Rabu, 10 Oktober 2012

Donak Tagal


Oleh: Em Khebe

Petualangan Hutan bambu
Teluk Lewoleba air lautnya tenang kontras sekali dengan orang-orang yang menghuni pesisir barat Lembata itu. Di sebelah utara ada gunung berapi Ile Ape, di sebelah selatan samar-samar terlihat gunung Mingar menyembulkan puncaknya dibalik hutan palawan dan bukit-bukit coklat Waijarang. Di sebelah timur, dataran Lewoleba seakan dibentengi bebukitan tinggi dan memanjang. Ada beberapa kali mati mengarah  ke pantai barat. Hanya sungai Waikomo, yang cukup bertahan sedangkan lainnya Cuma mengalirkan air banjir pada musim hujan. Untunglah sumur bisa digali di mana-mana sehingga mereka selalu kecukupan air.

Kanute dan Renro sering menjelajahi bukit-bukit tandus di belakang Lewoleba, sekedar menikmati panorama dari bukit. Lembah Lete adalah kawasan favorit mereka. Terdapat hutan bambu yang luas, ada sumber air yang sejuk di kaki bukit serta banyak margasatwa yang berkeliaran. Burung kakatua sering berkelompok terbang di atas bekas-bekas ladang yang ditinggalkan. Burung pergam di atas pohon buah-buahan dan di bawahnya sering sekawanan rusa atau babi hutan menunggu buah-buah yang jatuh. Ayam hutan dan burung puyuh selalu paling ramai menyemarakan lembah Lete dengan kokok serta ciap-ciapnya, burung gagak yang hitam legampun selalu membuat keributan dengan suara parau.

“Kanute, kuda saya ikat saja di padang ini sementara kamu duluan memeriksa jerat-jerat, siapa tahu ada burung atau ayam hutan yang terjerat.” Kata Renro sambil turun dari ”Setia,” kuda yang ditunggangnya lalu mengikat talinya pada rerumputan. Kuda itu milik bapak Polur dari Kalikasa, sebuah kampung yang ditempuh sekitar empat jam dari Lewoleba melewati jalan pintas. Kuda itu begitu penurut sehingga diberi nama ‘Setia’ oleh pemiliknya. Renro sering meminjam kuda itu kalau ke Kalikasa. Kanute mengangguk saja lalu segera menghilang ke hutan bambu.

Tidak lama kemudian terlihat asap api di antara daun-daun bambu, apakah ada orang lain sudah lebih dulu di sana? Renro bertanya-tanya dalam hatinya. Tetapi begitu mendekat, bukan orang lain tetapi Kanute sendiri yang membuat api itu. Ia sedang membakar burung puyuh hasil jeratnya. “Dapat burung puyuh ya, saya akan pergi melihat jerat yang saya pasang juga”, kata Renro sambil menyelinap ke bawah rumpun bambu. Tidak lama kemudian, Renro kembali sambil memegang seekor burung puyuh lagi yang sudah mati. “Wah dapat satu juga ya, mari saya panggang.” Kata Kanute sedangkan burung puyuh pertama hampir matang. Minyaknya menetes ke atas bara api menyebarkan aroma harum yang membangkitkan air liur. “Burung puyuh yang saya dapat adalah jenis ‘buten’, sedangkan yang ini jenis ‘reing’ sedikit lebih kecil tetapi paling garing. Tulang-tulangnya termakan semua tidak ada yang dibuang.” Jelas Kanute sambil membersihkan burung puyuh yang baru dibawa Renro yang disebut reing itu.

“Memangya ada berapa jenis? Saya kira burung puyuh hanya ada satu jenis saja.”
“Di pulau kita ini saya tahu ada tiga jenis, yaitu hiker, buten dan reing. Kelompok hiker lebih besar dan selalu berkelompok, sedangkan reing dan buten jarang kita jumpai, tetapi bila memasang jerat paling sering kita dapat.” Jelas Kanute sambil menggigit paha burung puyuh. Memang benar-benar nikmat makan burung panggang di hutan bambu. Meski hanya dua-dua potong tetapi terasa enak sekali.

“Waduh kita harus pulang ke pondok. Sumber air masih terlalu jauh.” Kata Kanute sambil menutup bara api dengan tanah.
“Wah … haus kan? Saya juga. Maklumlah dua potong burung panggang langsung dicampur garam, mana tahan? Ayolah Kanute, pulang ke pondok saja lumayan jauh.”

Mereka bergegas meninggalkan hutan bambu. Sampai di padang dekat tempat kuda, Setia datang menyongsong Renro. Hewan itu tidak perlu ditarik-tarik atau dicambuk seakan mengerti bahwa sudah waktunya mereka pulang. Renro naik dan duduk di atas punggung kuda setelah memasang kekang seadanya, lalu Kanute duduk di belakangnya. Kuda yang setia itu segera berlari lewat padang rumput yang coklat kekuning-kuningan yang bergelombanggelombang diterpa angin.
“Kanute hari Minggu coba kita ke bukit sana, dari jauh sepertinya ada satu pohon kelapa”
“Baiklah, saya juga penasaran dengan pohon itu.”

Hari Minggu setelah ibadat dan sarapan roti sumbu yang kuning alias singkong rebus dengan kopi kental yang manis, Kanute dan Renro kembali ke petualangan hutan bambu. Dari dataran tampak bukit Lewoleba yang lereng sampai puncaknya hitam karena terbakar. Memang sangat ironis. Tahun tujuh lima masyarakat Lembata membuat musyawarah yang menghasilkan keputusan untuk menindak tegas setiap orang yang menyebabkan terbakarnya hutan dan padang, tetapi kebakaran tetap terjadi terutama pada musim kemarau. Akhirnya Mubesrata yang artinya Musyawarah besar rakyat Lembata diplesetkan menjadi ‘mulut besar rakyat Lembata.’ Belakangan baru ketahuan penyebab kebakaran bukan rakyat tetapi oknum pegawai kehutanan untuk melindungi proyek reboisasi fiktif sehingga tiap tahun selalu ada pengajuan dana reboisasi. Renro dan Kanute membayangkan bila seluruh pulau Lembata selama berpuluh-puluh tahun terhindar dari kebakaran maka sumber air akan melimpah dan mengalirkan air yang menyuburkan dataran.


Tiba-tiba mereka dikejutkan oleh sekelompok ayam hutan yang kaget dan beterbangan. Hutan bambu yang sejuk memang menjadi areal ‘peternakan’ yang nyaman. Burung-burung dan ayam bebas mencari makan dan berkeliaran tidak terganggu. Sampai di kaki bukit yang terjal,  mereka meloncat dari batu ke batu dan akar-akar pohon yang besar. Di sana sini terdapat banyak ceceran kotoran rusa, sedangkan liang-liang di  bawah batu sangat bersih sepertinya selalu dilewati, tetapi oleh binatang apa? Kemungkinan ada babi hutan atau mungkin ular-ular besar. Binatang-binatang seperti ini sangat dihindari, jangankan berpapasan, melihat sajapun kalau boleh jangan karena sama-sama bahayanya.

Terjebak
Semakin ke lereng bukit, pohon-pohon semakin rendah lalu mereka sampai di padang tanpa rerumputan hanya sana-sini banyak tanaman perdu yang gosong. Pohon kelapa yang biasa mereka lihat dari jauh ada di depan mereka di tengah tanaman perdu yang tidak terbakar. Sekawanan rusa yang sedang santai di bawah pohon kelapa menghambur masuk hutan.  

Setelah puas melihat kesana kemari, Renro bergumam; “Indah sekali kita di tempat ini. Tetapi tampaknya kita lebih rendah dari permukaan air laut, padahal dari Lewoleba ke tempat ini kita selalu mendaki.”
“Iya ya, saya jadi heran mengapa begitu ya. Kalau saja air laut mengalir seluruh lembah Lete akan tergenang semua.” Kanute menambahkan.

Puncak bukit tinggi yang dilihat dari lembah, kini hanya beberapa ratus meter di atas mereka, bila berada di puncak sana mereka bisa melihat panorama di sebelah timur. Ada bebukitan tinggi kecamatan Lebatukan. Di seberang bukit ada kampung dan yang paling penting sungai besar yang disebut Wai Bur.

“Pulau begini indah, tetapi mengapa tiap tahun selalu terbakar?” Tanya Renro dengan suara perlahan. Kanute diam saja tiba-tiba dia memanjat kelapa. Kelapa itu tidak berbuah lebat mungkin ada orang lain sering mampir ke sini dan memetik buahnya. Kanute menjatuhkan dua buah yang mampu melepaskan dahaga mereka.

 “Pohon ini tidak tahu siapa yang tanam, tetapi yang pasti seseorang yang berjiwa sosial” Kanute akhirnya bersuara setelah minum kelapa muda.”Kalau ada buah yang tua saya mau tanam juga, biar orang tidak mengenal saya, yang penting menikmati hasil kerja saya. Nenek moyang kita dulu juga sepertinya mempunyai prinsip demikian sehingga pohon kelapa ada di mana-mana, meskipun di kebun orang.” Lanjut Kanute.
 “Benar, mereka begitu sosial, tetapi sekarang egoisme semakin kuat. Tanah sejengkal saja diperebutkan dengan tombak dan anak panah.” Renro menambahkan.

Mereka berdiri sejenak menikmati pemandangan lalu kembali ke lembah Lete. Mereka turun terburu-buru khawatir bertemu dengan makhluk licin panjang, apalagi lembah mulai tertutup bayang-bayang senja. Binatang-binatang dan unggas berlari pulang ke liang dan sarangnya, Renro dan Kanute juga tergesa-gesa menapak jalan setapak masuk ke hutan bambu.
“Renro, di atas sana sepertinya ada sumber air ketika saya melihat ke arah kali” Kanute berdiri dan berbalik menunggu Renro.
“Oh ya, bagus, berarti ada proyek untuk minggu depan. Sekarang saya merasa ngeri berada di sana. Ular-ular besar sepertinya sedang bersiap di pintu liangnya.” Renro tampak khawatir bila berpapasan dengan ular. Berpapasan dengan babi hutan dan rusa serta ular kecil itu sudah biasa, tetapi dengan ular besar belum pernah dan jangan pernah.

Mereka tiba di pondok ketika hari mulai gelap. Kanute langsung mengambil bambu dan pisau lalu pergi mengiris tuak yang hanya sepohon tidak jauh dari pondok. Renro menggoreng jagung bulat di tembikar, sementara itu sekeliling api juga dibakar singkong setelah dikupas. Harum jagung goreng dan singkong panggang segera tercium begitu api semakin besar. Maka begitu Kanute turun dari pohon lontar atau pohon tuak, mereka berdua segera berpesta di kegelapan hanya diterangi nyala api dari tungku. Makan singkong bakar dan jagung goreng sambil minum tuak, mereka mengobrol tentang macam-macam hal, tetapi terutama pengalaman mendaki ke lereng bukit.

Gelugala
Setelah habis tuak kira-kira tiga liter baru mereka berdua meninggalkan pondok  berjalan pulang ke kota. Masing-masing membawa dua batang bambu untuk membuat tiang bendera, maklumlah menjelang tujuh belas agustus. Tetapi baru ratusan meter dari pondok, Renro yang berjalan di belakang terantuk dan jatuh lalu meminta Kanute berhenti untuk menarik jari kakinya karena terkilir. Begitu menarik kaki Renro, Kanute pun terbawa berbaring, dan mereka berdua akhirnya tertidur di pinggir jalan. Rupanya mereka mabuk setelah ninum tuak yang dicampur raha, yaitu sejenis kuit kayu untuk menambah rasa pada tuak. Untung saja jalanan sudah sepi sehingga dua remaja yang tertidur mabuk di hutan itu tidak diketahi orang. Mereka tergeletak diatas rumput berduri di daerah yang sering dijumpai ular berbisa. Dalam keadaan mabuk itu Kanute berteriak bahwa ia terguling. Renro juga melihat bintang-bintang gergerak kencang kearahnya.

Menjelang tengah malam ketika hawa semakin dingin mereka bangun dan kembali ke pondok. Pakaian yang mereka kenakan, yaitu celana pendek dan baju kaou, basah terkena embun malam. Di pondok mereka menghidupkan api lalu tidur mengitari api  berselimutkan batang pepaya kering. Mereka tidur seperti itu karena tidak ada sarana yang lain seperti tikar, bantal atau selimut. Pakaian yang sudah lembab akibat berbaring di pinggir jalan tetap dipakai. Paginya mereka bangun sambil tertawa oleh pengalaman semalam.

Tujuhbelas Agustus peringatan hari kemerdekaan Indonesia. Kanute berangkat berbaris dengan teman-temannya menuju Kantor Pembantu Bupati Flores Timur. Renro juga berangkat dan bergabung dengan masyarakat di lapangan terbuka yang oleh masyarakat disebut stadion. Upacara di halaman kantor bupati terdengar ada tembakan bedil yang tentu saja tidak memakai pelor sungguhan. Di stadion lebih seru. Final sepak bola antara Wangatoa melawan Eropaun dan masing-masing membawa dukun untuk memenangkan kesebelasannya. Reporter tanpa pengeras suara berdiri di pinggir lapangan dan bercuap-cuap meniru reporter olahraga di RRI Kupang.

Setelah menonton sejenak, Kanute dan Renro sarapan jagung titi yang dicampur kacang tanah goreng. Sementara makan Kanute menanyakan kegiatan mereka hari itu.
“Bagaimana kalau kita ke Lete, ke sumber air yang dilihat waktu turun dari lereng bukit.”
“Saya setuju Renro. Rusa-rusa dan ayam hutan pasti minum ke sana karena hari ini suasana hutan pasti sangat sepi.” Jawab Kanute.
“Saya juga ingin tahu mengapa air itu tidak mengalir ke kali. Mungkinkah air itu tenggelam ataukah ada alasan lain.” Jawab Renro sambil menduga-duga tentang air itu.
“Benar, saya juga ingin tahu. Ayo kita segera  berangkat hari semakin terik.”
Tidak lama kemudian Renro dan Kanute berangkat ke arah Lete.

Seperti biasanya aroma dan kesejukan hutan bambu menyongsong begitu mereka meninggalkan padang. Mereka tidak mampir memeriksa jerat-jerat, karena sumber air yang baru lebih menarik untuk diselidiki. Sejak memasuki hutan bambu mereka hanya berbicara seadanya menghindari percakapan yang terlalu panjang takut mengganggu kesunyian yang ada. Dari lereng bukit angin mengalir membelai daun-daun kering yang berguguran. Kanute berjalan lebih cepat, karena rupanya Renro masih tertahan dengan sekelompok ayam hutan yang terbang ketika mereka lewat.
           
“Renro ada rusa terjebak dalam kubangan air.” Teriak Kanute memanggil Renro yang  baru mendaki dibalik semak.
“Rusa terjebak? Masih ada atau sudah lari?” Tanya Renro tergesa-gesa.
“Masih hidup, mungkin tergelincir waktu hendak minum.”
Kanute berusaha menyentuh rusa itu dengan ujung parang, tetapi rusa itu sudah terlalu lemah sehingga tidak berusaha menghindar ketika di sentuh Kanute.

Kanute berusaha mengikat rusa yang sedang sekarat itu dengan tali yang diambil dari tanaman menjalar yang tumbuh di pinggir kubangan. Air yang mereka kira ada sumbernya teryata hanya genangan air hujan yang tertampung dalam sebuah kolam alam yang cukup lebar dan dalam. Setiap orang yang lewat di sana bila hanya lewat di pinggir kali tidak akan tahu ada air di tengah batu. Empat atau bahkan lebih rusa bisa masuk dalam kubangan itu, tetapi sulit untuk keluar karena dinding kubangan itu terjal. Kubangan itu terbentuk dari batu padas yang cukup dalam. Airnya berwarna kehijau-hijauan akibat lumut dan juga karena tidak mengalir.

Mereka menarik rusa itu ke pinggir lalu Kanute menyembelihnya dan mengeluarkan isi perutnya. Renro memotong daun gebang lalu berdua mengikat bangkai rusa itu tanpa dipotong. Pekerjaan itu memakan waktu cukup lama, sehingga ketika mereka meninggalkan kubangan itu, ayam-ayam jantan kedengaran bersahut-sahutan memanggil kelompoknya.

Meskipun mereka berjalan cukup cepat, tetapi beratnya rusa memaksa mereka harus beristirahat beberapa kali. Di tempat yang biasa mereka bakar burung puyuh, Renro bertanya kepada Kanute nama tempat mereka mendapat rusa itu.
“Nama yang tepat, e-em ‘Donak Tagal’. Jawab Kanute.
“Bukankah itu nama jalan di Lewoleba?”
“Benar, nama itu lucu sekaligus menyeramkan. Tempat tadi juga menyeramkan. Tebingnya curam dan dalam sehingga sekali tergelincir pasti masuk kubangan dan tidak bisa keluar lagi. Donak tagal, saya bayangkan kira-kira menggambarkan hal seperti itu.” Kanute menjelaskan alasannya.
“Saya setuju dengan nama itu.”  kata Renro sambil menjabat tangan Kanute.

Senja sudah menghilang dan malam mulai menjemput, tetapi sayup-sayup terdengar lagu ‘hitam manis’ dari hutan bambu, beberapa kilometer di luar kota Lewoleba. Renro dan Kanute merayakan kegembiraan atas nama ‘Donak Tagal’ dan bangkai rusa yang belum di potong. 
***

1 komentar:

  1. Lembah Lete sangat sejuk, indah dan menyenangkan terutama rusa, ayam hutan, babi dan margasatwa yang lain.

    BalasHapus