai di rumah mereka melupakan keinginan ke Malaysia.
Meskipun bekas operasi masih perih, tetapi Renro
masuk kerja seperti biasa. Pak Sutrisno melarangnya untuk bekerja terlalu
berat, maka ia hanya menggambar dan sesekali mengawasi mesin bubut. Renro
sendiri pun setelah operasi tidak tertarik lagi pada pekerjaan, bukan karena
malas atau sakit. Ia sendiri tidak tahu alasannya. Suatu siang datang petugas
membawa dua pasang seragam baru, helm baru dan sepatu baru, tetapi hati Renro
sudah menjadi terlalu hambar. Pekerjaan di pabrik, melanjutkan kuliah dan
membeli tanah untuk membangun rumah sendiri adalah belum lama sebelum operasi
usus buntu merupakan cita-cita yang sering diimpikan, tetapi semuanya kini
tidak berarti lagi. Jawaban atas pertanyaan suster di Stella Maris itulah yang
sangat mengganggu.
Fanus temannya kadang datang menjemputnya dengan
sepeda ke pinggir sungai Tallo. Di sana di atas tanahnya, Fanus membangun rumah
sederhana, berdinding gedek dan beratap daun nipah. Renro diminta agar segera
membeli kapling yang masih kosong, tetapi ia hanya tersenyum dan menggeleng
saja. Memiliki rumah di pinggir sungai memang menyenangkan dan pernah menjadi
cita-cita tetapi kini sudah buyar.
Helem kuning, seragam abu-abu dan sepasang sepatu
boot baru tidak mampu menjelaskan kegalauan hati Renro. Ia terpikat pada
sesuatu yang lain, bukan pada kuliah, bukan pada pekerjaan serta membangun
rumah, dan bukan juga pada wanita cantik Aminah yang sering tersenyum mengoda
dengan kerdipan matanya. Canda Fanus tentang gadis-gadis Toraja hanya
ditanggapi dengan tertawa. Mimpi dan jawabannya di rumah sakit itulah yang
mengganggu pikirannya, tetapi dia juga bingung akan ke mana.
***
Mo kode nebe mo selipkan no Plea Kehen ne makete benumenge hi di bang hehehehe... Meke de Reing bo te hubung wei eka de bise terbitkan em...
BalasHapus