Kamis, 03 Januari 2013

SUARA GAIB



Oleh: Em Khebe
Rs. Setlla Maris
Pada suatu sore, ketika keluar dari pabrik, Renro merasa sangat lemas hingga tidak mampu mandi dan makan malam. Setiba di rumah di Banta-bantaeng Renro langsung tidur saja hingga pagi. Ketika bangun pagi, suasana rumah sepi karena ketiga keponakannya sudah berangkat ke sekolah dan kakaknya Kia juga sudah berangkat ke pabrik tanpa memanggilnya. Walaupun dalam keadaan lemas tetapi Renro berusaha mandi lalu ke rumah sakit untuk memeriksakan diri di sana.

Ia memilih ke rumah sakit Stella Maris yang terletak di pantai Losari. Ia tahu rumah sakit itu karena ia sering melewatinya ke Perpustakaan Umum. Dan sering juga ia bersama temannya Goe atau Fanus makan kacang rebus di tangga pantai Losari di depan rumah sakit sambil menikmati matahari sore yang terbenam perlahan-lahan ke dalam laut Flores.
  
Setelah mendaftar dan menunggu, Renro mendapat panggilan untuk diperiksa. Dokter yang memeriksanya menduga Renro menderita appendix acut maka harus segera di operasi. Renro sendiri amat setuju dengan pernyataan dokter itu. Renro ke sal untuk melihat tempat tidurnya, lalu kembali ke rumah mengambil pakaian ganti beberapa helai dan langsung kembali ke rumah sakit lagi. Sore itu juga Renro disuruh berpuasa sebagai persiapan untuk dioperasi esok pagi.

Suasana di sal rumah sakit itu amat ramai. Sal itu hampir semua tempat tidur terisi pasien dengan  bermacam-macam keluhan penyakit. Setiap pasien mempunyai penunggu lebih dari satu orang, sehingga jumlah mereka berlipat dua bahkan lebih. Renro berbaring sambil menahan sakit dibagian kanan perutnya dan juga perih karena sudah lebih dari sehari perutnya tidak terisi makanan. Biarpun begitu hatinya amat tenang menunggu sumber penyakit lambungnya di buang.
           
Pagi berikutnya seorang suster datang ke kamar mandi untuk dicukur. Renro kaget, apa yang dicukur? “Bulu-bulu dekat lokasi operasi itu akan mengganggu jadi harus dicukur,” demikian si perawat yang cantik itu menjelaskan. “Kalau begitu saya bereskan sendiri, tidak perlu dibantu.”  Renro Keberatan. “Jangan takut, saya sudah berkeluarga!” Perawat itu meyakinkan Renro, tetapi pendirian Renro tidak tergoyahkan. Ia malu kalau onderdil pribadi dan rahasianya ke pegang  oleh seorang wanita cantik. Kalau dalam keadaan lemas pasti aman, tetapi mana tahan si ‘kucing garong’ melihat ikan asin? “Tidak bu, berikan silet dan saya bersihkan sendiri!” Demikian keputusan Renro.

Sambil membersihkan badan, Renro menyanyikan lagu Ebiet, “Dari sudut manakah gerangan, aku seg’ra mulai…” sambil mempermainkan silet yang sangat tajam. Suasana hatinya begitu ceria seterang daerah rahasia yang telah menjadi gundul. Renro melangkah keluar kamar mandi sambil tersenyum ceria, di wajahnya terbersit aura kemenangan dari kemauan si suster cantik yang hendak mencukurnya. Kalau bisa sendiri mengapa harus orang lain yang mengerjakan? Ia merasa sangat siap untuk memasuki kamar operasi.

Jam Sembilan, dua orang suster perawat membawa kereta dorong, menjemputnya ke ruang operasi. Mereka bercanda sambil membuka selimut penutup daerah rahasianya dengan pura-pura bertanya: “Sudah cukur belum?” Banyak canda dari perawat-perawat membuat Renro terus tersenyum memasuki ruang operasi. Renro diminta berdoa dalam hati kemudian menghitung dengan suara keras, tetapi belum sampai hitungan sepuluh Renro masuk dan berjalan dalam gang sempit yang serba putih. Tidak ada siapa-siapa dan hal itu membuat Renro agak takut.
Renro berjalan di lorong putih.



Kemudian Renro mendapati dirinya ada dalam satu ruangan. Ia menonton orang-orang mengelilinginya. Tiba-tiba ada yang suara bertanya; “Renro sudah punya pacar atau belum?” 
“Belum” dijawab Renro dengan suara ngebas yang kedengaran aneh.
 “Memangnya mau jadi apa?” Suara itu bertanya lagi.
“Bruder.”
“Bruder itu apa?” Ternyata Renro mendengar suara itu dalam kenyataan, bukan dalam mimpi. Beberapa saat kemudian Renro sadar dan mendapati dirinya sudah ada di sal. Suasana ruang operasi dengan peralatan pisau dan gunting yang sering dipikirkan tidak ada sama sekali.

Renro bertanya kepada seorang suster mengapa tidak jadi operasi? Pertanyaannya tidak dijawab, malahan semua tertawa. Setelah tertawa mereda, suster itu menjawab, “Renro berada di ruang operasi hanya delapan menit. Usus buntu langsung keluar, jadi dokter tidak sibuk membongkar terlalu lama. Sekarang aman, tinggal tunggu sembuh.” Renro mengangguk setuju kemudian tertidur lelap sekali.

Gang yang dindingnya serba putih dan jawabannya atas pertanyaan suster perawat itulah yang sangat mengganggu pikiran Renro. Mengapa ia berjalan di dalam gang yang serba putih? Apakah itu gambaran tentang jalan ke surga? Lalu menjadi bruder! Itu memang pernah mampir dibenaknya untuk menjadi bruder, tetapi keinginan itu sudah dilupakannya sejak bapaknya meninggal. Keinginan itupun waktu itu hanya berada di dalam pikirannya dan tidak pernah diutarakannya kepada siapa-siapa, tetapi sekarang justru terungkap ketika ia tidak sadar? Apakah ini yang dinamakan Panggilan Tuhan? Tidak ada jawaban karena Renro hanya bertanya-tanya di dalam hatinya.

Tiga hari kemudian Renro sudah diizinkan keluar dari Rumah sakit. Ia pulang dulu ke rumah untuk mengambil uang dalam kopor di rumah lalu kembali ke rumah sakit. Sekitar jam delapan dua suster yang masih muda, kelihatannya yang satu masih belajar. Mereka berdua melepaskan jahitan di perut Renro, dan perawat si cantik hitam manis yang lebih muda sepertinya menggemgam dengan bersemangat ’senjata’ Renro. Renro menyadari, rupanya urusan nafsu bukan milik kaum pria saja.  

Renro dipesan agar mengompres bekas operasi dengan air hangat untuk mencegah infeksi, lalu ia menumpang becak pulang ke Jalan Banta-bantaeng. Renro beristirahat lagi tiga hari di rumah dan Goe sahabatnya datan menemani Renro ketika keponakannya berangkat ke sekolah. Selama masa istirahatnya itu mereka berdua bukannya diam di rumah, malahan keliaran sampai ke kantor Depnaker membaca berbagai pengumuman, terutama bursa kerja. Goe dan Renro tertarik bekerja di kebun kakao di Malaysia, tetapi itu hanya keinginan sesaat saja. Upahnya dihitung dalam ringgit Malaysia, sedikit lebih mahal dari pada gaji di Ujungpandang. Tetapi begitu sampai di rumah mereka melupakan keinginan ke Malaysia.

Meskipun bekas operasi masih perih, tetapi Renro masuk kerja seperti biasa. Pak Sutrisno melarangnya untuk bekerja terlalu berat, maka ia hanya menggambar dan sesekali mengawasi mesin bubut. Renro sendiri pun setelah operasi tidak tertarik lagi pada pekerjaan, bukan karena malas atau sakit. Ia sendiri tidak tahu alasannya. Suatu siang datang petugas membawa dua pasang seragam baru, helm baru dan sepatu baru, tetapi hati Renro sudah menjadi terlalu hambar. Pekerjaan di pabrik, melanjutkan kuliah dan membeli tanah untuk membangun rumah sendiri adalah belum lama sebelum operasi usus buntu merupakan cita-cita yang sering diimpikan, tetapi semuanya kini tidak berarti lagi. Jawaban atas pertanyaan suster di Stella Maris itulah yang sangat mengganggu.

Fanus temannya kadang datang menjemputnya dengan sepeda ke pinggir sungai Tallo. Di sana di atas tanahnya, Fanus membangun rumah sederhana, berdinding gedek dan beratap daun nipah. Renro diminta agar segera membeli kapling yang masih kosong, tetapi ia hanya tersenyum dan menggeleng saja. Memiliki rumah di pinggir sungai memang menyenangkan dan pernah menjadi cita-cita tetapi kini sudah buyar.

Helem kuning, seragam abu-abu dan sepasang sepatu boot baru tidak mampu menjelaskan kegalauan hati Renro. Ia terpikat pada sesuatu yang lain, bukan pada kuliah, bukan pada pekerjaan serta membangun rumah, dan bukan juga pada wanita cantik Aminah yang sering tersenyum mengoda dengan kerdipan matanya. Canda Fanus tentang gadis-gadis Toraja hanya ditanggapi dengan tertawa. Mimpi dan jawabannya di rumah sakit itulah yang mengganggu pikirannya, tetapi dia juga bingung akan ke mana.
***

1 komentar:

  1. Mo kode nebe mo selipkan no Plea Kehen ne makete benumenge hi di bang hehehehe... Meke de Reing bo te hubung wei eka de bise terbitkan em...

    BalasHapus