Oleh: Em Khebe
Petualangan Hutan bambu |
Kanute dan Renro sering menjelajahi bukit-bukit tandus di belakang
Lewoleba, sekedar menikmati panorama dari bukit. Lembah Lete adalah kawasan
favorit mereka. Terdapat hutan bambu yang luas, ada sumber air yang sejuk di
kaki bukit serta banyak margasatwa yang berkeliaran. Burung kakatua sering
berkelompok terbang di atas bekas-bekas ladang yang ditinggalkan. Burung pergam
di atas pohon buah-buahan dan di bawahnya sering sekawanan rusa atau babi hutan
menunggu buah-buah yang jatuh. Ayam hutan dan burung puyuh selalu paling ramai
menyemarakan lembah Lete dengan kokok serta ciap-ciapnya, burung gagak yang
hitam legampun selalu membuat keributan dengan suara parau.
“Kanute, kuda saya ikat saja di padang ini sementara kamu duluan memeriksa
jerat-jerat, siapa tahu ada burung atau ayam hutan yang terjerat.” Kata Renro
sambil turun dari ”Setia,” kuda yang ditunggangnya lalu mengikat talinya pada
rerumputan. Kuda itu milik bapak Polur dari Kalikasa, sebuah kampung yang
ditempuh sekitar empat jam dari Lewoleba melewati jalan pintas. Kuda itu begitu
penurut sehingga diberi nama ‘Setia’ oleh pemiliknya. Renro sering meminjam
kuda itu kalau ke Kalikasa. Kanute mengangguk saja lalu segera menghilang ke
hutan bambu.
Tidak lama kemudian terlihat asap api di antara daun-daun bambu, apakah ada
orang lain sudah lebih dulu di sana? Renro bertanya-tanya dalam hatinya. Tetapi
begitu mendekat, bukan orang lain tetapi Kanute sendiri yang membuat api itu.
Ia sedang membakar burung puyuh hasil jeratnya. “Dapat burung puyuh ya, saya
akan pergi melihat jerat yang saya pasang juga”, kata Renro sambil menyelinap
ke bawah rumpun bambu. Tidak lama kemudian, Renro kembali sambil
memegang seekor burung puyuh lagi yang sudah mati. “Wah dapat satu juga ya, mari saya panggang.” Kata
Kanute sedangkan burung puyuh pertama hampir matang. Minyaknya menetes
ke atas bara api menyebarkan aroma harum yang membangkitkan air liur. “Burung
puyuh yang saya dapat adalah jenis ‘buten’, sedangkan yang ini jenis ‘reing’
sedikit lebih kecil tetapi paling garing. Tulang-tulangnya termakan semua tidak
ada yang dibuang.” Jelas Kanute sambil membersihkan burung puyuh yang baru
dibawa Renro yang disebut reing itu.
“Memangya ada berapa jenis? Saya kira burung puyuh hanya ada satu jenis
saja.”
“Di pulau kita ini saya tahu ada tiga jenis, yaitu hiker, buten dan reing.
Kelompok hiker lebih besar dan selalu berkelompok, sedangkan reing dan buten
jarang kita jumpai, tetapi bila memasang jerat paling sering kita dapat.” Jelas
Kanute sambil menggigit paha burung puyuh. Memang benar-benar nikmat
makan burung panggang di hutan bambu. Meski hanya dua-dua potong tetapi terasa enak sekali.
“Waduh kita harus pulang ke pondok. Sumber air masih terlalu jauh.” Kata Kanute sambil menutup bara api dengan
tanah.
“Wah … haus kan? Saya juga. Maklumlah dua potong burung panggang
langsung dicampur garam, mana tahan? Ayolah Kanute, pulang ke pondok saja
lumayan jauh.”
Mereka bergegas meninggalkan
hutan bambu. Sampai di padang
dekat tempat kuda, Setia datang menyongsong Renro. Hewan itu tidak perlu
ditarik-tarik atau dicambuk seakan mengerti bahwa sudah waktunya mereka pulang.
Renro naik dan duduk di atas punggung kuda setelah memasang kekang seadanya,
lalu Kanute duduk di belakangnya. Kuda yang setia itu segera berlari lewat padang rumput yang coklat
kekuning-kuningan yang bergelombanggelombang diterpa angin.
“Kanute hari Minggu coba kita ke bukit sana, dari jauh sepertinya ada satu
pohon kelapa”
“Baiklah, saya juga penasaran
dengan pohon itu.”
Hari Minggu setelah ibadat dan
sarapan roti sumbu yang kuning alias singkong rebus dengan kopi kental yang
manis, Kanute dan Renro kembali ke petualangan hutan bambu. Dari dataran tampak
bukit Lewoleba yang lereng sampai puncaknya hitam karena terbakar. Memang
sangat ironis. Tahun tujuh lima masyarakat Lembata membuat musyawarah yang
menghasilkan keputusan untuk menindak tegas setiap orang yang menyebabkan
terbakarnya hutan dan padang, tetapi kebakaran tetap terjadi terutama pada
musim kemarau. Akhirnya Mubesrata yang
artinya Musyawarah besar rakyat Lembata diplesetkan menjadi ‘mulut
besar rakyat Lembata.’ Belakangan baru ketahuan penyebab kebakaran
bukan rakyat tetapi oknum pegawai kehutanan untuk melindungi proyek reboisasi
fiktif sehingga tiap tahun selalu ada pengajuan dana reboisasi. Renro dan
Kanute membayangkan bila seluruh pulau Lembata selama berpuluh-puluh tahun
terhindar dari kebakaran maka sumber air akan melimpah dan mengalirkan air yang
menyuburkan dataran.
Tiba-tiba mereka dikejutkan oleh
sekelompok ayam hutan yang kaget dan beterbangan. Hutan bambu yang sejuk memang
menjadi areal ‘peternakan’ yang nyaman. Burung-burung dan ayam bebas mencari
makan dan berkeliaran tidak terganggu. Sampai di kaki bukit yang terjal, mereka meloncat dari batu ke batu dan
akar-akar pohon yang besar. Di sana
sini terdapat banyak ceceran kotoran rusa, sedangkan liang-liang di bawah batu sangat bersih sepertinya selalu
dilewati, tetapi oleh binatang apa? Kemungkinan ada babi hutan atau mungkin ular-ular
besar. Binatang-binatang seperti ini sangat dihindari, jangankan berpapasan,
melihat sajapun kalau boleh jangan karena sama-sama bahayanya.
Terjebak |
Setelah puas melihat kesana kemari, Renro bergumam; “Indah sekali kita di tempat ini. Tetapi tampaknya kita lebih rendah dari permukaan air laut, padahal dari Lewoleba ke tempat ini kita selalu mendaki.”
“Iya ya, saya jadi heran mengapa begitu ya. Kalau saja air laut
mengalir seluruh lembah Lete akan tergenang semua.” Kanute menambahkan.
Puncak bukit tinggi yang dilihat
dari lembah, kini hanya beberapa ratus meter di atas mereka, bila berada di
puncak sana mereka bisa melihat panorama di sebelah timur. Ada bebukitan tinggi kecamatan Lebatukan. Di
seberang bukit ada kampung dan yang paling penting sungai besar yang disebut
Wai Bur.
“Pulau begini indah, tetapi mengapa tiap tahun selalu terbakar?” Tanya
Renro dengan suara perlahan. Kanute diam saja tiba-tiba dia memanjat kelapa.
Kelapa itu tidak berbuah lebat mungkin ada orang lain sering mampir ke sini dan
memetik buahnya. Kanute menjatuhkan dua buah yang mampu melepaskan dahaga
mereka.
“Pohon ini tidak tahu siapa yang
tanam, tetapi yang pasti seseorang yang berjiwa sosial” Kanute akhirnya
bersuara setelah minum kelapa muda.”Kalau ada buah yang tua saya mau tanam
juga, biar orang tidak mengenal saya, yang penting menikmati hasil kerja saya.
Nenek moyang kita dulu juga sepertinya mempunyai prinsip demikian sehingga pohon
kelapa ada di mana-mana, meskipun di kebun orang.” Lanjut Kanute.
“Benar, mereka begitu sosial, tetapi
sekarang egoisme semakin kuat. Tanah sejengkal saja diperebutkan dengan tombak
dan anak panah.” Renro menambahkan.
Mereka berdiri sejenak menikmati pemandangan lalu kembali ke lembah Lete.
Mereka turun terburu-buru khawatir bertemu dengan makhluk licin panjang,
apalagi lembah mulai tertutup bayang-bayang senja. Binatang-binatang dan unggas
berlari pulang ke liang dan sarangnya, Renro dan Kanute juga tergesa-gesa
menapak jalan setapak masuk ke hutan bambu.
“Renro, di atas sana sepertinya ada sumber air ketika saya melihat ke arah
kali” Kanute berdiri dan berbalik menunggu Renro.
“Oh ya, bagus, berarti ada proyek
untuk minggu depan. Sekarang saya
merasa ngeri berada di sana. Ular-ular besar sepertinya sedang bersiap
di pintu liangnya.” Renro tampak khawatir bila berpapasan dengan ular.
Berpapasan dengan babi hutan dan rusa serta ular kecil itu sudah biasa, tetapi
dengan ular besar belum pernah dan jangan pernah.
Mereka tiba di pondok ketika hari mulai gelap. Kanute langsung mengambil
bambu dan pisau lalu pergi mengiris tuak yang hanya sepohon tidak jauh dari
pondok. Renro menggoreng jagung bulat di tembikar, sementara itu sekeliling api
juga dibakar singkong setelah dikupas. Harum jagung goreng dan singkong
panggang segera tercium begitu api semakin besar. Maka begitu Kanute turun dari
pohon lontar atau pohon tuak, mereka berdua segera berpesta di kegelapan hanya
diterangi nyala api dari tungku. Makan singkong bakar dan jagung goreng sambil
minum tuak, mereka mengobrol tentang macam-macam hal, tetapi terutama
pengalaman mendaki ke lereng bukit.
Gelugala |
Menjelang tengah malam ketika
hawa semakin dingin mereka bangun dan kembali ke pondok. Pakaian yang mereka
kenakan, yaitu celana pendek dan baju kaou, basah terkena embun malam. Di
pondok mereka menghidupkan api lalu tidur mengitari api berselimutkan batang pepaya kering. Mereka tidur seperti itu karena tidak ada
sarana yang lain seperti tikar, bantal atau selimut. Pakaian yang sudah lembab
akibat berbaring di pinggir jalan tetap dipakai. Paginya mereka bangun sambil
tertawa oleh pengalaman semalam.
Tujuhbelas Agustus peringatan hari kemerdekaan Indonesia. Kanute
berangkat berbaris dengan teman-temannya menuju Kantor Pembantu Bupati Flores
Timur. Renro juga berangkat dan bergabung dengan masyarakat di lapangan terbuka
yang oleh masyarakat disebut stadion. Upacara di halaman kantor bupati
terdengar ada tembakan bedil yang tentu saja tidak memakai pelor sungguhan. Di
stadion lebih seru. Final sepak bola antara Wangatoa melawan Eropaun dan
masing-masing membawa dukun untuk memenangkan kesebelasannya. Reporter tanpa
pengeras suara berdiri di pinggir lapangan dan bercuap-cuap meniru reporter
olahraga di RRI Kupang.
Setelah menonton sejenak, Kanute
dan Renro sarapan jagung titi yang dicampur kacang tanah goreng. Sementara
makan Kanute menanyakan kegiatan mereka hari itu.
“Bagaimana kalau kita ke Lete, ke
sumber air yang dilihat waktu turun dari lereng bukit.”
“Saya setuju Renro. Rusa-rusa dan ayam hutan pasti minum ke sana karena
hari ini suasana hutan pasti sangat sepi.” Jawab Kanute.
“Saya juga ingin tahu mengapa air itu tidak mengalir ke kali. Mungkinkah
air itu tenggelam ataukah ada alasan lain.” Jawab Renro sambil
menduga-duga tentang air itu.
“Benar, saya juga ingin tahu. Ayo kita segera berangkat hari semakin terik.”
Tidak lama kemudian Renro dan Kanute berangkat ke arah Lete.
Seperti biasanya aroma dan kesejukan hutan bambu menyongsong begitu mereka
meninggalkan padang. Mereka tidak mampir memeriksa jerat-jerat, karena sumber
air yang baru lebih menarik untuk diselidiki. Sejak memasuki hutan bambu mereka
hanya berbicara seadanya menghindari percakapan yang terlalu panjang takut
mengganggu kesunyian yang ada. Dari lereng bukit angin mengalir membelai
daun-daun kering yang berguguran. Kanute berjalan lebih cepat, karena rupanya
Renro masih tertahan dengan sekelompok ayam hutan yang terbang ketika mereka
lewat.
“Renro ada rusa terjebak dalam
kubangan air.” Teriak Kanute memanggil Renro yang baru mendaki dibalik semak.
“Rusa terjebak? Masih ada atau
sudah lari?” Tanya Renro tergesa-gesa.
“Masih hidup, mungkin tergelincir
waktu hendak minum.”
Kanute berusaha menyentuh rusa
itu dengan ujung parang, tetapi rusa itu sudah terlalu lemah sehingga tidak
berusaha menghindar ketika di sentuh Kanute.
Kanute berusaha mengikat rusa
yang sedang sekarat itu dengan tali yang diambil dari tanaman menjalar yang
tumbuh di pinggir kubangan. Air yang mereka kira ada sumbernya teryata hanya genangan
air hujan yang tertampung dalam sebuah kolam alam yang cukup lebar dan dalam.
Setiap orang yang lewat di sana
bila hanya lewat di pinggir kali tidak akan tahu ada air di tengah batu. Empat
atau bahkan lebih rusa bisa masuk dalam kubangan itu, tetapi sulit untuk keluar
karena dinding kubangan itu terjal. Kubangan itu terbentuk dari batu padas yang
cukup dalam. Airnya berwarna kehijau-hijauan akibat lumut dan juga karena tidak
mengalir.
Mereka menarik rusa itu ke pinggir lalu Kanute menyembelihnya dan
mengeluarkan isi perutnya. Renro memotong daun gebang lalu berdua mengikat
bangkai rusa itu tanpa dipotong. Pekerjaan itu memakan waktu cukup lama,
sehingga ketika mereka meninggalkan kubangan itu, ayam-ayam jantan kedengaran
bersahut-sahutan memanggil kelompoknya.
Meskipun mereka berjalan cukup cepat, tetapi beratnya rusa memaksa mereka
harus beristirahat beberapa kali. Di tempat yang biasa mereka bakar burung
puyuh, Renro bertanya kepada Kanute nama tempat mereka mendapat rusa itu.
“Nama yang tepat, e-em ‘Donak Tagal’.
Jawab Kanute.
“Bukankah itu nama jalan di Lewoleba?”
“Benar, nama itu lucu sekaligus menyeramkan. Tempat tadi juga menyeramkan.
Tebingnya curam dan dalam sehingga sekali tergelincir pasti masuk kubangan dan
tidak bisa keluar lagi. Donak tagal, saya bayangkan kira-kira menggambarkan hal
seperti itu.” Kanute menjelaskan alasannya.
“Saya setuju dengan nama itu.” kata
Renro sambil menjabat tangan Kanute.
Senja sudah menghilang dan malam mulai menjemput, tetapi sayup-sayup
terdengar lagu ‘hitam manis’ dari hutan bambu, beberapa kilometer di luar kota
Lewoleba. Renro dan Kanute merayakan kegembiraan atas nama ‘Donak Tagal’ dan
bangkai rusa yang belum di potong.
***
Lembah Lete sangat sejuk, indah dan menyenangkan terutama rusa, ayam hutan, babi dan margasatwa yang lain.
BalasHapus