Kamis, 06 Desember 2012

Seragam Pabrik Baja


Oleh: Em Khebe

Renro sudah tinggal di Ujungpandang dengan kakak sepupuhya. Sebagai warga baru ia telah melapor diri pada erte, erwe dan sudah pula mendapat katepe baru sebagai penduduk kelurahan yang tinggal di jalan Banta-bantaeng. Nama tempat itu kedengaran sangat asing tetapi enak diucapkan terutama oleh penduduk asli, sepertinya ada penekanan khusus. Oleh kakak sepupuhnya Kia, Renro dilarang bekerja, katanya cukup tinggal di rumah saja. Mana tahan?

Yang dikatakan rumah pun bukan satu rumah utuh seperti yang ada di tempat asalnya. Hanya ada sebuah kamar panjang yang dihuni oleh tujuh orang. Dapur berada dalam kamar yang sama dan tempat tidur hanya satu. Mereka tidak mempanyai kamar mandi, hanya mandi di samping sumur bergantian dengan keluarga om Simon yang punya rumah. Dua malam Renro berbaring di sebuah bangku berebutan dengan Moli seekor anjing jenis kecil yang berkaki pendek. Kakak sepupuhnya berangkat sebelum matahari terbit dan pulang tengah malam kadang menjelang subuh. Tidak ada tempat tidur, memang pulang untuk apa?

Maka pada hari yang ketiga Renro ke toko meubel di jalan Veteran Utara dan membeli sebuah tempat tidur tingkat ukuran satu orang. Dengan demikian Renro dan Kia kakaknya memiliki tempat tidur, sehingga Moli pun nyaman tidur di bangku. Sejak ada tempat tidur, kakak sepupuhnya itu sering pulang. Sering ia bercerita tentang pabrik baja dan teman-temannya yang disebut oleh Kia sebagai anak buah. Renro percaya saja, tetapi Nia dan Modis kedua ponakan yang ikut tinggal di situ sering cekikikan dan mencibir dari balik kelambu. Tetapi lama-kelamaan Renro berpikir, sebetulnya kakak sepupuhnya itu punya jabatan apa di pabrik? Seragam dan sepatunya, oke, tetapi berangkat subuh pulang tengah malam itu bekerja sebagai apa?

Nia pada suatu siang memberitahu Renro kalau sore itu ia pulang ke Larantuka. Rupanya Nia diajak Kia pamannya ke Ujungpandang untuk disekolahkan, tetapi ternyata hanya menjadi penunggu rumah saja. Mengingat keluarga Nia di Larantuka yang begitu baik, Renro merasa malu, tetapi dia sendiri tidak bisa berbuat apa-apa. Modis tampak sedih dan menangis melepaskan Nia pergi. Selama satu tahun mereka bersama meringkuk di atas satu tempat tidur, padahal orangtua Nia cukup berada dan di rumah dia  memiliki kamar sendiri. Ia meninggalkan Ujungpandang dengan air mata bahagia, karena akan pulang kepada mama yang selalu dirindukannya.

Hari-hari diisi Renro dengan kegiatan menonton orang pergi dan pulang bekerja. Atau ia ke jalan Veteran melihat-lihat barang di etalase toko tanpa membeli. Uang bawaan Renro makin menipis, sementara itu ia tinggal di rumah sebagai penunggu pintu saja, karena tidak bisa bergerak dalam rumah. ‘Saya harus bekerja, saya mempunyai pendidikan dan pengalaman untuk apa hanya menjadi penonton di gang sempit?’ Modis kadang mengajak bercanda dan bercerita tentang kampung halaman yang diulang-ulang sambil menikmati minuman jus alpukat. Itu pun tidak memasukkan uang ke dalam saku Renro. ‘Saya ke Ujungpandang untuk kerja dan kuliah bukan untuk menggemukan diri dengan jus alpukat’ gumam Renro sambil melirik keponakannya yang makin mekar.

Sore itu Renro membeli beberapa lembar kertas segel, katanya kertas resmi untuk membuat surat lamaran lengkap dengan amplopnya. Sepanjang jalan Veteran ada satu CV dekat jalan Barbaraya, Renro mencatat nama CV itu. Keesokannya Renro menghantar lamaran itu sendiri.
“Sekarang proyek lagi kosong, tapi kalau ada proyek pasti kami menghubungi bapak.” Kata penerima surat itu, artinya tidak ada lowongan.

Hari kedua Renro ke jalan Kakatua, ada sebuah perusahaan yang bergerak di bidang pembangunan perumahan rakyat. Di perusahan itu ada angin baik. Si penerima lamaran itu mengatakan perusahaan membutuhkan beberapa tenaga yang harus ditest dahulu. Renro dipersilahkan menunggu di rumah, nanti dari perusahaan ada panggilan. Meskipun belum mendapat pekerjaan, tetapi perusahaan yang kedua ini memberikan harapan, maka Renro berniat untuk tidak membuat lamaran lagi.

Sorenya setiba Renro di rumah ternyata kakak sepupunya sudah ada, di luar kebiasaannya pulang tengah malam.
“Hah dari mana ini, saya tunggu dari tadi. Adik dicari oleh orang Jepang di kantor.” Renro heran disambut demikian oleh kakak Kia, sungguh dia tidak dimengerti.
“Orang Jepang? Saya belum pernah bertemu dengan orang Jepang.” Jawab Renro.
“Mau dikasih kerjaan meko sama orang Jepang.” Mery putri sulung Kia yang menjawab.
“Kerjaan apa, saya tidak mau memikul besi beton.” Jawab Renro.
“Mari duduk dan kita bicara. Mery tolong dua gelas kopi manis tambah singkong goreng. Dua orang pengurus pabrik mau berbicang-bincang,” canda kakaknya Kia. Renro duduk saja sambil menunggu kakaknya berbicara.

“Begini Renro, tadi saya mau minta surat pengantar dari bos orang Jepang, agar kau diterima bekerja di kawasan industri di daerah Maros. Bos itu bertanya apakah adikmu itu bisa menggambar?. Saya katakan saja bisa, lalu bos itu minta agar adik bekerja saja di pabrik. Begitu mi, jadi tidak perlu melamar lagi.”
“Tapi saya dari bangunan, saya tidak mengerti masalah pabrik baja”.
“Di sini saya melihat adik sering menggambar bangunan. Bisa toh gambar baja, kan baja lebih kecil dari pada rumah”. Kakaknya Kia membandingkan rumah dan baja.
“Memang sama-sama menggambar, tetapi bangunan menggunakan proyeksi Eropa, sedangkan gambar mesin menggunakan proyeksi Amerika. Dan saya belum pernah menggambar mesin.”  Renro keberatan karena ia memang tidak bisa  menggambar mesin dan baja.
“Saya sudah katakan adik bisa, jadi besok menghadap dulu.” Kakaknya menghabiskan kopinya lalu keluar ke depan mungkin merasa gerah. ”Sekarang cari kerja susah, giliran orang Jepang memberikan gratis, kenapa harus banyak alasan? Lamar sana di perusahaan lain meko, kalau tidak ada koneksi jangan harap dipanggil.” Kedengaran Kia masih menggerutu dari luar. ”Okelah besok pagi saya menghadap dan siap untuk ditolak.” Kata Renro sambil mendekati Kia. Selanjutnya mereka berdua mengobrol sambil berpegangan pada pagar.  Homi dan Gelole adik Mery datang bergabung.

Kia dan Renro berangkat pagi-pagi sekali berboncengan sepeda. Hampir satu jam kemudian baru mereka tiba di pabrik. Beberapa karyawan berseragam abu-abu, bertopi mirip helem dan bersepatu bot duduk di depan pabrik menunggu bunyi sirene jam delapan. Sepeda dititipkan di rumah bapak Baha di samping pabrik, lalu mereka berdua ke kantor menemui tuan Tanaka, Presiden Direktur orang Jepang.

Tuan Tanaka orangnya gemuk, tingginya sedikit diatas seratus enampuluh sentimeter. Begitu pintu dibuka oleh Kia, beliau meninggalkan kursinya datang menyongsong Renro dan Kia di pintu.
“Selamat pagi tuan, ini adik saya, Renro.” Kia memperkenalkan Renro pada tuan Tanaka.
Tuan Tanaka mengalihkan perhatian pada Renro lalu menjabat tangannya erat sekali.
“Bisa gambar ka.”
“Bisa gambar tuan tetapi saya bisa menggambar bangunan bukan mesin.” Jawab Renro.
“A..... di sini saja kerja ya....” Kata tuan Tanaka pada Renro.
“Ia tuan.” Melihat tatapannya yang sejuk dan ramah Renro tidak kuasa menolaknya.
“Kia antar dia pada Fathuddin ya, dia disini saja kerja ya.”
“O iya jadi Renro bekerja dengan pak Fatahuddin. Saya akan mengantarnya ke sana tuan.Terima kasih tuan.” Jawab Kia yang tampak lega karena persoalannya begitu mudah tidak seperti kekesalannya kemarin sore di rumah. Mereka lalu meninggalkan ruangan tuan Tanaka menuju kantor pabrik.

Pabrik baja ini memiliki dua kantor yang terpisah, yaitu kantor direksi dan kantor pabrik. Di kantor direksi terdiri dari tuan Tanaka sebagai presiden direktur, di bawahnya ada seorang direktur, manejer keuangan, haerde, dan manejer-manejer lain. Sedangkan di kantor pabrik ada pak Hasan sebagai kepala pabrik di sampingnya ada kordinator produksi, gudang, pemasaran, enginering serta kordinator entah apa lagi. Bapak Fatahuddin menempati satu ruang khusus yang nanti dibantu Renro dan di bawah mereka ada tiga bagian yang mereka tangani, yaitu machine shop, electric dan maintenance. 

Di antara dua kantor yang terpisah itu terbentang bangunan-bangunan panjang, yang pertama untuk bangunan bahan baku dan dua mesin sharing untuk menggunting baja. Bangunan berikut adalah machine shop yang berisi mesin-mesin bubut dan mesin-mesin lain. Di samping machine shop ada ruangan maintenance. Bangunan yang paling besar dan panjang adalah dapur pembakaran dan produksi dengan mesin-mesin roling. Dapur ada dua buah yang melayani dua roling untuk besi ukuran besar dan ukuran kecil. Roling-roling itu kadang-kadang diganti, disesuaikan dengan jenis besi yang diproduksi, misalnya untuk besi siku, maka roling-roling diganti. Roling yang terdiri dari tujuh atau delapan buah itu dihubungkan dengan rolltable, dan pada rolling terakhir ada saluran pendingin untuk mendinginkan besi. Dari situ besi-besi diover ke bagian pemotongan atau cutting.

Pabrik baja


Susunannya kelihatan teratur rapih dan setiap unit dijaga oleh seorang petugas. Ada kelalaian sedikit saja dapat berakibat fatal. Renro mengamati seluruh proses kerja itu dengan takjub.  Setelah bagian pemotongan ada lapangan kosong untuk menempatkan hasil produksi. Di samping itu masih ada bangunan lagi untuk mesin sharing, dan bangunan gudang, di ujungnya ada kantor yang melayani kebutuhan karyawan.

Pabrik begitu luas dan karyawannya banyak. Hari-hari minggu pertama Renro di kantor pabrik, menghabiskannya dengan mencoret kertas-kertas dan membuangnya ke tempat sampah. Ada soal-soal latihan dari pak Fatahuddin, lalu dipertanggungjawabkan. Misalnya Renro disuruh mendesain sebuah kursi untuk tiga meja tanpa meninggalkan tempat duduk atau mendesain mesin yang mengangkut barang turun naik tetapi bukan mesin hoist buatan Jepang. Renro juga disuruh mendesain sebuah mesin press dan lain-lain yang semuanya dikerjakan Renro atas perkiraannya dan bukan atas teori atau pengetahuan dari bangku sekolah.

Mesin-mesin pabrik begitu asing, meskipun bagian yang kecil saja. Maka pada minggu kedua Renro memberitahu atasannya agar diperkenankan bekerja di luar agar bisa mengenal mesin-mesin. Permintaan Renro disetujui pak Fatahuddin yang  berarti Renro boleh menghirup udara di luar ruangan. Tiga hari pertama Renro membantu di dapur Rolling kecil.  Hari-hari berikutnya ia bantu membantu Japri dan Zainuddin di maintenance sharing memperbaki bagian-bagian mesin yang rusak.

Pada suatu siang Renro dipanggil ke ruang presiden direktur bersama dua orang lagi dari bagian lain. Di sana pak Somad direktur pabrik sudah berdiri di samping tuan Tanaka. Tuan Tanaka mengangguk waktu Renro masuk.
“Hari ini kamu bertiga genap satu bulan bekerja dipabrik ini, dan dinilai layak diangkat sebagai karyawan tetap.” Demikian pak Somad memulai pidatonya. ”Kami mengharapkan agar kepercayaan ini digunakan sungguh-sungguh dengan bekerja lebih rajin. Renro setelah keluar dari ruangan ini menjumpai pak Hasan kepala pabrik, sedangkan yang lain kembali ke posisi semula.” Selesai pidato singkatnya pak Somad menyalami ketiganya sambil menyerahkan masing-masing sebuah amplop panjang. Ketiganya menyalami tuan Tanaka lalu menundukkan kepala ala Jepang, lalu keluar ruangan presiden direktur itu.

Pak Hasan kepala pabrik orangnya ramping, energik dan tidak suka banyak berbicara. Renro masuk menghadapnya setelah dari ruang presiden direktur. Begitu Renro duduk beliau yang langsung bicara.
“Renro mulai besok saya minta kembali ke ruangan gambar.”
“Pak banyak sekali mesin dan peralatan pabrik yang belum saya ketahui. Saya minta diperbantukan di Machine Shop, agar di samping menggambar saya memperhatikan langsung pembuatannya.” Mohon Renro.
“Baik kalau begitu, hubungi pak Sutrisno.”
Sore itu Renro langsung menjumpai pak Sutrisno kepala bagian Machine Shop yang gembira menyambut Renro bekerja di ruangannya.

Lapangan hasil produksi
Dibantu pak Sutrisno, Renro merancang sendiri sebuah meja gambar yang bisa distel turun naik lengkap dengan lampu penerangnya. Beberapa order rolling Renro minta dari pak Fatahuddin lalu menggambarnya di mejanya yang baru. Alat-alat gambar yang kurang, Renro ajukan melalui pak Hasan yang langsung dibeli. Hari ketiga keluar surat keputusan dari presiden direktur bahwa Renro yang memiliki jabatan sebagai drafter pabrik baja, diperbantukan di Machine shop. Renro membaca surat itu sambil tersenyum lalu menyerahkan surat itu pada pak Sutrisno yang dibacanya juga.

Acara sore keluar dari pabrik adalah makan ikan goreng sambil minum ballo, yaitu minuman nira dari pohon nipa yang banyak tumbuh di sepanjang tepi sungai Tallo. Kadang-kadang mereka minum kopi susu sambil memperhatikan anak-anak pulang mengaji dan berkejar-kejaran di atas pematang tambak ikan.

Renro, si kuli bangunan kini berseragam pabrik baja dengan jabatan penting, berkat jasa tuan Tanaka dan Kia kakaknya. ”Ah... ternyata seragam abu-abu, sepatu bot hitam yang sedikit kedodoran dan helm kuning ini juga cukup sesuai dan nyaman dipakai”.

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar