Senin, 08 Oktober 2012

Atadei




Oleh: Em Khebe

Bukit-bukit di sekitar lembah Lerek gersang, pohon-pohon meranggas dan di setiap bukit tampak carang-carang hampir tak berdaun. Tetapi setiap lekuk bukit dan lembah tetap memamerkan pemandangan yang berbeda, daun-daun hijau muda dari tunas-tunas baru yang memberi panorama yang kontras. Ile Mauraja - gunung batu, agak pongah memamerkan tebing kemerah-merahan di antara pohon palawan. Di baliknya berdiri dua gunung berapi, yaitu Adowajo dan Petrus Geripe. Letusan-letusan kedua gunung berapi itu membawa kesuburan bagi daerah sekitar. Beberapa mil ke laut ada gunung berapi lagi yang timbul dan meletus tahun sembilan belas tujuh empat, yaitu  gunung Hobal. Gunung ini sering timbul tenggelam diterpa gelombang laut Atadei.

Kanute dan Renro bersiul-siul kecil melintasi bukit Woloi turun ke kampung Baulolong melewati kebun-kebun kelapa. Renro ingin singgah di kampung kecil itu sambil memutar adegan-adegan lucu dan ceria semasa kecil, karena itulah kampung kakek dan nenekya. Kebun kelapa beberapa bidang yang menghiasi bukit Watlolo, Peuemu, Waikemeru, Obak dan beberapa tempat lagi semuanya meninggalkan kenangan dalam ingatan Renro bersama kakeknya. Sayang kisah bersama kakek tinggal kenangan, karena kakek dijemput sang maut setahun silam dalam usia di atas seratus tahun.

Di sisi bukit yang lain, kampung Tobilolong bersembunyi di balik lambaian daun nyiur. Hampir setiap sore desa itu tertutup kabut yang tebal. Tobilolong dan Baulolong menamakan desa mereka Kowa Ape, sebuah nama seram yang arti harafiahnya ‘awan berapi.’ Bila turun hujan lebat di musim kemarau atau ada kebakaran rumah, masyarakat langsung menghubungkannya dengan hutan larangan di atas bukit yang disebut “Ure klarak,” karena diyakini bencana itu disebabkan oleh pelanggaran atas aturan tertentu yang membuat gusar makhluk halus penghuni hutan larangan.

Kakek - nenek Kanute berasal dari desa Tobilolong dan Renro pernah diajak ke rumah mereka yang terletak di lereng bukit di bawah pohon kemiri. Pohon itu masih ada tetapi rumah dan orang-orangnya sudah tidak ada. Semuanya sudah menjadi masa lalu dengan jejak-jejak peradabannya yang semakin kusam.

Desa Lamanunang dilihat dari Il Lepeng
Setelah melewati desa Baulolong dan Tobilolong yang penuh kenangan, mereka mampir di Waiwuwur, sebuah sumber air di lereng bukit tersembunyi dibalik pohon-pohon kelapa, enau dan pinang.  Bunyi gemuruh air yang terhempas ke bebatuan sudah kedengaran sampai beberapa ratus meter. Pohon pandan dan nenas ikut menyemarakan keramaian sorak-sorai air. Setelah minum langsung dari pancuran, mereka melanjutkan perjalanan, sambil mendendangkan lagu dolo “Dendang dilau le nona“.
 
Mereka memilih jalan yang memutar Il lepeng sebuah bukit yang lebih  tinggi sehigga oleh penduduk disebut sebagai gunung. Ketika berada di puncak, mereka leluasa memandang ke berbagai arah. Kampung Atawolo dan Brenai sangat jelas meskipun berada tiga baris bukit dari Il Lepeng. Gunung Labalekan senantiasa memamerkan puncaknya sebagai gunung tertinggi di Lembata. Di laut Sawu perahu-perahu nelayan Lamalera tampak seperti perahu mainan dari kertas yang dilepaskan oleh anak-anak.

Turun ke kampung Lamaniu tidak ada keramaian. Tinggal beberapa rumah yang berpenghuni, itu tampak dari halaman yang bersih dan ada yang mengepulkan asap dapurnya. Selebihnya kosong dan rusak, ditinggalkan pemiliknya mengungsi ke tempat yang lebih aman. Renro pernah menginap beberapa hari di kampung ini ketika masih di kelas dua sekolah dasar.

Pada suatu pagi kakaknya Kae, menangkap seekor burung yang oleh penduduk dinamakan ‘Kukak Wokong.’ Tetapi kemudian burung itu dibiarkan terbang   karena dianggap sebagai burung suanggi, yaitu burung yang biasa terbang pada malam hari untuk menjalankan perintah ’tuannya’ yang memiliki ilmu hitam. Itu menurut cerita beberapa ibu yang datang berkerumun untuk melihat burung Wokong itu.

Kanute dan Renro meneruskan perjalanan ke desa berikutnya, yaitu Lamanunang. Memasuki Lamanunang sudah jam satu siang. Di dekat pintu masuk desa tampak Bertin sedang duduk di teras rumahnya. Gadis remaja itu sekolah di Lewoleba mungkin saat itu sedang berlibur. Renro dan Kanute kenal baik dengannya. Jalan masuk desa itu sungguh sempit, hanya setapak, sedangkan di kiri dan kanan jalan sempit itu terbentang jurang yang sangat terjal. Kanute berkelakar; ”Bila kita mau meludah dari sini, orang-orang yang berada di ladang puluhan meter di bawah sana pasti kecipratan.” Di tengah desa, mereka disambut oleh ama Olak yang kemudian menghantar Kanute dan Renro melihat benda peninggalan yang konon sudah ada sejak zaman Portugis. Setelah disuguhi makan siang, Kanute dan Renro melanjutkan perjalanan ke Dulir melewati sumber air yang terletak di lereng bukit. Lalu menyusuri kali Wairajan yang pada musim pengujan mengalir sampai ke pantai.

Dulir, sebuah kampung di pantai tidak jauh dari gunung api Petrus Gripe dan Adowajo. Siang itu beberapa muda-mudi sedang berkumpul di bawah pohon reo yang rimbun, entah istirahat siang atau sekedar bersenang-senang bersama. Ada Boli, Lamber, Ana, Moni, Glekot dan dua gadis remaja lainnya yang belum dikenal.

“Op maki, selamat siang, selamat datang di kota Dulir.” Sambutan dan canda Boli yang langsung disambut gelak-tawa oleh yang lain.
“Selamat siang juga. Kami berdua diutus oleh raja Woloi di pedalaman untuk memeriksa keadaan pesisir. Para hulubalang apakah situasi Waibura, Dulir, Knota, Kahatawa dan sekitarnya dalam keadaan aman?”, balas Kanute.
“Semuanya aman dan tentram karena pengacau laut adalah kami sendiri.” Balas Lamber disambut oleh gelak tawa yang lain.
“Bajak laut untuk menabur ikan tembang dan merampok ikan paus.” Sambung Ana disambut canda dan celoteh yang lain membuat Boli sampai memegang perutnya karena terasa sesak dan sakit.

Setelah semua redah tertawa Lamber mengajak Boli untuk pergi, sementara Renro dan Kanute diminta menunggu bersama yang lain. Renro tidak mengerti mengapa mereka pergi, tetapi dari alat-alat yang dibawa pastilah mereka ke laut. Masing-masing membawa bedil tradisional untuk menembak ikan serta kaca penyelam buatan sendiri.

Bedil tradisional itu terbuat dari kayu yang mirip senapan berlaras panjang. Sebagai pelor adalah sepotong kawat telepon sepanjang hampir satu meter yang runcing ujungnya. Di ujung senapan diikat sepotong karet dari ban dalam sepeda. Karet itu bila ditarik dan disangkutkan pada kawat telepon, akan menarik dan mendorong kawat ke sasaran. Daya jangkaunya bisa sepuluh-an meter. Jadi ikan-ikan yang ditembak hanya berjarak dua arau tiga meter pastilah tidak terlalu sulit.

Tidak sampai dua puluh menit Lamber dan Boli sudah kembali membawa sekitar sepuluh ekor.ikan segar. Rupanya laut Atadei sangat kaya akan ikan.
“Gampang sekali menangkap ikan, tadi kamu pergi mengejar atau mereka datang sendiri?” Tanya Renro.
“O.. begini kawan...pohon ikan sudah berbuah jadi kami tinggal memetik jenis ikan yang kami suka. Moni dan Ana masaklah, kita santap bersama sebelum acara yang lain.” Kata Boli, sementara Glekot membersihkan dan memotong ikan itu.

Sambil menunggu ikan dimasak Renro dan Kanute menceritakan tujuannya  ke Atadei melihat batu yang ajaib itu. Nama dan kisahnya sering mereka dengar, tetapi belum pernah mengunjungi tempat itu. Goris menasihati agar berhati-hati ke sana, karena air laut di Atadei tiba-tiba bisa pasang tanpa mereka sadari atau kadang ombaknya datang dari darat.
“Mungkin di sana kamu temukan hal-hal baru, tetapi tenang saja tidak perlu diributkan. Ada kejadian-kejadian yang muncul begitu saja dan tidak dapat dijelaskan dengan akal sehat, tetapi begitulah. Misalnya kita sedang duduk jauh dari air laut tapi tiba-tiba ada ombak yang datangnya dari darat” Cerita Goris yang membuat Renro dan Kanute terheran-heran. Diam-diam Renro mengharapkan peristiwa itu terjadi ketika mereka di sana.

Setelah menikmati ikan rebus yang sangat enak, Renro dan Kanute ditemani oleh Moni dan Ana berangkat ke tempat keramat, Atadei. Kedua gadis remaja itu berjalan sangat lincah, melompat dari batu ke batu. Dari jauh kelihatan pantai Waibura di kaki gunung berapi. Di sana tidak ada ombak, tetapi suara air laut menggemuruh mirip guntur, mungkin gelombang air laut berdesakan dalam gua gunung. Tempat yang mereka lewati merupakan patahan barisan bukit dari Il Lepeng yang terdiri dari beberapa bukit. Jelas saja pantai yang terbentuk dari patahan itu langsung curam dan dalam. Betapa derasnya arus air laut yang bergejolak di dalam  sana.

Di depan mereka air laut membentuk lekukan semacam teluk kecil. Di atasnya terdiri dari tebing padas berwarna putih dan kelabu yang saat itu terkena sinar matahari sore menjadi sangat indah.  Burung-burung walet terbang kian kemari pastilah  menempati salah satu gua di sekitar patahan bukit yang terjal itu. Tiba-tiba Moni dan Ana memekik histeris, Renro dan Kanute kaget terpaku di tempat. Air laut di teluk sesaat yang lalu tenang dan cukup jauh dari tempat mereka, tiba-tiba bergejolak hampir menyeret Ana yang sedang lewat bersama Moni di sana. Renro dan Kanute yang masih menyelidiki tebing jadi pucat dan bergumam, ‘kok bisa ya.’ Ini yang mungkin disebut peristiwa aneh yang diceritakan Goris.

“Tunggu air laut menjadi tenang baru lewat.” Teriak Moni dari seberang di antara deru ombak, dan diiyakan oleh Kanute dan Renro hampir bersamaan.
 “Tadi kalau kamu berdua sendiri pasti terseret ombak, maka jangan coba-coba ke Atadei kalau sendirian,” nasihat Moni begitu Renro dan Kanute sampai di tempat mereka.
“Aneh. Air laut tiba-tiba mengamuk lalu kembali tenang dan teduh ke tempatnya semula.” Kanute dan Renro masih terheran-heran.

Melewati gua kalong atau kelelawar, kelihatan puluhan atau ratusan kalong bergantungan di mulut gua. Di dalamnya mungkin ada ribuan yang terhalang oleh kegelapan gua itu.
“Nah di sini Atadei, sementara berdua di sini kami terus ke tempat perahu, nanti kamu menyusul ke sana.” Kata Moni sambil menunjuk ke depan lalu menggandeng Ana.

Renro dan Kanute tidak memperhatikan lagi kata-kata Moni karena mereka asik  mengamati sebuah batu yang tegak sendirian mirip manusia. Batu itu sebesar badan orang dewasa, tingginya hampir dua meter dan berdiri terpisah jauh dari tebing bukit. Jarak batu dengan air laut sekitar duapuluhan meter. Dari air laut ke batu itu terjal sehingga tidak tersentuh air laut biarpun sedang pasang naik. Renro sibuk mengamati bagian tengahnya yang diperkirakan pusatnya. Cerita pak Heru dulu di kelas tiga sekolah dasar, kalau pusatnya basah, menandakan bahwa musim hujan hampir tiba. Benar saja bagian tengahnya basah, dari mana asal air itu? Resapan air laut tidak mungkin, jaraknya terlalu jauh. Air datang dari tebing juga tidak mungkin. Atadei terpisah jauh dari tebing, apalagi keadaan sekitarnya sangat gersang di pertengahan bulan Oktober.

Renro kelihatan berpikir. “Kanute tolong panjat ke atas batu, mungkin ada retakan”.  Kanute yang diminta segera memanjat ke atas batu itu.
“Tidak ada retakan sama sekali.” Kata Kanute setelah memeriksa seluruh bagian atas dari  batu itu.
“Aneh tapi nyata.” Hanya kata itu yang mampu diucapkan Renro karena tidak ada tanda-tanda yang mendukung timbulnya air pada pusat batu Atadei.

Setelah puas terheran-heran melihat ”keanehan” Atadei, mereka menyusul Moni dan Ana ke tampat yang dinamakan ”Wat tena” atau ”batu perahu.” Di tempat itu tampaknya tidak ada hal istimewa. Sebuah batu agak besar dan panjang terletak di sebuah teluk beberapa ratus meter dari Atadei. Seandainya batu itu tidak dihubungkan dengan Atadei maknanya tidak ada sama sekali, tapi arah tatapan Atadei ke batu itu membuatnya menjadi bermakna.

”Menurut legenda, sebelum turun dari perahu ketua berpesan agar setelah turun mereka berjalan terus ke gunung tanpa menengok ke arah perahu. Tetapi ketika pelarian itu mendekati gua, seorang yang berjalan paling belakang berdiri dan melihat ke perahu. Pada saat itu juga dia berubah menjadi batu dan juga seluruh perahu.” Cerita Moni.
“Oh begitu, pantas saja Atadei itu arah pandangannya ke perahu ini.” Sambung Kanute.
“Aneh tapi nyata.” Renro mengucapkan kalimat itu lagi membuat Moni dan Ana saling melirik penuh rahasia.

Teluk lokasi berlabuhnya perahu yang telah berbentuk batu itu memang relatif lebih aman dari pada di tanjung sana. Hal itu menjadi pertanda bahwa mereka memang harus berlabuh di tempat yang aman. Burung-burung walet terbang kian kemari meliuk-liuk rendah di atas ”Wat Tena” tidak terpengaruh oleh legenda besar di atasnya. Renro merinding, ada hawa lembut mengalir  di lokasi yang angker itu. Siapa pengarang cerita seram itu yang jauh terpencil dari kehidupan manusia? 

Kejadian itu pasti nyata ada, tetapi terjadi pada abad yang tidak mereka ketahui. Hanya tanda-tanda yang mendukung peristiwa itu tidak termakan zaman, juga oleh usikan bencana alam yang sering melanda daerah itu. Batu Atadei dan batu perahu itu bentuknya sudah sangat berubah. Terpaan bencana beberapa kali entah tsunami dan letusan gunung berapi tentu telah menjadi penyebab perubahan wujud  benda-benda itu. Hanya ‘pusat’ batu yang basah dan arah pandangannya tidak mampu dirubah oleh zaman.
 
Ikan segar
Sinar matahari makin redup angin sepoi-sepoi mengusik lembut dedaunan kering membisikan lembar-lembar misteri sekitar tanjung Atadei, sementara panorama barat di atas laut Sawu yang biru dan teduh mengukir garis kuning keperakan. Moni, Ana, Renro dan Kanute kembali menyusuri tepian Atadei dalam diam, berpikir tentang nenek moyang dimasa lalu yang berlabuh dan mengukir sejarah di tanah ini. Seekor ikan paus menyemburkan air ke udara tidak jauh dari pantai sambil berenang ke tengah seakan mengucapkan selamat berpisah.

Keempat remaja itu melompat pulang dari batu ke batu takut kemalaman sebelum mencapai pantai Dulir. Sampai di simpang desa, Moni dan Ana kembali ke Dulir, sementara Renro dan Kanute berjalan terhuyung-huyung meneruskan perjalananan sambil mengawasi batu-batu di atas pasir pantai Waibura karena suasana semakin gelap. Tetapi kegelapan malam di Waibura tidak segelap kenangan Atadei dalam hati dan pikiran mereka.

3 komentar:

  1. Atadei... kisah nenekmoyang yang terpatri dalam rupa batu.

    BalasHapus
  2. rinduku selalu untukmu ATADEIKU

    BalasHapus
  3. buka di youtube, lagu yang dibuat oleh Putra Atadei ketik membangun lembata dengan hati

    BalasHapus