oleh: em khebe
Lembah Watuwawer |
“Kanute coba perhatikan pohon-pohon pada kali mati
di gurung itu,” kata Renro sambil menunjuk ke arah gunung di utara desa
Watuwawer.
“Oh.. ya.. pohon-pohon itu berdaun hijau segar,
sedangkan yang jauh dari kali meranggas dan gersang. Kenapa bisa begitu ya?”
Tanya Kanute.
“Mungkin ada sumber air, hanya lapisan pasir
terlalu tebal sehingga air tenggelam. Saya kira bila di lembah Wala digali sumur
pasti ada sumber air. Bukankah banjir dari gunung dan bukit Bloboho ke laut?
Pasti tertampung pada sebuah palung di dalam tanah.” Renro mengemukakan
perkiraannya.
“Ya... saya ingat! Katanya bapa Bala dari Timor,
pernah menggunakan alat untuk mencari sumber air.” Kata Kanute.
“Lalu apakah ada ditemukan sumber air?” Renro
begitu bersemangat. Tampaknya dia sangat tertarik, karena ia melihat di Timor, sumur dapat ditemukan di pedalaman.
“Katanya ada, nanti kita tanyakan pada kakak Maria, karena mereka yang membantu
bapak Bala waktu itu. Orang di desa sepertinya tidak percaya kalau ada air, masakan
mau menggali sumur di atas gunung”. Jawab Kanute.
Maria dan ina Peni sedang menonton pertandingan
sepak bola di pinggir lapangan. Suasana cukup ramai padahal cuma dengan orang
sekampung, yaitu kelompok Lusibua melawan Lebewala. Yustin anak puteri ina Peni
sampai menari-nari bila kelompok Lebewala mendapat bola. Kanute dan Renro
tertarik untuk menonton juga, meskipun baru dari Woloi, kebun ama Nara di
bukit. Tetapi tidak lama kemudian pertandingan selesai karena bayang-bayang
bukit tinggi di sebelah barat mulai menutupi desa. Angin kering musim kemarau
menerbangkan debu merah di lapangan desa sebelah utara, menghalau sekelompok
ayam yang baru berlari menyeberangi lapangan.
“Kakak Maria katanya ama Bala dari Timor pernah
mencari sumber air pakai alat?” Tanya Kanute begitu ina Peni sudah berjalan
pulang ke rumahnya.
“Ya benar, kami ikut membantu.”
“Apakah ada
sumber air yang ditemukan?” kini Renro yang bertanya. Maria si gadis yang
dipanggil kakak oleh Kanute itu berpikir sebentar lalu menjawab dengan
sungguh-sungguh.
“Ada sampai
delapan tempat, tetapi ada yang katanya airnya tidak deras. Ada yang sumber
airnya terlalu dalam sehingga orang kita akan kesulitan menggalinya. Ada tempat dekat sekolah yang diperkirakan
sebelas meter, dan di dekat rumah kepala desa sekitar dua belas meter.”
“Banyak sekali, jadi rupanya desa kita ini memang
berada di atas air, tetapi kita kekeringan dan bisa berhari-hari tidak mandi.”
Kata Renro disambut senyum rahasia Kanute.
“Kanute...embun masih banyak, tetapi tidak adil
rasanya kita merebut hak burung pipit dan belalang. Beranikah kita menemui
kepala desa malam ini?“ Renro menantang Kanute.
“Berani saja. Batu Atadei yang terpencil dan sukar
dijangkau saja, saya bisa naik dan duduk di atas bahunya, apa sulitnya pergi ke
rumah kepala desa?” Kata Kanute mantap.
Seperempat jam kemudian keduanya sudah keluar dari
rumah berselimutkan sarung tenunan. Kedengaran ama Nara masih mengomel dari
kamar, katanya nenek moyang mereka sudah hidup dengan keadaan begini tanpa air
mengapa mau diributkan?
“Kanute, orangtua kita sudah merasa aman dengan
keadaan biarpun serba kekurangan. Bukan mereka malas dan bodoh, tetapi mereka
mengajar kita untuk bersikap pasrah dan menerima keadaan. Sikap itu baik,
tetapi ketika kita bertemu dengan keadaan tempat lain, kita baru tahu ternyata
daerah kita sangat potensial dan orang-orangnya dapat berkembang lebih maju
asal mau dan berani merubah sedikit saja cara pandang kita.”
“Memang benar
juga, tetapi cara pandang yang bagaimana?”
“Desa Watuwawer
ketiadaan air minum, maka mereka harus pergi mengambil ke tempat yang jauh. Tindakan itu benar sebagai tindakan
pengamanan yang pertama jadi bukan yang terakhir. Tindakan kedua, pindah dan
menetap di sekitar sumber air. Ketiga, menarik air dari sumbernya ke desa,
misalnya menggunakan bambu atau pipa. Ke empat menggali sumur.” Renro berhenti
karena mereka sampai di rumah kepala desa.
“Selamat malam, bapak.” Kanute dan Renro memberi
salam hampir bersamaan.
“Malam bae, oh adik-adik dari kota silahkan masuk.
Adik Renro saya dengar sudah bekerja? Kanute rupanya mau belajar dulu di
kota besar, kalau sudah pintar jangan lupa pulang kampung. Desa kita selalu
dipenuhi oleh wanita dan anak-anak karena yang laki-laki pergi melarat atau
sekolah tetapi tidak pulang-pulang. Rupanya mereka lebih tertarik dengan
wanita-wanita kota dari pada di desa sendiri.”
Rupanya kepala desa mengungkapkan kekecewaannya
pada warga yang pergi sekolah atau merantau dan kemudian merasa asing dengan
tanah kelahirannya sendiri. Renro dan Kanute hanya tersenyum masam sambil
berpandang-pandangan, meskipun penerangan pakai pelita dari kaleng susu agak suram.
“Kadang kami berpikir begitu juga, tetapi setelah
tamat kuliah apa yang dikerjakan di kampung? Paling membuka kebun kacang tanah,
mengiris tuak atau menjual kopra.” Renro menjawab bukan untuk berdebat, tetapi
mau mengatakan kebenaran. Mereka yang tamat esempe dan esema saja tidak ada
tempat, apalagi kuliah.
“Betul juga ya, di sini tidak ada lapangan
pekerjaan. Maaf adik, mungkin ada keperluan lain?” Tanya kepala desa akhirnya.
Anak-anak mengambil air |
“Oh memang pernah. Ama Bala dari Timor pernah
bersama beberapa muda-mudi dan saya sendiri melakukan pencarian sumber air. Ada
banyak tempat, tetapi tidak jauh dari kita duduk ini ada sumber yang tidak
terlalu dalam, sekitar sebelas atau dua belas meter.”
“Bagus sekali, mengapa tidak digali?” Tanya Renro.
“Ah… adik, orang desa kita ini tidak mudah
percaya, mau melihat bukti dulu. Kata mereka mana ada sumur di atas gunung?
Saya sendiri khawatir nanti ditertawakan.”
“Kalau begitu bagaimana kalau kami yang memulai?
Di Timor saya melihat ada sumur di pedalaman, sekitar duapuluhan kilo dari
pantai, maka tidak heran kalau di kampung kita ini ada sumber air. Kalau bapak
kepala desa mengizinkan, kami yang mulai mengggali, karena kami sangat yakin di
bawah desa kita ini ada sumber air. Ama Bala bukan orang sembarangan, ia
sendiri juga yakin dengan apa yang dikerjakannya.” Kata Renro meyakinkan.
Kanute mengangguk-angguk entah apa yang
dipikirkannya.
“Saya sependapat dengan Renro, kitalah yang mulai
menggali kalau warga masih sangsi. Kalau ada nomor satu pasti ada nomor dua,
tetapi kalau tidak ada yang berani memulai, nol tetap nol dan menunggu dalam
mimpi. Kalau saya dan Renro mulai menggali, maka pasti ada orang ketiga dan
keempat yang menyusul.” Kanute mengemukakan pendapatnya.
“Saya gembira sekali mendengarnya. Besok pagi kita
mulai, kalau orang sinis atau mengejek, kita terima karena semuanya resiko dari
apa yang kita kerjakan” Kata kepala desa. Setelah memantapkan rencana mereka,
Kanute dan Renro memohon diri.
Hari belum larut tetapi tidak ada lagi orang di
jalan. Pada umumnya sudah masuk rumah dan ada yang bercanda di dapur sambil
menghangatkan badan. Lembah Wala yang
diperkirakan ada sumber air, dalam kegelapan kelihatan putih tertutup
kabut. Kanute melihat sebentar ke sana lalu berbalik menatap kepada Renro dan
berkata: “Bertahun-tahun sejak kecil saya di desa ini dan merasakan hawanya
sangat dingin. Dan bila pagi embun ada di mana-mana dan sering mandi pakai
embun, tetapi malam ini saya merasa lain.”
“Lain bagaimana?” Tanya Renro.
“Sepertinya kita berdua sedang berjalan di tepi danau” Jawab Kanute sambil tertawa.
“Memang benar,
kita berada ditepi danau ilusi. Rasakanlah hembusan angin dari tengah danau,
dinginnya membuat merinding, tetapi lihatlah ikan-ikan meloncat kegirangan
sampai menabrak pohon turi dan meliuk-liuk di antara batang pisang.” Renro
menimpali membuat mereka berdua
tertawa lebih keras lagi.
Pagi setelah sarapan, Renro dan Kanute sudah
berada di rumah kepala desa bercelana pendek. Sambil menunggu kepala desa
kembali mengiris tuak, mereka mengobrol dengan ibu yang rumahnya dekat lokasi
yang akan digali. Ibu itu senang karena bila ada sumur dekat rumahnya, ia tidak
perlu lagi ke sumber di atas bukit sebelah Selatan yang membutuhkan waktu
berjam-jam. Sementara mereka mengobrol bapak kepala desa datang membawa
sebuah linggis dan parang. Ia
langsung ke rumpun pisang yang diperkirakan ada summer air.
“Ama kamu berdua sementara membongkar pohon pisang
ini, saya pergi menjemput magu Yosep Wawin, karena sebagai tuan tanah beliau
perlu membuat upacara agar pekerjaan kita lebih lancar.” Kata kepala desa sambil berjalan pergi.
Renro dan Kanute merasa sayang membongkar rumpun
pisang itu, tapi demi mendapatkan emas terpaksa mereka mencabut tembaga, karena
kebetulan rumpun pisang yang dibongkar adalah pisang tembaga.
Ketika Renro dan Kanute hampir selesai membongkar
pisang, magun Yosep dengan kepala desa datang. Magun Yosep tidak banyak
berbicara, tetapi sangat disegani orang. Ia duduk diatas tanah yang akan
digali, menyiapkan tuak, sirih, pinang dan tembakau pada gulungan daun lontar,
lalu mengucapkan kata-kata yang tidak dimengerti. Menurut kepala desa, beliau
sedang memohon izin serta bantuan para leluhur agar pekerjaan mereka lancar dan
berhasil. Selesai beliau melakukan upacara, penggalian pun dimulai.
Begitu melihat ada kepala kampung di situ serta
penggalian tanah, orang-orang berdatangan terutama kaum muda. Pada mulanya cuma
tiga orang yang menggali, yaitu kepala desa, Renro dan Kanute, tetapi menjelang
jam sebelas ada belasan anak muda-mudi. Ada dua orang bapak setengah baya,
yaitu magun Dai dan magun Rikus. Mereka menjadi penyemangat kaum muda. Mereka
bekerja sambil bergurau tanpa diminta dan tanpa menanyakan soal upah, bahkan
minum saja pun mereka tidak minta. Pada lapisan pasir dan kerikil pekerjaan
agak lancar, apalagi ditunjang semangat kerja yang tinggi. Tetapi pada lapisan
tanah liat pekerjaan tersendat-sendat. Justru lapisan itulah yang
menahan air sehingga terbentuklah sumber air.
Tengah hari
mereka pulang ke rumah masing-masing untuk makan siang. Kanute dan Renro
disambut pertanyaan beruntun dari penghuni rumah. Mereka gembira begitu
mendengar bahwa banyak bantuan dari kaum muda secara sukarela.
“Memang
seharusnya begitu. Kamu berdua akan berangkat dari sini, sedangkan merekalah
yang akan menggunakan sumur itu.” Ina Ema menyatakan pendapatnya.
“Ah, baru gali
setengah hari belum ada air yang kelihatan jadi kita jangan bertengkar dulu. Mudah-mudahan mereka akan tetap menggali,
meskipun kamu nanti pergi. Kedalaman sudah berapa meter?” Tanya Maria.
“Baru empat atau lima meter.” Jawab Kanute.
“Pada lapisan pasir dan krikil penggalian lancar,
tetapi begitu bertemu tanah liat penggalian makin sulit.” Renro menambahkan.
“Wah luar biasa itu berarti dalam semiggu saja
Watuwawer sudah memiliki air” Ina Ema memuji mereka membuat Kanute ingin segera
kembali ke tempat penggalian.
Setelah istirahat sebagian pemuda tidak kembali
bekerja lagi, katanya harus memberi makan ternak dan mengiris tuak. Biarpun
tenaga berkurang, tetapi semangat bekerja tetap tinggi. Belum ada dua jam
bekerja, tiba-tiba Kanute menari-nari sekeliling sumur membuat mereka yang lain
berdiri agak jauh mendekat. “Kita dapat air, kita dapat air.” Seru Kanute.
Renro yang sedang berada di bawah atap rumah kepala desa berlari mendekat dan
melongok ke dalam galian. Tanah basah dan kental seakan air sudah sangat dekat
sekali. Kepala desa datang dan menambahkan bahwa sumber air sudah dekat,
padahal kedalamannya belum mencapai enam meter. Mereka makin bersemangat
menggali, tetapi sampai bayang-bayang bukit sebelah barat mencapai lubang sumur,
sumber air belum kelihatan. Kepala desa meminta mereka untuk beristirahat
karena sudah sore.
Kanute mendekati kepala desa dan membisikan
sesuatu mungkin ada sesuatu yang mau disampaikan. Melihat itu Renro juga
mendekat karena ada kode mendekat dari Kanute. Kepala desa cepat berbicara
sebelum mereka bubar.
“Teman-teman kaum muda, saya gembira sekali
melihat kekompakkan dan semangat kerja kalian. Sudah ada tanda-tanda dan kita
semua yakin bahwa di bawah kita ada air, hanya kita belum sampai pada
sumbernya. Besok hari Minggu jadi kita semua beristirahat dulu, tetapi hari
Senin saya harap bagi yang tidak berhalangan tetap datang menggali agar air
segera kita temukan. Adik Kanute dan Renro juga mau pamit untuk itu mari kita
mendengar pesan-pesan mereka.” Kepala desa mempersilahkan Kanute dan Renro
untuk berbicara. Renro memberi isyarat agar Kanute yang berbicara.
“Teman-teman, kami bukan mau melarikan diri dari
pekerjaan di desa ini. Saya harus segera menyusul kakak Kopo ke Jakarta untuk
segera mendaftar kuliah tahun ajaran baru. Kalau terlambat berarti harus
menunggu tahun depan, maka saya tidak mau kesempatan ini hilang. Saya harap
kamu tetap menggali sampai menemukan air yang kita inginkan. Selamat tinggal
dan selamat bekerja.Teman Renro mau pamit juga”
Kanute mengakhiri pembicaraannya.
“Selamat sore teman-teman. Kanute benar, kami
tidak melarikan diri. Saya juga mau mohon pamit dari kalian, dan akan kembali
ke kontraktor di Lewoleba. Tempat itu sangat jauh dari sini, jadi kami harus
berangkat pagi-pagi."
Semua yang sejak sambutan kepala desa hanya
tersenyum kini tertawa. “Biarpun sangat jauh bisa ditempuh hanya dengan
berjalan kaki, tetapi karena komitmen pada perusahaan, maka saya harus kembali
untuk bekerja Senin pagi. Apa yang telah kita mulai hari ini harus diteruskan
sampai menemukan air, benda berharga yang sejak nenek moyang hilang dari desa kita.
Kita semua sudah melihat tanda-tandanya hari ini dan besok lusa akan menemukan
wujudnya. Sekian saja, selamat geut tuak, nanti kita berjumpa dalam dolo.” Semua bubar dalam tekad dan rindu. Rindu
untuk mempunyai sumur dan tekad untuk menemukan sumber air.
***
"litle house on The Praire" versi Timwuhun bang. Orek le di...
BalasHapusPee am Niko utu mo leare neu no wulan punekei bo go nepo khupeweg, ake unor bi... memang sayang meke pengalaman hobing doro lee.
HapusDalam-dalam(gom-gom) gom bene lele bo, menghanyutkan, menginspirasi.
HapusBagus sekali cerita ini,saya berkali-kali membaca ini seolah ikut tenggelam
BalasHapus