Oleh : Em Khebe
Maria dan Renro berjalan tergesa-gesa. Kalau melakukan perjalanan jauh, mereka biasanya berangkat pagi-pagi, tetapi mungkin ada urusan sehingga menjelang jam sepuluh mereka baru meninggalkan Lewoleba. Terik matahari, jalanan mendaki dan berbatu, seharusnya membuat langkah kaki mereka tertatih-tatih, tetapi tidak demikian. Mereka justru semakin bersemangat dibakar matahari. Laut di teluk Lewoleba dengan pulau laut Awololo serta tanjung Tuak Wutu yang panjang menjulur dari utara ke barat daya melindungi seluruh teluk Lewoleba tidak menarik perhatian mereka. Dengan segera desa Namawekak dan pendakian Wai Il mereka lewati.
Satu jam lewat tengah hari, mereka beristirahat
sejenak di persimpangan jalan yang menghubungkan desa Lite. Daerah sekitar
masih asli berupa padang rumput sabana dengan pohon yang sangat jarang. Hamparan
padang luas di
hadapan mereka adalah Kenale dengan sumber air mirip oase. Desa Lite sendiri
tersembunyi di antara pohon-pohon kemiri. Di sana terdapat pula sumber air yang cukup
besar. Tahun enam puluhan Lite menjadi tempat persinggahan yang ramai, karena
menjadi tempat istirahat setelah berjam-jam menempuh padang Kenale kalau dari
arah timur, maupun setelah menempuh kelok-kelok bebukitan Pukai Wutu, bila dari
arah barat. Tetapi jalan memorial yang penuh tantangan itu hanya menjadi masa
lalu bagi mereka yang dilahirkan sebelum tahun 1970.
Setelah sekitar tiga kilo meter dari istirahat
pertama, Renro berhenti dan mengamati dengan teliti pohon-pohon sekitar. “Di
sini dulu ada sebuah rumah singgah pengantar pos dari Lewoleba. Mungkin
peninggalan dari zaman Jepang atau Belanda. Sayang terbakar dan yang tertinggal
hanya kenangan saja.” Kata Renro mengenang. “Dulu saya pernah beristirahat
beberapa kali sambil menahan haus. Tidak ada orang yang berpikiran menjual
kelapa atau tuak”. Maria menerawang jauh ke tahun enam puluhan. Memang dulu
setiap orang saling mencurigai dan juga tempat itu sangat terpencil. Orang
memilih keamanan yang lebih penting dari pada berjualan.
Mereka berjalan sambil bercerita dan tidak terasa
mereka sudah mendekati desa Belek, yang ternyata tinggal puing-puing saja
karena ditinggalkan penghuninya. Deretan bangunan yang dulu dibangun permanen
masih kokoh berdiri di tengah semak belukar. Demikian juga gedung gereja dulu
dibangun oleh seorang pastor berkebangsaan Amerika, namanya pastor Smitz.
Mereka tidak tahu pasti alasan penduduk meninggalkan desanya. Mereka menduga
mungkin tidak nyaman karena desa ini terbuka menerima terpaan angin dari timur
dan barat, atau karena alasan yang lain. Dari letaknya dan pemandangan yang
disajikan alam ka barat dan ke tenggara memang sangat indah.
“Bukan main, lihatlah banyak sekali kuda di lereng
bukit” Teriak Renro.
“Indah sekali, di antara pohon-pohon
kaliandra.” Sambung Maria.
“Oh itu namanya pohon kaliandra? Dulu waktu saya melewati
jalan ini, pohon itu belum tumbuh di sini. Ya.. sudah belasan tahun yang lalu
bersama sekelompok anak dari Waiwejak.” Kenang Renro, dan kala itu desa belek
termasuk desa yang ramai, dan daerah yang mereka lewati kini dulu merupakan ladang
penduduk.
“Pohon kaliandra baru ada setelah bencana longsor
yang dahsyat di Waiteba. Entah dari mana pohon itu tumbuh bersama rumput yang
menjengkelkan,” jawab Maria.
”Pohon perdu itu hijau dan menarik, tetapi rumput
coklat itu memang sangat menjengkelkan. Tidak mungkin rumput dan pohon tumbuh
secara kebetulan. Malaekat menurunkan tanaman kaliandra di lereng-lereng bukit
dan setan menyebarkan bunga rumput di dataran. Bunga rumput yang seringan kapas
itu segera tertiup angin ke segala arah. Dalam waktu semusim saja pulau sudah
tertutup rumput liar yang menjengkelkan, tidak menyuburkan tanah malahan
sebaliknya mematikan tanaman-tanaman penghijau seperti krotolaria.” Terdengar Renro menggerutu dengan kesal, tetapi
tidak dapat berbuat apa-apa selain menerima saja.
Mendaki lereng terjal yang banyak ditumbuhi pohon
kaliandra itu, hujan mulai rintik-rintik dan tiba-tiba lebat sekali. Mereka
tidak menyangka sama sekali, karena jarang terjadi hujan di tengah musim
kemarau. Di bukit, jauh dari perkampungan, mereka tidak dapat mencari
perlindungan selain pasrah saja. Kabut juga demikian tebal sehingga jarak
pandangpun hanya dua atau tiga meter saja. Mereka tetap berjalan berdampingan,
tidak berani berjauhan. Apalagi sering ada cerita tentang ’tenébér’, yaitu
hantu dalam awan yang membawa orang menghilang dan tiba-tiba berada di tempat
terjal yang sulit di jangkau orang. Entah berapa lama mereka berjalan dalam
keadaan hujan dan berkabut demikian.
Fatamorgana |
Tetapi tiba-tiba awan di depan mereka terbuka
sedikit dan… “Oh Maria… betapa indah pemandangan di gunung di depan itu.” Seru
Renro keherananan.
“Ya indah sekali, kota apa itu? Saya belum pernah
melihatnya.” Kata Maria.
“Kota seperti itu hanya ada dalam lukisan.
Ternyata daerah kita ada tempat yang sangat indah. Hutan menghijau dan atap
rumah berwarna merah ada di antara pohon-pohon yang rindang dan hijau.
Suasana
di depan itu suatu ketika mudah-mudahan saya dapat melukisnya. Kota apa itu? Saya
tidak pernah mendengar bahwa ada kota
yang indah di gunung itu.” Renro
semakin kagum sekaligus penasaran. Pemandangan itu sangat mentakjubkan dan
sulit dilukiskan dengan kata-kata. Dan bahkan perasaan merekapun seakan berada
di dunia lain, padahal kaki mereka menjejak tanah Lembata.
Sementara mereka masih terpukau, kabut tiba-tiba
pergi dan … ”Mana kota yang sangat indah itu?”, Renro mencari-cari pemandangan
yang baru dilihatnya, demikian jaga Maria. Renro kecewa karena pemandangan yang
indah itu lenyap bersama kabut. ”Orang-orang yang hilang dibawa ’tenébér’ itu
mungkin seperti pemandangan tadi. Orang begitu terpukau sehingga masuk ke
pemandangan yang indah tetapi tiba-tiba berada di tempat yang tidak dikenalnya.
Saya jadinya merinding.” Kata Maria sambil langkahnya diperlambat mendekati
Renro yang masih dari belakang. ”Ya mungkin juga. Saya saja masih ingin masuk
ke dalam kabut untuk melihat kota itu. Rupanya itu cara hantu tenébér menangkap
mangsa.” Kata Renro, wajahnya menampakkan ketakutan. Kata-kata Renro diiyakan
saja oleh Maria yang semakin ketakutan.
Dari jauh tampak desa Waiwejak dan lebih ke atas
lagi Watuwawer. Renro dan Maria sangat penasaran mencari ke segala arah, tetapi
tidak melihat kota seperti yang ada di dalam kabut tadi. Bila sendirian
mengalami pemandangan seperti itu bisa-bisa perhatiannya tersedot sehingga menghilang.
Mereka yang mengalami itu biasanya ceritanya indah-indah tetapi kenyataannya
mereka sangat menderita. Sambil berjalan Renro menceritakan kakak sepupuhnya
Martinus yang di bawah tenébér beberapa tahun yang lalu dan ditempatkan di
bukit dekat dapur alam. Ketika ditanya oleh bapaknya bahwa kampung dekat sekali
mengapa ia tidak pulang, dan dijawab Martinus bahwa di hadapannya terdapat
jurang terjal yang tidak bisa dilewati. Hantu ’teneber’ itu benar-benar
memutarbalikan keadaan.
Mereka melewati desa Bakan kemudian desa Lewaji.
Setelah Lewaji ada sumber air dan pancurannya menarik, tetapi mereka tidak
singgah. Turun di Waikowan, sumber air panas yang menyembul dari dalam tanah di
antara pohon-pohon kelapa, juga tidak menarik untuk dilihat. Hanya setelah
setelah Waikowan ada keluarga di pondok yang meminta mereka untuk mampir dan
permintaan itu tidak dapat mereka tolak. Sekitar seperempat jam mereka mampir
dan disuguhi tuak dari pohon kelapa, lalu mereka melanjutkan perjalanan.
Mendekati kali mati dekat Wai Krata, matahari masih kelihatan di atas lereng
gunung Laba Lekan, jadi menurut perkiraan, mereka akan tiba di Watuwawer
sekitar jam enam sore.
Kuda berdahi putih |
Begitu kaki mereka menginjak pasir di kali,
keadaan berubah menjadi gelap gulita. Renro menjadi penunjuk jalan merasa heran
menghadapi keadaan itu. Tadinya mereka mau melewati jalan pintas, akhirnya
kembali ke jalan yang menuju desa Waiwejak lewat Wai Krata. Tetapi memasuki
jalan ke Wai Krata lebih parah lagi. Jalan di depan Renro tiba-tiba hilang dan
mereka malahan berada di bawah pohon enau dan tampak bayang-bayang pohon yang
lain. Situasi sungguh sangat gelap dan tidak bisa melihat apa-apa lagi. Renro
tidak bisa melihat Maria dan juga sebaliknya.
“Maria.., saya bingung sekali, mengapa jalanan
tiba-tiba kacau begini? Ayo sekarang kita duduk dulu, ada gangguan yang sangat
serius. Sebelum menginjak kali, kita melihat matahari masih tinggi, jadi tidak
mungkin tiba-tiba menjadi gelap.” Kata Renro penasaran dan sedikit ketakutan.
“Ya benar sekali. Saya juga memperkirakan bahwa
kita akan sampai di Watuwawer sejenak setelah matahari terbenam” sambung Maria.
“Tetapi kenyataan yang kita alami hari ini sungguh
aneh. Siang tadi kita disuguhi pemandangan yang sangat indah. Dan sorenya
keadaan seperti begini. Aneh dan tidak masuk
akal sama sekali. Tadi kita berada pada jalan yang lapang dan tiba-tiba
berada di bawah pohon enau dan terjal dan sangat gelap lagi.” Renro betul-betul
heran, penasaran campur takut.
“Kita duduk saja, jangan berjauhan dan tidak boleh
pindah tempat.” Maria menganjurkan.
“Ya memang demikian. Bergerak dan pindah tempat
berarti memberi kesempatan kepada setan untuk mengatur strategi lain. Duduk dan
menunggu di sini biar setan juga belajar duduk manis”. Renro bergurau membuat Maria tertawa. Mereka
cerita bergantian mengisi malam pekat tanpa kepastian.
Entah berapa lama mereka duduk, tiba-tiba dari
jauh terdengar suara seorang ibu. Makin lama makin dekat dan jelas. Ia memegang
sebuah obor bernyala yang diangkat tinggi-tinggi sambil bersuara keras atau
berteriak seakan memanggil anjing. Ibu itu berjalan sepertinya di depan seekor
kuda. Semakin dekat Renro dapat melihat jelas bahwa di atas kuda duduk dua anak.
Meskipun sendirian ibu itu bersuara terus, mungkin strategi menghalau ketakutan
sendiri atau menghalau setan. Renro berdiri dan menyapa ketika mereka semakin
mendekat.
“Malam bae ina, dari mana?” Ibu itu kaget dan
menghentikan kuda.
“Kami dari Paulolo. Kamu siapa? Setan atau
manusia? Mengapa ada di hutan ini?” Ibu itu kaget menyaksikan dua insan
berlainan jenis di hutan larangan di malam buta maka pertanyaannya keluar
seperti pelor.
“Ina kami manusia. Tadi mau ke Waiwejak, tapi ada
yang membuat kami terpaksa berhenti di sini. Ceritanya nanti saja, sekarang
kami gembira bisa melanjutkan perjalananan malam ini.” Jawab Maria gembira.
“Mari berangkat bersama. Kamu berdua pastilah
orang baru di daerah ini sehingga berani berhenti di sini atau pasti ada
gangguan. Di sini kalau tidak hati-hati bisa hilang. Sudah banyak kejadian.
Beruntung kamu berdua berhenti, kalau tidak … entahlah. Lain kali jangan lewat
sendirian entah siang atau malam.” Wanita itu memperingatkan.
Sambil berjalan tiba-tiba ada kuda yang ada warna
putih pada dahinya datang hendak menabrak Renro yang berjalan paling belakang,
membuat Renro kaget dan berhenti. ”Kuda
siapa ini, hampir menabrak saya.” Teriak Renro sementara itu kuda tadi berjalan
terus dan menghilang dalam kegelapan. Semua berhenti melihat Renro.
”Memangnya ada kuda? Saya yang berjalan
paling depan tidak melihat ada kuda.” Maria bersuara dari depan.
“Tadi siang tidak ada kuda yang diikat di tempat
ini dan tidak ada orang yang berani mengikat kudanya di hutan keramat ini. Tadi
pasti roh jahat yang mengganggu kamu menampakkan diri dalam bentuk kuda.
Sekarang jalan terus jangan menoleh kebelakang”. Kata ibu itu memperingatkan.
Renro yang berjalan paling belakang tidak berani
lagi menoleh untuk melihat kuda yang menghilang dalam kegelapan, hanya ia merinding
dan kepalanya terasa membesar.
Tidak lama kemudian mereka sampai di Waiwejak. Ibu
itu mengajak mereka singgah di rumahnya sebentar untuk menenangkan mereka. Setelah
hati dan nafas menjadi lebih tenang, Maria dan Renro mohon diri dan meneruskan
perjalanan ke Watuwawer. Bukit Keneping yang menyatu dengan Karlolo, yaitu
bukit di atas dapur alam yang tadi diceritakan Renro berhubung dengan hilangnya
Martinus, legam dan lengang, anginpun seperti takut mengusiknya. Mereka
mempercepat langkah agar segera tiba di kampung.
Mereka rasanya sudah menghabiskan separuh malam di
Waikrata tetapi ketika tiba di kampung Watuwawer, baru jam tujuh malam? Aneh! Rasa heran, gembira dan takut
bercampur aduk. Renro dan Maria
menceritakan pengalaman yang indah mempesona dan juga seram menakutkan silih
berganti hari itu.
*** NB: Setiap saya membaca tulisan ini
perasan ngeri dan merinding masih menghinggapiku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar