Oleh: Em Khebe
Pelabuhan |
Ada karung-karung berisi buah asam yang sudah
dibuang bijinya lalu dipadatkan hingga mencapai berat seratus kilogram
sekarung. Ada juga teripang kering yang menjijikkan. Kalau di pantai Lewoleba,
teripang-teripang dibiarkan tergeletak di atas pasir sedangkan di sini
dikeringkan dan diisi dalam karung. Entah untuk apa dengan makhluk kering itu.
Di sebelah barat berderet bukit-bukit coklat bekas
terbakar di musim kemarau yang lalu, dan lebih ke barat lagi mungkin di sana
ada gugusan kepulauan; Sumbawa, Lombok, Bali dan pulau Jawa. Di sana ada kota
Jakarta, tujuan Kanute pada bulan Oktober tahun lalu. Sedikit ke utara sangat samar-samar
terlihat pulau Palue yang dari Maumere hanya berupa satu gunung yang legam.
Jam satu siang atau pukul tigabelas, semua
penumpang dipersilahkan naik ke perahu motor Gajah Mada. Tulisan nama itu tadi
tersembunyi sehingga tidak terbaca dan sekarang baru kelihatan. Tidak lama
kemudian tali temali pengikat perahu di lepas, perahu bergerak ke barat laut
melawan gelombang teluk Maumere yang kacau oleh hembusan angin dari barat. Renro
ikut bersama penumpang yang lain dan meletakan tasnya diatas karung.
Alam laut di akhir Januari memang tidak
bersahabat. Langit mulai semakin mendung dan tiupan dari arah depan semakin
kencang. Keadaan motor semakin oleng dan penumpang ada yang muntah-muntah.
Renro duduk di atas tumpukan karung dekat dapur. Tiba-tiba ada hempasan ombak
yang besar dari sebelah utara. Tumpukan karung jatuh berantakan di atas palka,
penumpang kocar-kacir menyelamatkan diri, dan ada yang jatuh bersama
karung-karung, tetapi tidak ada yang jatuh ke laut. Renro juga turun dari
tumpukan karung.
Mula-mula Renro ke dapur sambil berpegangan pada dinding motor.
Ternyata di sana pun tidak aman. Laut menggelora, suara gemuruhnya hanya
beberapa senti meter di bawah kakinya. Hujan, angin ribut dan terpaan ombak
pada badan motor menciptakan suasana yang semakin kacau. Penumpang hanya
mempercayakan keselamatannya pada sepotong daratan terapung yang juga sedang
terbatuk-batuk menerjang badai, yakni motor perahu motor Gajah Mada. Akhirnya
Renro berpegangan pada tangga lalu menarik diri ke dek bagian atas yang ada
beberapa ruangan. Semuanya penuh dijejali penumpang yang tergeletak mabuk. Ada
sedikit tempat kosong memaksa Renro menyelipkan diri lalu berbaring memasrahkan
seluruh keselamatannya kepada Tuhan.
Setelah lebih dari beberapa jam berpacu dalam
badai, suasana menjadi tenang. Kedengaran suara burung camar terbang ke utara.
Kepak sayapnya kedengaran melawan hembusan angin yang masih kencang. Renro
memaksakan diri keluar dari ruangan sempit itu. Benar saja hujan sudah redah
hanya angin yang masih kencang. Dicobanya menduga letak kota Maumere, di sana
hanya ada laut menggelora tidak ada daratan yang kelihatan. Di sebelah utara
tampak Pulau Babi dan Pulau Besar sayup-sayup di antara gumpalan awan. Perahu
motor ini berlayar di antara dua pulau yang tidak memiliki bukit tinggi. Pantas
saja tidak kelihatan dari pantai Maumere. Ada
seorang pemuda di dekatnya dan Renro mencoba menanyakan nama pulau yang belum
diketahuinya itu.
Kampung di Atas Laut. |
“Yang jauh di sana adalah pulau Besar
dan pulau Babi, sedangkan yang dekat adalah pulau Kambing dan pulau Pamana. Jauh di sebelah barat sana yang kelihatan
hanya satu gunung adalah pulau Palue. Semuanya termasuk dalam kabupaten Sika.”
Jawab yang ditanya.
Selama lima hari hujan terus turun dan angin
kencang juga terus bertiup. Tetapi perahu motor Gajah Mada berada pada posisi
yang aman. Hanya beras yang mereka bawa dari Maumere sudah mereka habiskan. Beras
yang mereka bawa adalah perhitungan untuk tiga hari sampai ke Ujungpandang,
tetapi ternyata sudah habis ketika masih di perairan laut Maumere. Mereka
berusaha untuk memancing ikan, tetapi dalam keadaan yang tidak bersahabat itu,
sia-sia saja usaha mereka. Dalam keadaan
frustasi, ketika badai agak redah dan ada perahu motor berangkat ke Maumere,
Salomo mengambil keputusan kembali saja ke Maumere dan tidak ikut ke
Ujungpandang.
“Pulau Palue jauh di sana kan mungkin lebih cocok
masuk kabupaten Ende, koq masuk kabupaten Sika?” Renro penasaran.
“Letaknya memang di depan Lio bagian utara, tapi
entahlah saya juga tidak tahu mengapa pulau itu itu termasuk kabupaten Sika.
Seperti penduduk di pulau Pamana ini, hampir semuanya berasal dari suku Buton
dan Melayu, tetapi masuk kabupaten Sika”. Jelas orang itu lagi.
Penumpang bersiap-siap turun. Kelihatan di depan
mereka ada kota kecil dengan pelabuhannya sebuah dermaga dibuat dari batang
lontar. Anak-anak berlarian di pantai sambil tangannya di angkat ke arah perahu
motor. Bunyi PM. Gajah Mada semakin pelan lalu berhenti beberapa puluh meter
dari bibir pantai dan tidak mencapai dermaga. Rupanya ombak terlalu
besar sehingga tidak aman untuk perahu motor bila bersandar. Dari darat
datanglah sampan-sampan menjemput penumpang.
“Saudara tidak
turun disini?” Tanya pria yang tadi bercakap-cakap dengan Renro.
“Saya juga
hendak menanyakan hal yang sama. Namaku Renro. Saya hendak ke Ujungpandang.”
“Kebetulan tujuan kita sama, saya Petu dari
Lembata.”
“Bagus sekali. Dari Lembata dari kampung apa? Saya
berasal dari Watuwawer.”
“Oh …! Saya dari
Lamanunang.”
Selanjutnya Petu
berbicara dalam bahasa daerah dan sore itu mereka berdua mengobrol dalam bahasa
daerah. Bertemu dengan orang sepulau, biarpun sebelumnya tidak saling mengenal,
setelah dikenal maka masing-masing akan berusaha untuk menghargai dan menolong
dalam kegiatan apa pun. Apalagi menghadapi kesulitan, mereka saling menghargai
sebagai saudara. Mereka makin asyik bercerita seperti sahabat lama saja,
padahal belum sejam mereka mengobrol dan juga baru saja mereka menyebutkan
kampung halamannya. Petu sudah cukup
lama meninggalkan Lamanunang dan menetap di Maumere. Istrinya orang Nele dan
sudah dikaruniai seorang putera.
Renro bercerita tentang Lamanunang dan Dulir yang
setahun lalu dikunjunginya bersama Kanute. Atadei rupanya sangat menarik
perhatiannya, sehingga segala detail perbuatannya bersama Kanute, Ana dan Moni
diceritakannya. Petu tampaknya sangat senang karena kampung halamannya
dibanggakan orang lain. Dia juga menyampaikan niatnya agar kelak membawa isteri
dan anaknya mengunjungi desa keramat Alap Atadei atai Lamanunang.
Malam itu pemilik perahu motor beserta anak
buahnya turun ke darat. Petu bersama dua
temannya, Otniel dan Salomon serta Renro menjadi penjaga motor. Otniel
dan Salomon berasal dari kabupaten Alor yang terletak di sebelah timur pulau
Lembata. Mereka sangat akrab dengan
Petu, rupanya mereka sudah saling mengenal. Mereka berempat mengobrol sambil
makan malam berupa makan siang yang tadi tidak sempat dinikmati karena diserang
badai. Renro akhirnya tahu bahwa Petu, Otniel dan Salomon adalah rekan sekerja
pada Baba Liong. Renro sendiri ikut menjadi pengawal karung-karung Baba Liong,
tetapi dengan membayar tiga puluh ribu rupiah. Memang sebenarnya Renro adalah
penumpang hanya dibantu oleh Baba Liong agar mendapat perlakuan yang sama dari
anak buah kapal. Malam itu mereka berempat tidur dalam kabin. Hujan dan angin
kencang masih terus menderu sepanjang malam.
Alam Suram |
Setelah berhari-hari berusaha menangkap ikan dan
tidak ada hasil, Petu berinisiatif mengajak mereka turun ke darat. Mereka
mencari rumah pemilik PM. Gajah Mada untuk meminta bantuan makanan. Di
mana-mana orang berbicara dengan dialek yang tidak akrab di telinga. Beberapa
saat kemudian mereka menemukan rumah pemilik perahu motor.
Akhirnya salah seorang yang dipanggil Udin,
mengajak mereka ke ladang di bukit. Di sana mereka bergabung dengan warga yang
sudah bekerja sejak pagi memetik jagung dan ada yang menanam kapas. Di bagian
kebun yang lain, mereka melihat tanaman kacang ijo ditanam baris di antara
jagung. Sistem pertanian begitu sederhana tetapi sangat efisien, selama hujan
masih turun, tanah tidak dibiarkan menganggur, tidak seperti di Flores. Mereka
bergabung dengan kelompok yang sudah bekerja itu dan mendapat upah makan siang.
Menjelang sore
mereka kembali ke perahu motor dengan membawa upah dari ladang berupa
sekeranjang singkong mentah. Itu
cukup dari pada tidak mendapat apa-apa.
Bosan juga hidup di atas laut berhari-hari tanpa
ada kepastian kapan berangkat ke Ujungpandang. Di sebelah barat dan timur
kelihatan deburan ombak masih memecah di ujung tanjung pertanda bahwa badai
belum redah. Semua was-was juga waktu Otniel dihantar Salomon dengan sampan ke
perahu motor yang akan ke Maumere,
masalahnya semua bertanya-tanya sampaikah perahu motor ke Maumere dalam
musim yang tidak bersahabat itu? Sampai sore dan bahkan satu minggu kemudian
pun tidak ada berita tentang kecelakaan motor di laut, berarti Otniel dalam
keadaan selamat.
Entah sudah
berapa hari mereka bertiga tinggal di atas perahu motor Gajah Mada. Cuaca
semakin cerah hanya kadang-kadang masih turun hujan. Sudah kesekian kalinya
mereka turun ke darat tetapi tidak ada jawaban pasti yang diperoleh. Suatu sore
ketika mereka sedang memancing menggunakan sampan, Petu mendayung
membelokkannya ke arah pulau Kambing. Air laut begitu bening sehingga mereka
dapat menikmati pemandangan laut. Berjenis-jenis dan berwarna-warni ikan
berenang menyemarakan laut. Ada seekor penyu yang
besar yang menyembulkan kepalanya sebentar ke permukaan laut lalu menyelam dan
menghilang di kedalaman laut.
Tiba-tiba Salomon
menunjuk burung-burung yang berbaris memanjang di pantai seakan sedang
menikmati pemandangan matahari sore. Renro sangat tertarik serta heran akan ulah burung-burung itu. Mereka
mendayung sampan terus ketepi dan menyeretnya ke darat. Burung-burung terbang
ketika mereka mendarat tetapi hanya berpindah tempat. Pulau ini sepi dan tidak
berpenghuni hanya ada sebuah pondok dan bekas ladang ditinggalkan entah
beberapa tahun lalu. Setelah puas
bermain, mereka mendayung sampannya kembali ke perahu motor.
Suatu pagi seorang anak buah perahu motor datang
membawa empat dirijen penuh air dalam
sampannya. Setelah air dituangkan kedalam tangki, ia meminta agar semua turun
ke darat mengisi air memenuhi tangki, karena hari itu mereka akan berlayar ke
Ujungpandang. Berita itu sangat menggembirakan Petu, Renro dan Salomon. Mereka
segera mengeluarkan dirijen kosong dan mengayuh sampan ke darat. Sekitar tiga
jam kemudian tangki sudah penuh diisi air dan mereka menyiapkan diri
meninggalkan pulau Pamana.
Hari Rabu tanggal dua puluh satu Februari, jam dua
siang perahu motor Gajah Mada
meninggalkan pulau Pamana. Jadi dua puluh tiga hari mereka tertahan di pulau
Pamana sejak dari Maumere. Begitu keluar dari persembunyian antara pulau Pamana
dan pulau kambing, mereka dikagetkan dengan keadaan laut yang sebenarnya. Hari
cerah tetapi laut masih menggelora
dengan ombaknya yang tinggi. Ada empat anak buah kapal ditambah mereka bertiga,
perahu motor sepertinya terlalu ringan dipermainkan ombak. Mesin motor
menderu-deru melawan gemuruh gelombang dan angin kencang. Sedikit saja mesinnya mati maka entahlah, apalagi
tidak ada daratan yang kelihatan. Hampir semuanya mabuk dan muntah-muntah
termasuk ABK.
Bila tiba senja, Renro selalu tertegun menatap bola
matahari yang kuning keperakan keperakan mengukir langit di sebelah barat lalu
perlahan ditelan gelombang Laut Flores. Renro membayangkan sangat aman tinggal di Lewoleba –
Lembata, tetapi justru ditinggalkannya. Perlahan ia berbisik dalam nada
ketidakpastian, ‘Sore ini saya masih melihat matahari, tetapi apakah saya masih
melihat matahari besok pagi? Ada penyesalan dalam hatinya karena sudah meninggalkan
Lembata, tetapi juga ada harapan akan situasi baru dan pengalaman baru yang
akan diperoleh di perantauan.
Perahu Motor Gajah Mada terombang-ambing tetapi
tetap maju membela ombak Laut Flores yang ganas pada akhir Februari!