Selasa, 16 Oktober 2012

SUMUR DI LEMBAH WATUWAWER




oleh: em khebe
 
Lembah Watuwawer
“Kanute coba perhatikan pohon-pohon pada kali mati di gurung itu,” kata Renro sambil menunjuk ke arah gunung di utara desa Watuwawer.
“Oh.. ya.. pohon-pohon itu berdaun hijau segar, sedangkan yang jauh dari kali meranggas dan gersang. Kenapa bisa begitu ya?” Tanya Kanute.
“Mungkin ada sumber air, hanya lapisan pasir terlalu tebal sehingga air tenggelam. Saya kira bila di lembah Wala digali sumur pasti ada sumber air. Bukankah banjir dari gunung dan bukit Bloboho ke laut? Pasti tertampung pada sebuah palung di dalam tanah.” Renro mengemukakan perkiraannya.
“Ya... saya ingat! Katanya bapa Bala dari Timor, pernah menggunakan alat untuk mencari sumber air.” Kata Kanute.
“Lalu apakah ada ditemukan sumber air?” Renro begitu bersemangat. Tampaknya dia sangat tertarik, karena ia melihat di Timor,  sumur dapat ditemukan di pedalaman.
“Katanya ada, nanti kita tanyakan pada  kakak Maria, karena mereka yang membantu bapak Bala waktu itu. Orang di desa sepertinya tidak percaya kalau ada air, masakan mau menggali sumur di atas gunung”. Jawab Kanute.

Maria dan ina Peni sedang menonton pertandingan sepak bola di pinggir lapangan. Suasana cukup ramai padahal cuma dengan orang sekampung, yaitu kelompok Lusibua melawan Lebewala. Yustin anak puteri ina Peni sampai menari-nari bila kelompok Lebewala mendapat bola. Kanute dan Renro tertarik untuk menonton juga, meskipun baru dari Woloi, kebun ama Nara di bukit. Tetapi tidak lama kemudian pertandingan selesai karena bayang-bayang bukit tinggi di sebelah barat mulai menutupi desa. Angin kering musim kemarau menerbangkan debu merah di lapangan desa sebelah utara, menghalau sekelompok ayam yang baru berlari menyeberangi lapangan.

“Kakak Maria katanya ama Bala dari Timor pernah mencari sumber air pakai alat?” Tanya Kanute begitu ina Peni sudah berjalan pulang ke rumahnya.
“Ya benar, kami ikut membantu.”
“Apakah ada sumber air yang ditemukan?” kini Renro yang bertanya. Maria si gadis yang dipanggil kakak oleh Kanute itu berpikir sebentar lalu menjawab dengan sungguh-sungguh.
“Ada sampai delapan tempat, tetapi ada yang katanya airnya tidak deras. Ada yang sumber airnya terlalu dalam sehingga orang kita akan kesulitan menggalinya. Ada tempat dekat sekolah yang diperkirakan sebelas meter, dan di dekat rumah kepala desa sekitar dua belas meter.”
“Banyak sekali, jadi rupanya desa kita ini memang berada di atas air, tetapi kita kekeringan dan bisa berhari-hari tidak mandi.” Kata Renro disambut senyum rahasia Kanute.
“Kanute...embun masih banyak, tetapi tidak adil rasanya kita merebut hak burung pipit dan belalang. Beranikah kita menemui kepala desa malam ini?“ Renro menantang Kanute.
“Berani saja. Batu Atadei yang terpencil dan sukar dijangkau saja, saya bisa naik dan duduk di atas bahunya, apa sulitnya pergi ke rumah kepala desa?” Kata Kanute mantap.

Seperempat jam kemudian keduanya sudah keluar dari rumah berselimutkan sarung tenunan. Kedengaran ama Nara masih mengomel dari kamar, katanya nenek moyang mereka sudah hidup dengan keadaan begini tanpa air mengapa mau diributkan?
“Kanute, orangtua kita sudah merasa aman dengan keadaan biarpun serba kekurangan. Bukan mereka malas dan bodoh, tetapi mereka mengajar kita untuk bersikap pasrah dan menerima keadaan. Sikap itu baik, tetapi ketika kita bertemu dengan keadaan tempat lain, kita baru tahu ternyata daerah kita sangat potensial dan orang-orangnya dapat berkembang lebih maju asal mau dan berani merubah sedikit saja cara pandang kita.”

“Memang benar juga, tetapi cara pandang yang bagaimana?”
“Desa Watuwawer ketiadaan air minum, maka mereka harus pergi mengambil ke tempat yang jauh. Tindakan itu benar sebagai tindakan pengamanan yang pertama jadi bukan yang terakhir. Tindakan kedua, pindah dan menetap di sekitar sumber air. Ketiga, menarik air dari sumbernya ke desa, misalnya menggunakan bambu atau pipa. Ke empat menggali sumur.” Renro berhenti karena mereka sampai di rumah kepala desa.

“Selamat malam, bapak.” Kanute dan Renro memberi salam hampir bersamaan.
“Malam bae, oh adik-adik dari kota silahkan masuk. Adik Renro saya dengar sudah bekerja? Kanute rupanya mau belajar dulu di kota besar, kalau sudah pintar jangan lupa pulang kampung. Desa kita selalu dipenuhi oleh wanita dan anak-anak karena yang laki-laki pergi melarat atau sekolah tetapi tidak pulang-pulang. Rupanya mereka lebih tertarik dengan  wanita-wanita kota dari pada di desa sendiri.”

Rupanya kepala desa mengungkapkan kekecewaannya pada warga yang pergi sekolah atau merantau dan kemudian merasa asing dengan tanah kelahirannya sendiri. Renro dan Kanute hanya tersenyum masam sambil berpandang-pandangan, meskipun penerangan pakai pelita dari kaleng susu agak suram.
“Kadang kami berpikir begitu juga, tetapi setelah tamat kuliah apa yang dikerjakan di kampung? Paling membuka kebun kacang tanah, mengiris tuak atau menjual kopra.” Renro menjawab bukan untuk berdebat, tetapi mau mengatakan kebenaran. Mereka yang tamat esempe dan esema saja tidak ada tempat, apalagi kuliah.
“Betul juga ya, di sini tidak ada lapangan pekerjaan. Maaf adik, mungkin ada keperluan lain?” Tanya kepala desa akhirnya.

Anak-anak mengambil air
“Begini bapak, kami dengar bahwa di desa kita ini pernah ada pencarian sumber air menggunakan alat.” Kata Renro.
“Oh memang pernah. Ama Bala dari Timor pernah bersama beberapa muda-mudi dan saya sendiri melakukan pencarian sumber air. Ada banyak tempat, tetapi tidak jauh dari kita duduk ini ada sumber yang tidak terlalu dalam, sekitar sebelas atau dua belas meter.”
“Bagus sekali, mengapa tidak digali?” Tanya Renro.
“Ah… adik, orang desa kita ini tidak mudah percaya, mau melihat bukti dulu. Kata mereka mana ada sumur di atas gunung? Saya sendiri khawatir nanti ditertawakan.”
“Kalau begitu bagaimana kalau kami yang memulai? Di Timor saya melihat ada sumur di pedalaman, sekitar duapuluhan kilo dari pantai, maka tidak heran kalau di kampung kita ini ada sumber air. Kalau bapak kepala desa mengizinkan, kami yang mulai mengggali, karena kami sangat yakin di bawah desa kita ini ada sumber air. Ama Bala bukan orang sembarangan, ia sendiri juga yakin dengan apa yang dikerjakannya.” Kata Renro meyakinkan.
Kanute mengangguk-angguk entah apa yang dipikirkannya.

“Saya sependapat dengan Renro, kitalah yang mulai menggali kalau warga masih sangsi. Kalau ada nomor satu pasti ada nomor dua, tetapi kalau tidak ada yang berani memulai, nol tetap nol dan menunggu dalam mimpi. Kalau saya dan Renro mulai menggali, maka pasti ada orang ketiga dan keempat yang menyusul.” Kanute mengemukakan pendapatnya.
“Saya gembira sekali mendengarnya. Besok pagi kita mulai, kalau orang sinis atau mengejek, kita terima karena semuanya resiko dari apa yang kita kerjakan” Kata kepala desa. Setelah memantapkan rencana mereka, Kanute dan Renro memohon diri.

Hari belum larut tetapi tidak ada lagi orang di jalan. Pada umumnya sudah masuk rumah dan ada yang bercanda di dapur sambil menghangatkan badan. Lembah Wala yang  diperkirakan ada sumber air, dalam kegelapan kelihatan putih tertutup kabut. Kanute melihat sebentar ke sana lalu berbalik menatap kepada Renro dan berkata: “Bertahun-tahun sejak kecil saya di desa ini dan merasakan hawanya sangat dingin. Dan bila pagi embun ada di mana-mana dan sering mandi pakai embun, tetapi malam ini saya merasa lain.”
“Lain bagaimana?” Tanya Renro.
“Sepertinya kita berdua sedang berjalan di tepi danau”  Jawab Kanute sambil tertawa.
“Memang benar, kita berada ditepi danau ilusi. Rasakanlah hembusan angin dari tengah danau, dinginnya membuat merinding, tetapi lihatlah ikan-ikan meloncat kegirangan sampai menabrak pohon turi dan meliuk-liuk di antara batang pisang.” Renro menimpali membuat mereka berdua tertawa lebih keras lagi.

Pagi setelah sarapan, Renro dan Kanute sudah berada di rumah kepala desa bercelana pendek. Sambil menunggu kepala desa kembali mengiris tuak, mereka mengobrol dengan ibu yang rumahnya dekat lokasi yang akan digali. Ibu itu senang karena bila ada sumur dekat rumahnya, ia tidak perlu lagi ke sumber di atas bukit sebelah Selatan yang membutuhkan waktu berjam-jam. Sementara mereka mengobrol bapak kepala desa datang membawa sebuah linggis dan parang. Ia langsung ke rumpun pisang yang diperkirakan ada summer air.
“Ama kamu berdua sementara membongkar pohon pisang ini, saya pergi menjemput magu Yosep Wawin, karena sebagai tuan tanah beliau perlu membuat upacara agar pekerjaan kita lebih lancar.”  Kata kepala desa sambil berjalan pergi.
Renro dan Kanute merasa sayang membongkar rumpun pisang itu, tapi demi mendapatkan emas terpaksa mereka mencabut tembaga, karena kebetulan rumpun pisang yang dibongkar adalah pisang tembaga.

Ketika Renro dan Kanute hampir selesai membongkar pisang, magun Yosep dengan kepala desa datang. Magun Yosep tidak banyak berbicara, tetapi sangat disegani orang. Ia duduk diatas tanah yang akan digali, menyiapkan tuak, sirih, pinang dan tembakau pada gulungan daun lontar, lalu mengucapkan kata-kata yang tidak dimengerti. Menurut kepala desa, beliau sedang memohon izin serta bantuan para leluhur agar pekerjaan mereka lancar dan berhasil. Selesai beliau melakukan upacara, penggalian pun dimulai.

Begitu melihat ada kepala kampung di situ serta penggalian tanah, orang-orang berdatangan terutama kaum muda. Pada mulanya cuma tiga orang yang menggali, yaitu kepala desa, Renro dan Kanute, tetapi menjelang jam sebelas ada belasan anak muda-mudi. Ada dua orang bapak setengah baya, yaitu magun Dai dan magun Rikus. Mereka menjadi penyemangat kaum muda. Mereka bekerja sambil bergurau tanpa diminta dan tanpa menanyakan soal upah, bahkan minum saja pun mereka tidak minta. Pada lapisan pasir dan kerikil pekerjaan agak lancar, apalagi ditunjang semangat kerja yang tinggi. Tetapi pada lapisan tanah liat pekerjaan tersendat-sendat. Justru lapisan itulah yang menahan air sehingga terbentuklah sumber air.

Tengah hari mereka pulang ke rumah masing-masing untuk makan siang. Kanute dan Renro disambut pertanyaan beruntun dari penghuni rumah. Mereka gembira begitu mendengar bahwa banyak bantuan dari kaum muda secara sukarela.
“Memang seharusnya begitu. Kamu berdua akan berangkat dari sini, sedangkan merekalah yang akan menggunakan sumur itu.” Ina Ema menyatakan pendapatnya.
“Ah, baru gali setengah hari belum ada air yang kelihatan jadi kita jangan bertengkar dulu. Mudah-mudahan mereka akan tetap menggali, meskipun kamu nanti pergi. Kedalaman sudah berapa meter?” Tanya Maria.
“Baru empat atau lima meter.”  Jawab Kanute.
“Pada lapisan pasir dan krikil penggalian lancar, tetapi begitu bertemu tanah liat penggalian makin sulit.” Renro menambahkan.
“Wah luar biasa itu berarti dalam semiggu saja Watuwawer sudah memiliki air” Ina Ema memuji mereka membuat Kanute ingin segera kembali ke tempat penggalian.

Setelah istirahat sebagian pemuda tidak kembali bekerja lagi, katanya harus memberi makan ternak dan mengiris tuak. Biarpun tenaga berkurang, tetapi semangat bekerja tetap tinggi. Belum ada dua jam bekerja, tiba-tiba Kanute menari-nari sekeliling sumur membuat mereka yang lain berdiri agak jauh mendekat. “Kita dapat air, kita dapat air.” Seru Kanute. Renro yang sedang berada di bawah atap rumah kepala desa berlari mendekat dan melongok ke dalam galian. Tanah basah dan kental seakan air sudah sangat dekat sekali. Kepala desa datang dan menambahkan bahwa sumber air sudah dekat, padahal kedalamannya belum mencapai enam meter. Mereka makin bersemangat menggali, tetapi sampai bayang-bayang bukit sebelah barat mencapai lubang sumur, sumber air belum kelihatan. Kepala desa meminta mereka untuk beristirahat karena sudah sore.

Kanute mendekati kepala desa dan membisikan sesuatu mungkin ada sesuatu yang mau disampaikan. Melihat itu Renro juga mendekat karena ada kode mendekat dari Kanute. Kepala desa cepat berbicara sebelum mereka bubar.
“Teman-teman kaum muda, saya gembira sekali melihat kekompakkan dan semangat kerja kalian. Sudah ada tanda-tanda dan kita semua yakin bahwa di bawah kita ada air, hanya kita belum sampai pada sumbernya. Besok hari Minggu jadi kita semua beristirahat dulu, tetapi hari Senin saya harap bagi yang tidak berhalangan tetap datang menggali agar air segera kita temukan. Adik Kanute dan Renro juga mau pamit untuk itu mari kita mendengar pesan-pesan mereka.” Kepala desa mempersilahkan Kanute dan Renro untuk berbicara. Renro memberi isyarat agar Kanute yang berbicara.


“Teman-teman, kami bukan mau melarikan diri dari pekerjaan di desa ini. Saya harus segera menyusul kakak Kopo ke Jakarta untuk segera mendaftar kuliah tahun ajaran baru. Kalau terlambat berarti harus menunggu tahun depan, maka saya tidak mau kesempatan ini hilang. Saya harap kamu tetap menggali sampai menemukan air yang kita inginkan. Selamat tinggal dan selamat bekerja.Teman Renro mau pamit juga”  Kanute mengakhiri pembicaraannya.

“Selamat sore teman-teman. Kanute benar, kami tidak melarikan diri. Saya juga mau mohon pamit dari kalian, dan akan kembali ke kontraktor di Lewoleba. Tempat itu sangat jauh dari sini, jadi kami harus berangkat pagi-pagi."
Semua yang sejak sambutan kepala desa hanya tersenyum kini tertawa. “Biarpun sangat jauh bisa ditempuh hanya dengan berjalan kaki, tetapi karena komitmen pada perusahaan, maka saya harus kembali untuk bekerja Senin pagi. Apa yang telah kita mulai hari ini harus diteruskan sampai menemukan air, benda berharga yang sejak nenek moyang hilang dari desa kita. Kita semua sudah melihat tanda-tandanya hari ini dan besok lusa akan menemukan wujudnya. Sekian saja, selamat geut tuak, nanti kita berjumpa dalam dolo.”  Semua bubar dalam tekad dan rindu. Rindu untuk mempunyai sumur dan tekad untuk menemukan sumber air.
***

4 komentar:

  1. "litle house on The Praire" versi Timwuhun bang. Orek le di...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Pee am Niko utu mo leare neu no wulan punekei bo go nepo khupeweg, ake unor bi... memang sayang meke pengalaman hobing doro lee.

      Hapus
    2. Dalam-dalam(gom-gom) gom bene lele bo, menghanyutkan, menginspirasi.

      Hapus
  2. Bagus sekali cerita ini,saya berkali-kali membaca ini seolah ikut tenggelam

    BalasHapus