Oleh: Em Khebe
Bukit-bukit
di sekitar lembah Lerek gersang, pohon-pohon meranggas dan di setiap bukit
tampak carang-carang hampir tak berdaun. Tetapi setiap lekuk bukit dan lembah
tetap memamerkan pemandangan yang berbeda, daun-daun hijau muda dari
tunas-tunas baru yang memberi panorama yang kontras. Ile Mauraja - gunung batu, agak pongah memamerkan
tebing kemerah-merahan di antara pohon palawan. Di baliknya berdiri dua
gunung berapi, yaitu Adowajo dan Petrus Geripe. Letusan-letusan kedua gunung
berapi itu membawa kesuburan bagi daerah sekitar. Beberapa mil ke laut ada
gunung berapi lagi yang timbul dan meletus tahun sembilan belas tujuh empat,
yaitu gunung Hobal. Gunung ini sering
timbul tenggelam diterpa gelombang laut Atadei.
Kanute
dan Renro bersiul-siul kecil melintasi bukit Woloi turun ke kampung Baulolong
melewati kebun-kebun kelapa. Renro ingin singgah di kampung kecil itu sambil
memutar adegan-adegan lucu dan ceria semasa kecil, karena itulah kampung kakek
dan nenekya. Kebun kelapa beberapa bidang yang menghiasi bukit Watlolo, Peuemu,
Waikemeru, Obak dan beberapa tempat lagi semuanya meninggalkan kenangan dalam
ingatan Renro bersama kakeknya. Sayang kisah bersama kakek tinggal kenangan,
karena kakek dijemput sang maut setahun silam dalam usia di atas seratus tahun.
Di
sisi bukit yang lain, kampung Tobilolong bersembunyi di balik lambaian daun
nyiur. Hampir setiap sore desa itu tertutup kabut yang tebal. Tobilolong dan
Baulolong menamakan desa mereka Kowa Ape, sebuah nama seram yang arti harafiahnya
‘awan berapi.’ Bila turun hujan
lebat di musim kemarau atau ada kebakaran rumah, masyarakat langsung
menghubungkannya dengan hutan larangan di atas bukit yang disebut “Ure klarak,”
karena diyakini bencana itu disebabkan oleh pelanggaran atas aturan tertentu
yang membuat gusar makhluk halus penghuni hutan larangan.
Kakek
- nenek Kanute berasal dari desa Tobilolong dan Renro pernah diajak ke rumah
mereka yang terletak di lereng bukit di bawah pohon kemiri. Pohon itu masih ada tetapi rumah dan orang-orangnya
sudah tidak ada. Semuanya sudah menjadi masa lalu dengan jejak-jejak
peradabannya yang semakin kusam.
Desa Lamanunang dilihat dari Il Lepeng |
Setelah melewati desa Baulolong dan
Tobilolong yang penuh kenangan, mereka mampir di Waiwuwur, sebuah sumber air di
lereng bukit tersembunyi dibalik pohon-pohon kelapa, enau dan pinang. Bunyi gemuruh air yang terhempas ke
bebatuan sudah kedengaran sampai beberapa ratus meter. Pohon pandan dan nenas ikut menyemarakan keramaian
sorak-sorai air. Setelah minum langsung dari pancuran, mereka melanjutkan
perjalanan, sambil mendendangkan lagu dolo “Dendang dilau le nona“.
Mereka memilih jalan yang memutar Il
lepeng sebuah bukit yang lebih tinggi
sehigga oleh penduduk disebut sebagai gunung. Ketika berada di puncak, mereka
leluasa memandang ke berbagai arah. Kampung Atawolo dan Brenai sangat jelas
meskipun berada tiga baris bukit dari Il Lepeng. Gunung Labalekan senantiasa memamerkan
puncaknya sebagai gunung tertinggi di Lembata. Di laut Sawu perahu-perahu
nelayan Lamalera tampak seperti perahu mainan dari kertas yang dilepaskan oleh
anak-anak.
Turun ke kampung Lamaniu tidak ada
keramaian. Tinggal beberapa rumah yang berpenghuni, itu tampak dari halaman
yang bersih dan ada yang mengepulkan asap dapurnya. Selebihnya kosong dan rusak,
ditinggalkan pemiliknya mengungsi ke tempat yang lebih aman. Renro pernah
menginap beberapa hari di kampung ini ketika masih di kelas dua sekolah dasar.
Pada suatu pagi kakaknya Kae, menangkap
seekor burung yang oleh penduduk dinamakan ‘Kukak Wokong.’ Tetapi kemudian burung
itu dibiarkan terbang karena dianggap
sebagai burung suanggi, yaitu burung yang biasa terbang pada malam hari untuk menjalankan
perintah ’tuannya’ yang memiliki ilmu hitam. Itu menurut cerita beberapa ibu
yang datang berkerumun untuk melihat burung Wokong itu.
Kanute dan Renro meneruskan perjalanan ke
desa berikutnya, yaitu Lamanunang. Memasuki Lamanunang sudah jam satu siang. Di
dekat pintu masuk desa tampak Bertin sedang duduk di teras rumahnya. Gadis
remaja itu sekolah di Lewoleba mungkin saat itu sedang berlibur. Renro dan
Kanute kenal baik dengannya. Jalan masuk desa itu sungguh sempit, hanya setapak,
sedangkan di kiri dan kanan jalan sempit itu terbentang jurang yang sangat
terjal. Kanute berkelakar; ”Bila kita mau meludah dari sini, orang-orang yang
berada di ladang puluhan meter di bawah sana pasti kecipratan.” Di tengah desa,
mereka disambut oleh ama Olak yang kemudian menghantar Kanute dan Renro melihat
benda peninggalan yang konon sudah ada sejak zaman Portugis. Setelah disuguhi
makan siang, Kanute dan Renro melanjutkan perjalanan ke Dulir melewati sumber
air yang terletak di lereng bukit. Lalu menyusuri kali Wairajan yang pada musim
pengujan mengalir sampai ke pantai.
Dulir, sebuah kampung di pantai tidak jauh
dari gunung api Petrus Gripe dan Adowajo. Siang itu beberapa muda-mudi sedang
berkumpul di bawah pohon reo yang rimbun, entah istirahat siang atau sekedar
bersenang-senang bersama. Ada Boli, Lamber, Ana, Moni, Glekot dan dua gadis
remaja lainnya yang belum dikenal.
“Op maki, selamat siang, selamat datang di
kota Dulir.” Sambutan dan canda Boli yang langsung disambut gelak-tawa oleh
yang lain.
“Selamat siang juga. Kami berdua diutus
oleh raja Woloi di pedalaman untuk memeriksa keadaan pesisir. Para hulubalang
apakah situasi Waibura, Dulir, Knota, Kahatawa dan sekitarnya dalam keadaan aman?”,
balas Kanute.
“Semuanya aman dan tentram karena pengacau
laut adalah kami sendiri.” Balas Lamber disambut oleh gelak tawa yang
lain.
“Bajak laut untuk menabur ikan tembang dan
merampok ikan paus.” Sambung Ana disambut canda dan celoteh yang lain
membuat Boli sampai memegang perutnya karena terasa sesak dan sakit.
Setelah
semua redah tertawa Lamber mengajak Boli untuk pergi, sementara Renro dan Kanute diminta menunggu bersama yang
lain. Renro tidak mengerti mengapa mereka pergi, tetapi dari alat-alat yang
dibawa pastilah mereka ke laut. Masing-masing membawa bedil tradisional untuk
menembak ikan serta kaca penyelam buatan sendiri.
Bedil
tradisional itu terbuat dari kayu yang mirip senapan berlaras panjang. Sebagai
pelor adalah sepotong kawat telepon sepanjang hampir satu meter yang runcing
ujungnya. Di ujung senapan diikat sepotong karet dari ban dalam sepeda. Karet
itu bila ditarik dan disangkutkan pada kawat telepon, akan menarik dan
mendorong kawat ke sasaran. Daya jangkaunya bisa sepuluh-an meter. Jadi ikan-ikan
yang ditembak hanya berjarak dua arau tiga meter pastilah tidak terlalu sulit.
Tidak
sampai dua puluh menit Lamber dan Boli sudah kembali membawa sekitar sepuluh
ekor.ikan segar. Rupanya laut Atadei sangat kaya akan ikan.
“Gampang sekali menangkap ikan, tadi kamu
pergi mengejar atau mereka datang sendiri?” Tanya Renro.
“O.. begini kawan...pohon ikan sudah
berbuah jadi kami tinggal memetik jenis ikan yang kami suka. Moni dan Ana
masaklah, kita santap bersama sebelum acara yang lain.” Kata Boli, sementara
Glekot membersihkan dan memotong ikan itu.
Sambil menunggu ikan dimasak Renro dan
Kanute menceritakan tujuannya ke Atadei
melihat batu yang ajaib itu. Nama dan kisahnya sering mereka dengar, tetapi
belum pernah mengunjungi tempat itu. Goris menasihati agar berhati-hati ke
sana, karena air laut di Atadei tiba-tiba bisa pasang tanpa mereka sadari atau
kadang ombaknya datang dari darat.
“Mungkin di sana kamu temukan hal-hal
baru, tetapi tenang saja tidak perlu diributkan. Ada kejadian-kejadian yang
muncul begitu saja dan tidak dapat dijelaskan dengan akal sehat, tetapi
begitulah. Misalnya kita sedang duduk jauh dari air laut tapi tiba-tiba ada
ombak yang datangnya dari darat” Cerita Goris yang membuat Renro dan Kanute
terheran-heran. Diam-diam Renro mengharapkan peristiwa itu terjadi ketika
mereka di sana.
Setelah menikmati ikan rebus yang sangat
enak, Renro dan Kanute ditemani oleh Moni dan Ana berangkat ke tempat keramat,
Atadei. Kedua gadis remaja itu berjalan sangat lincah, melompat dari batu ke
batu. Dari jauh kelihatan pantai Waibura di kaki gunung berapi. Di sana tidak
ada ombak, tetapi suara air laut menggemuruh mirip guntur, mungkin gelombang
air laut berdesakan dalam gua gunung. Tempat yang mereka lewati merupakan
patahan barisan bukit dari Il Lepeng yang terdiri dari beberapa bukit. Jelas
saja pantai yang terbentuk dari patahan itu langsung curam dan dalam. Betapa
derasnya arus air laut yang bergejolak di dalam
sana.
Di depan mereka air laut membentuk lekukan
semacam teluk kecil. Di atasnya terdiri dari tebing padas berwarna putih dan
kelabu yang saat itu terkena sinar matahari sore menjadi sangat indah. Burung-burung walet terbang kian kemari pastilah
menempati salah satu gua di sekitar patahan
bukit yang terjal itu. Tiba-tiba Moni dan Ana memekik histeris, Renro dan
Kanute kaget terpaku di tempat. Air laut di teluk sesaat yang lalu tenang dan
cukup jauh dari tempat mereka, tiba-tiba bergejolak hampir menyeret Ana yang
sedang lewat bersama Moni di sana. Renro dan Kanute yang masih menyelidiki
tebing jadi pucat dan bergumam, ‘kok bisa ya.’ Ini yang mungkin disebut
peristiwa aneh yang diceritakan Goris.
“Tunggu
air laut menjadi tenang baru lewat.” Teriak Moni dari seberang di antara deru ombak, dan diiyakan oleh Kanute
dan Renro hampir bersamaan.
“Tadi kalau kamu berdua sendiri pasti terseret
ombak, maka jangan coba-coba ke Atadei kalau sendirian,” nasihat Moni begitu
Renro dan Kanute sampai di tempat mereka.
“Aneh.
Air laut tiba-tiba mengamuk lalu kembali tenang dan teduh ke tempatnya semula.”
Kanute dan Renro masih
terheran-heran.
Melewati gua kalong atau kelelawar,
kelihatan puluhan atau ratusan kalong bergantungan di mulut gua. Di dalamnya
mungkin ada ribuan yang terhalang oleh kegelapan gua itu.
“Nah di sini Atadei, sementara berdua di
sini kami terus ke tempat perahu, nanti kamu menyusul ke sana.” Kata Moni
sambil menunjuk ke depan lalu menggandeng Ana.
Renro dan Kanute tidak memperhatikan lagi
kata-kata Moni karena mereka asik
mengamati sebuah batu yang tegak sendirian mirip manusia. Batu itu
sebesar badan orang dewasa, tingginya hampir dua meter dan berdiri terpisah
jauh dari tebing bukit. Jarak batu dengan air laut sekitar duapuluhan meter.
Dari air laut ke batu itu terjal sehingga tidak tersentuh air laut biarpun
sedang pasang naik. Renro sibuk mengamati bagian tengahnya yang diperkirakan
pusatnya. Cerita pak Heru dulu di kelas tiga sekolah dasar, kalau pusatnya
basah, menandakan bahwa musim hujan hampir tiba. Benar saja bagian tengahnya
basah, dari mana asal air itu? Resapan air laut tidak mungkin, jaraknya terlalu
jauh. Air datang dari tebing juga tidak mungkin. Atadei terpisah jauh dari
tebing, apalagi keadaan sekitarnya sangat gersang di pertengahan bulan Oktober.
Renro kelihatan berpikir. “Kanute tolong
panjat ke atas batu, mungkin ada retakan”.
Kanute yang diminta segera memanjat ke atas batu itu.
“Tidak ada retakan sama sekali.” Kata
Kanute setelah memeriksa seluruh bagian atas dari batu itu.
“Aneh tapi nyata.” Hanya kata itu yang mampu
diucapkan Renro karena tidak ada tanda-tanda yang mendukung timbulnya air pada
pusat batu Atadei.
Setelah puas terheran-heran melihat ”keanehan”
Atadei, mereka menyusul Moni dan Ana ke tampat yang dinamakan ”Wat tena” atau
”batu perahu.” Di tempat itu tampaknya tidak ada hal istimewa. Sebuah batu agak
besar dan panjang terletak di sebuah teluk beberapa ratus meter dari Atadei.
Seandainya batu itu tidak dihubungkan dengan Atadei maknanya tidak ada sama
sekali, tapi arah tatapan Atadei ke batu itu membuatnya menjadi bermakna.
”Menurut legenda, sebelum turun dari
perahu ketua berpesan agar setelah turun mereka berjalan terus ke gunung tanpa
menengok ke arah perahu. Tetapi ketika pelarian itu mendekati gua, seorang yang
berjalan paling belakang berdiri dan melihat ke perahu. Pada saat itu juga dia
berubah menjadi batu dan juga seluruh perahu.” Cerita Moni.
“Oh begitu, pantas saja Atadei itu arah pandangannya
ke perahu ini.” Sambung Kanute.
“Aneh tapi nyata.” Renro mengucapkan
kalimat itu lagi membuat Moni dan Ana saling melirik penuh rahasia.
Teluk lokasi berlabuhnya perahu yang telah
berbentuk batu itu memang relatif lebih aman dari pada di tanjung sana. Hal itu
menjadi pertanda bahwa mereka memang harus berlabuh di tempat yang aman. Burung-burung
walet terbang kian kemari meliuk-liuk rendah di atas ”Wat Tena” tidak
terpengaruh oleh legenda besar di atasnya. Renro merinding, ada hawa
lembut mengalir di lokasi yang angker
itu. Siapa pengarang cerita seram itu yang jauh terpencil dari kehidupan
manusia?
Kejadian
itu pasti nyata ada, tetapi terjadi pada abad yang tidak mereka ketahui. Hanya
tanda-tanda yang mendukung peristiwa itu tidak termakan zaman, juga oleh usikan
bencana alam yang sering melanda daerah itu. Batu Atadei dan batu perahu itu
bentuknya sudah sangat berubah. Terpaan bencana beberapa kali entah tsunami dan
letusan gunung berapi tentu telah menjadi penyebab perubahan wujud benda-benda itu. Hanya ‘pusat’ batu yang
basah dan arah pandangannya tidak mampu dirubah oleh zaman.
Ikan segar |
Sinar
matahari makin redup angin sepoi-sepoi mengusik lembut dedaunan kering
membisikan lembar-lembar misteri sekitar tanjung Atadei, sementara panorama
barat di atas laut Sawu yang biru dan teduh mengukir garis kuning keperakan.
Moni, Ana, Renro dan Kanute kembali menyusuri tepian Atadei dalam diam,
berpikir tentang nenek moyang dimasa lalu yang berlabuh dan mengukir sejarah di
tanah ini. Seekor ikan paus menyemburkan air ke udara tidak jauh dari pantai
sambil berenang ke tengah seakan mengucapkan selamat berpisah.
Keempat remaja itu melompat pulang dari
batu ke batu takut kemalaman sebelum mencapai pantai Dulir. Sampai di simpang
desa, Moni dan Ana kembali ke Dulir, sementara Renro dan Kanute berjalan
terhuyung-huyung meneruskan perjalananan sambil mengawasi batu-batu di atas
pasir pantai Waibura karena suasana semakin gelap. Tetapi kegelapan malam di
Waibura tidak segelap kenangan Atadei dalam hati dan pikiran mereka.
Atadei... kisah nenekmoyang yang terpatri dalam rupa batu.
BalasHapusrinduku selalu untukmu ATADEIKU
BalasHapusbuka di youtube, lagu yang dibuat oleh Putra Atadei ketik membangun lembata dengan hati
BalasHapus